Kay menatap Adrian yang tertidur pulas di tempat tidurnya. Dia bahkan tidak menyadari beberapa asisten yang keluar masuk kamar Adrian. Ketika Adrian menepikan mobil, Kay menyadari bahwa ada sesuatu yang salah sehingga dia melihat ke arah Adrian yang terduduk lemas di belakang kemudi. Dia bergerak cepat dan memeriksa Adrian hingga ia menyadari bahu kanan Adrian tertembak. Dia mengumpat dan memanggil-manggil nama Adrian agar tetap sadar. Sayangnya Adrian pingsan hingga dia menggeser tubuh Adrian ke kursi penumpang dengan susah payah dan duduk di belakang kemudi. Kay hendak menjalankan mobil ketika dia melihat seorang pria dengan menggunakan pakaian serba hitam dan penutup wajah berjalan menghampiri mobil mereka. Untungnya dia sempat pulang ke rumah miliknya dan mengambil senjata api ia simpan lalu menyembunyikannya di dompet kecil milik Alexa. Kay membuka jendela mobil dan melihat pria itu yang kini mengarahkan senjata api ke arahnya. Sayang bagi pria itu, Kay lebih cepat dan menembaknya tepat di kepala pria itu. Pria itu terjatuh di atas aspal jalan dengan bersimbah darah yang berasal dari kepalanya. Kay tidak membuang-buang waktu dan segera mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Awalnya ia berpikir untuk membawa Adrian ke rumah sakit tetapi dengan keadaan seperti ini dia memutuskan untuk membawanya ke rumah dan memanggil dokter keluarga.
Pikirannya terputus ketika ia merasakan tepukan ringan di bahunya. Kay menoleh dan mendapati Marni berdiri di sampingnya dengan tersenyum sedih. Kay hanya menghela nafas lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya. Dia bahkan belum mengganti pakaian dan membersihkan diri sehingga tubuhnya terdapat darah yang berasal dari Adrian.
"Sebaiknya nona mandi dan ganti pakaian. Saya dan bu Rina akan menjaga tuan muda." Bujuk Marni.
Kay mendongak dan menganggukkan kepalanya. Dia berdiri dan berjalan keluar dari kamar Adrian tetapi ia melihat dari sudut matanya bu Rina mengikuti langkahnya dengan tatapannya. Dia begitu lelah dan mengabaikan perilaku bu Rina saat ini. Setelah mandi dan berpakaian, Kay berjalan ke kamar Adrian untuk melihat bu Rina dan Marni menunggu Adrian yang masih tertidur lelap. Di memutuskan untuk turun ke dapur dan membuat segelas teh untuknya. Dia begitu terserap dalam pemikirannya hingga tidak mengetahui bu Rina yang memasuki dapur.
"Terima kasih sudah menolong tuan muda."
Kay hampir menumpahkan teh setelah mendengar suara bu Rina yang berbicara padanya. Dia meletakkan cangkir teh dan beralih menghadap ke arah bu Rina.
"Tidak masalah. Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada kakakku, bukan? Ucap Kay dengan senyuman ketat.
Bu Rina tidak menjawab dan hanya menatap Kay. Keduanya hanya saling menatap hingga suara kaki yang mendekat. Kay menoleh ke arah suara dan mendapati Marni yang berjalan tergesa-gesa memasuki dapur. Dia mengatakan bahwa Adrian sudah terbangun hingga membuat Kay berjalan keluar dengan cepat untuk menemui Adrian. Adrian berada dalam posisi duduk bersandar pada kepala tempat tidur ketika Kay masuk ke dalam kamar. Dia duduk di tepi tempat tidur dan menanyakan kabar Adrian yang dijawab dengan suara yang masih lemah. Sebenarnya dokter sudah memberitahu Kay bahwa luka Adrian untungnya tidak terlalu dalam tetapi dia mengeluarkan darah cukup banyak sehingga Adrian mendapatkan transfusi darah. Kay melihat wajah Adrian yang masih pucat. Seharusnya dia membiarkan Adrian beristirahat tetapi Kay benar-benar harus mencari tahu apa yang terjadi.
"Kak, aku harap kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur dan tidak menutupi apa pun dariku. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa seseorang ingin membunuh kita?" tanya Kay pelan.
Kay melihat Adrian menundukkan wajahnya sambil mengernyitkan dahinya tampak berpikir dalam. Kay mendekati Adrian dan meremas kedua tangan Adrian untuk meyakinkan. Adrian mendongak dan menatap mata Kay.
