webnovel

Dua Minggu Lagi, Kita Bulan Madu.

Apartemen Soho

Setelah perdebatan dengan olahraga ambigu yang menjadi pembasan absurd, kini keduanya makan dengan tenang hingga tak terasa makanan yang Vian masak tandas, benar-benar habis karena Alisyia sendiri penggemar nomor satu ikan salmon yang katanya bisa membuat pintar.

Vian berdiri dan berjalan ke arah wastafel kemudian mencuci tangan. Sedangkan Aliysia, membereskan meja makan, mengumpulkan piring sisa makan untuk dicucinya.

"Kalau sudah selesai membereskan dapur sampai rapi, segeralah ke ruang tamu. Aku mengerjakan sisa pekerjaanku dulu sambil menunggumu," ujar Vian kembali memberitahu, dengan perintah yang juga ikut terselip.

Aliysia yang sedang membersihkan meja makan menoleh ke arah Vian, kemudian mengangguk kecil dengan dua jempol terangkat dan jangan lupa cengiran yang selalu diulas.

"Okay Vian! Sip deh pokoknya, rapi semua," sahutnya ceria, meski tak lama kembali mengelap meja, sambil bersenandung dengan suara merdu.

Vian sendiri hanya menggeleng kepala dengan apa yang dilakukan oleh si bocah, tapi sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan dapur, ia menyempatkan diri untuk menepuk kepala Aliysia singkat dengan respon tubuh berjenggit, kaget.

Ya, bahkan sampai berhenti dari pekerjaan mengelap meja dengan mata membulat sempurna.

"Jangan lama-lama," bisik Vian tanpa beban kemudian meninggalkan dapur, berjalan ke arah kamar untuk mengambil laptop dan menyelesaikan pekerjaan sisa.

Menyisakan Aliysia yang terpaku dengan rasa hangat di kepala sisa tepukan Vian. Ia mengedipkan kelopak mata, menyentuh di tempat terakhir si paman menepuknya dan merasakan jantungnya tiba-tiba berdebar.

Seumur hidupnya, hanya dua kakak kembarnya yang menepuk kepalanya seperti ini. Bahkan, sahabat prianya yang tumbuh dari kecil saja tidak diperkenankan menepuk kepala.

Namun Vian, kenapa ia tidak bisa menolak apa yang dilakukan pria tersebut?

Aliysia menggigit bibir, kemudian menggelengkan kepala dan berusaha untuk mengenyahkan perasaan aneh yang selalu mencoba menerobos hati.

Tidak bisa, ia tidak boleh semakin memikirkan apapun yang dilakukan Vian kepadanya, yang harus diingat hanyalah saat sudah waktunya ia pergi kuliah di luar negeri, maka kebersamaan ini akan berakhir pula.

Itu saja, titik.

"Ya, aku harusnya sadar akan hal ini," bisiknya.

Dan, ia pun kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda, sambil mencoba melatih suara dengan beberapa lagu yang nantinya dinyanyikan di panggung solo.

Ia tidak tahu saja, jika suara yang dihasilkannya mengema sampai terdengar di telinga Vian yang duduk di ruang tamu sana.

Beberapa saat kemudian ...

Ruang tamu

Brukh!

Vian segera mengalihkan pandangan dari layar laptop ke arah depan, ketika ia mendengar seseorang duduk di sofa tepat di hadapannya. Dimana terlihat Aliysia, yang memasang wajah penasaran dengan leher menjulur ingin melihat pekerjaan si paman saat ini.

"Ck! Jangan kepo, Liysa. Duduk yang anteng, sebentar lagi aku selesai dan kita bisa berbicara setelah ini," tegur Vian, menatap si tersangka yang justru mencebilkan bibir, kesal.

Bukannya apa, si paman menegurnya bukan hanya dengan kata-kata, melainkan dengan kening yang juga didorong karena kepala Aliysia memang terlalu maju dan menutupi layar.

"Jangan lama-lama, Vian. Aku lelah dan mengantuk," pinta Aliysia, melupakan rasa sebal karena keningnya jadi korban, kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa dan memperhatikan dalam diam bagaimana wajah serius si paman.

Entah apa yang ada dipikiran si penyanyi sopran tersebut, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Sedangkan Vian, ia kembali menatap layar tanpa tahu jika sedang diperhatikan oleh sang istri. Melanjutkan sisa pekerjaan yang sebentar lagi selesai dan untunglah, hanya dengan beberapa menit akhirnya ia bisa menyelesaikan dengan singkat.