"Katakan padaku apa yang terjadi. Aku tidak ingin ini terjadi lagi." Ucap Kay dengan pelan.
Adrian menghela nafas kekalahan dan menceritakan apa yang terjadi.
"Papa memiliki pesaing bisnis bernama Yama. Suatu hari pria itu tiba-tiba mengajak papa untuk menjalin kerja sama, yang langsung ditolak oleh papa. Desas-desus mengatakan bahwa pria itu terlibat dalam pasar gelap, ada juga yang mengatakan bahwa dia sering berbuat curang hingga orang yang bekerja sama dengannya mengalami kebangkrutan. Itu sebabnya papa menolaknya." Jelas Adrian.
"Biar aku tebak, dia tidak menyukainya dan mulai mengancam papa?" tanya Kay.
Adrian menganggukkan kepalanya.
"Papa bilang dia tidak mengancam secara langsung tetapi kata-katanya mengisyaratkan hal itu."
"Yah..tentu saja dia akan melakukan hal itu." Dengus kay.
"Alexa, kakak minta maaf karena tidak bisa melindungimu." Ucap Adrian dengan tatapan sedih.
Kay tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa. Ini sudah malam, aku akan ke sekolah besok. Beristirahatlah, kak." Ucap Kay sambil berjalan ke arah pintu.
"Kau akan berangkat ke sekolah? Siapa yang akan mengantarmu? Ini berbahaya, Lexa." Ucap Adrian yang menghentikan langkah Kay.
"Jangan khawatir, aku akan pergi dengan menggunakan taksi. Dan pria yang mengejar kita tidak akan muncul lagi." Ucap Kay.
"Kenapa?"
Kay berdiri di tengah pintu dan menoleh sedikit ke arah Adrian.
"Karena pria itu sudah mati." Ucapnya lalu berjalan keluar dari kamar Adrian.
Seperti ucapannya semalam, Kay pergi ke sekolah dengan menggunakan taksi. Setelah pembicaraannya dengan Adrian, dia mulai mencari tahu tentang lelaki bernama Yama. Apa yang diucapkan oleh Adrian memang benar dan bukan desas-desus semata, pria itu berbahaya. Sayangnya pasar gelap bukan hal baru untuk Kay sehingga dia mendapatkan informasi yang cukup lengkap tentang lelaki itu. Itu sebabnya dia merasa mengantuk pagi ini dan hampir tertidur di kelas.
"Argh...aku benar-benar mengantuk." Erangnya sambil membenturkan kepalanya sedikit di atas meja.
"Hei, jangan melakukan hal itu. Kamu akan terluka, Lexa." Ujar Lily memarahi Kay.
Begitu dia mencium aroma kopi, Kay mendongak dan melihat secangkir kopi yang dipesannya sudah ada di hadapannya. Dia menyeruput kopi dengan perlahan setelah meniupnya. Kay mendesah setelah merasakan kafein masuk tenggorokannya. Lily yang menatap Kay hanya menggelengkan kepalanya. Keduanya sedang menikmati makan siang mereka sampai Satria dan Miller duduk di depan mereka yang membuat Kay dan Lily saling pandang.
"Hai, girls." Sapa Satria dengan ceria.
Kay membalas sapaan Satria sedangkan Lily hanya mengangkat kedua alisnya. Satria mencoba membuka percakapan seperti biasa. Kay sangat menyukai bagaimana Satria tahu situasi dan menjadi ice breaker ketika mereka berkumpul terutama dengan adanya Miller atau Naura di sekitar. Kay sudah menghabiskan setengah cangkir kopinya ketika dia mendengar Miller berbicara padanya.
"Lexa, bisakah kita berbicara?" tanyanya
"Soal apa?" ucap Kay yang sibuk menyesap kopinya.
"Aku ingin membicarakan sesuatu sepulang sekolah, apa bisa?"
"Baiklah." Ucap Kay ringan
Kay menoleh ke arah Lily yang menyikutnya dengan ringan. Dari raut wajahnya, Lily tidak menyukai keputusan Kay tetapi ia hanya merangkul bahu Lily sambil tersenyum untuk meyakinkan Lily. Lily masih cemberut dan Kay mencoba mengalihkan dengan membicarakan rencana makan malam bersama keluarganya nanti malam. Keduanya menyelesaikan makanan dan hendak kembali ke kelas ketika Satria menghentikan mereka.
"Ehm... Lily, selamat ulang tahun." Ucap Satria yang tersenyum malu-malu sambil memberikan kado berbentuk kotak persegi panjang ukuran kecil.