Ia pun mematikan daya laptop, kemudian menutup dan kini mulai fokus dengan Aliysia yang tiba-tiba membuang wajah, sebelum akhirnya berpura-pura melihat layar gawai dengan sudut mata yang sesekali melirik.

Vian hanya bisa mendengkus melihatnya, kemudian mengalah dengan memanggil nama si wanita singkat, datar. "Liysa."

"Iya, sudah selesai?" sahut Aliysia bertanya, seraya meletakkan gawai di atas meja dan melihat Vian tanpa ditutupi lagi.

"Hn, sudah. Langsung to the point saja, Lysia. Aku nanti ada perjalanan bisnis ke Jerman sekitar dua minggu lagi dari sekarang, kamu harus ikut ke sana karena Mama sudah menangih perjalanan bulan madu kita," tukas Vian tanpa basa-basi dan itu membuat Aliysia yang mendengarnya justru mengedipkan mata, memasang wajah bingung yang kentara.

"Jerman? Dua minggu lagi? Perjalanan bulan madu?" tanya Aliysia mengulangi, dengan Vian yang mengangguk mengiyakan apa yang banyak ditanyakan kepadanya.

"Hn, tentunya pernikahan akan ada bulan madu. Bukankah seperti itu?" jelasnya bertanya.

"Kok bisa Mama menagih, maksudnya menagih bulan madu seperti apa, Vian?" lanjut Aliysia masih bertanya dan justru semakin bingung.

Bukannya apa, jelas Vian mengatakan bulan madu dan pernikahan. Lalu artinya, bukankah saat bulan madu ada hal seperti 'you know' yang pastinya akan dilakukan pasangan suami-istri.

Hiee….

Aliysia membatin horor dengan apa yang dipikirkannya sendiri. Sedangkan Vian yang melihat ekspresi istri bocahnya kembali mendengkus, yakin jika Aliysia sedang berpikiran yang tidak-tidak mengenainya.

"Bulan madu yang romantis. Sudah ah! Kamu jangan banyak bertanya dan ikut saja, anggap saja sekalian liburan. Intinya, dua minggu lagi kita akan berangkat ke Jerman, paham?" sahut Vian menjelaskan dengan cepat dan menyudahi, takut semakin aneh saja pemikiran Aliysia yang kini kembali protes.

"Tapi Vian aku...."

"Tapi apa?" sambung Vian segera, ketika Aliyisa menggantung ucapan dan terlihat seperti seseorang yang memiliki masalah.

Ini aneh.

Bukannya apa, selama ini kekasihnya yang dulu selalu ingin ikut, jika ia melakukan perjalanan bisnis seperti ini. Namun Aliysia, justru mengatakan 'tapi' ketika kata liburan sudah dijelaskan.

"Tapi Vian, dua minggu lagi adalah hari pentasku. Aku mendapat kesempatan solo, untuk mengambil hati para utusan universitas yang datang nanti," jelas Aliysia dengan suara lirih, seperti bisikan.

Seketika Vian menepuk kening, ketika ingat jika memang Aliysia saat ini sedang sibuk untuk mempersiapkan pentas. Pentas menyanyi, yang bisa jadi peluang agar si istri bocah dipilih untuk mengikuti program beasiswa di luar negeri sesuai impian.

Seharusnya ia tidak melupakan hal yang menjadi prioritas Aliysia, hanya karena terlalu terpaku dengan permintaan sang mama.

Ah! Bodohnya aku, rutuk Vian dalam hati.

"Kamu, maksud aku, jadi pentas menyanyi kamu berbarengan dengan keberangkatan ke Jerman, Begitukah?" tanyanya memastikan.

"Iya, Vian. Tepat sekali dengan keberangkatanmu, jika itu dua minggu lagi," jawab Aliysia lebih jelas.

"Pukul berapa?" tanya Vian cepat.

"Sepuluh pagi hingga selesai."

Vian berpikir dalam hati, mencerna waktu yang diucapkan.

Pasalnya, hingga selesai itu adalah waktu yang tidak bisa di tentukan. Bagaimana jika ternyata acaranya hingga sore atau malah sampai seharian.

Sama saja tidak pasti dan ia tidak bisa begitu saja membatalkan keberangkatan, karena semua sudah diatur sesuai jadwal oleh Endra dan pihak sana pun sudah mengonfimasi.

Bagiamana ini….

Bersambung