Lily tersenyum lebar lalu menerima kado Satria dan mengucapkan terima kasih. Satria tampak bahagia sebelum keduanya saling menatap lalu tertunduk malu. Kay hampir mendengus dengan pemandangan itu. So cheesy, batin Kay. Dia tahu dia terdengar sinis, hanya saja dia merasa terlalu tua untuk melihat adegan seperti itu. Mereka berempat akhirnya berjalan keluar dari kantin dengan Lily dan Satria yang berjalan bersama, hampir meninggalkan Miller dan Kay yang berjalan di belakang mereka. Kay tidak berniat untuk mengobrol karena dia memikirkan keadaan Adrian. Dia tidak tahu sejak kapan perasaannya berubah tetapi dia tidak bisa mengelak bahwa dia mulai mengembangkan perasaannya pada lelaki yang dua tahun lebih muda darinya. Kay berharap dia bisa kembali ke tubuhnya sendiri secepat mungkin.
Kay menaiki anak tangga menuju atap sekolah setelah bel pulang berdering. Lily memaksakan untuk ikut meski Kay menyuruhnya untuk pulang. Akhirnya Kay tidak bisa menolak permintaan Lily yang akhirnya setuju untuk menunggunya di kelas dekat tangga menuju atap. Kay melihat sekeliling atap sekolah yang tampak cukup nyaman dengan embusan angin yang sejuk. Matanya menangkap dua siluet berdiri yang agak jauh darinya. Kay berjalan menghampiri keduanya yang rupanya adalah Miller dan Naura. Keduanya tampak berdebat tetapi Kay tidak menangkap ucapan mereka. Begitu Kay mendekat, mereka berhenti berbicara dan menoleh ke arah Kay. Kay berjalan di arah tepi atap dan menyandarkan pinggulnya di tembok sambil menyilangkan tangan. Kay menatap keduanya bolak-balik menunggu salah satu dari mereka berbicara tetapi keduanya hanya terdiam.
"Jadi.." ucap Kay menggantung kalimatnya.
Keduanya saling pandang. Kay melihat Miller menggenggam tangan Naura sambil tersenyum manis sedangkan Naura hanya menatap Miller dengan tatapan khawatir. Kay mendesah lelah. Dia tidak berharap dan tidak ingin melihat adegan seperti ini lagi karena dia harus melakukan pertemuan dengan Daniel sebelum pulang ke rumahnya.
"Berhentilah saling menatap dan katakan apa yang ingin kau katakan." Ucap Kay yang mencoba tenang.
"Lexa, tidak bisakah kau menjaga nada bicaramu?" ucap Miller yang kesal.
"Itu karena kalian membuatku kesal. Aku hanya ingin pulang untuk menemani kakakku yang sakit."
"Kenapa dengan kak Adrian?" tanya Naura tampak khawatir.
"Dia ditembak orang tidak dikenal." Jawab Kay santai.
"Jadi, tolong katakan apa yang ingin kalian bicarakan." Ucap Kay yang melihat Naura ingin mengatakan sesuatu.
Naura melirik ke arah Miller yang menganggukkan kepalanya lalu ia menoleh ke arah Kay.
"Lexa, aku hanya ingin minta maaf. Aku tidak pernah berniat berkhianat atau membohongimu karena berkencan dengan Miller. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya padamu." Ucap Naura yang menundukkan kepalanya.
Kay menatap Naura yang tampak gelisah dengan memainkan rok sekolahnya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Karena aku tahu kamu sangat menyukai Miller dan aku tidak ingin kamu merasa sedih dan patah hati."
"Kau bisa jujur, Naura."
Miller mendengus sambil tersenyum sinis lalu menatap ke arah Kay.
"Kamu bukan tipe orang yang menerima kekalahan dan bukan pendengar yang baik. Itu sebabnya Naura tidak mengatakannya padamu. Buktinya kau malah menjauhkan Naura dan membencinya, bukan?" ucap Miller dengan dingin.
Kay menatap Miller yang membalas tatapannya. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang Alexa dan bagaimana dia berperilaku, meski dia bisa menebak Alexa adalah gadis manja yang harus mendapatkan apa yang diinginkannya. Kay memijat pelipisnya dan mulai kehilangan kesabarannya, salahkan pada kekurangan tidur. Dia berdiri tegak dan menatap keduanya.
"Kalau kamu merasa aku orang yang seperti itu, maka jauhi aku dan tidak perlu melakukan pembicaraan seperti ini lagi, mengerti?" ucap Kay lalu berjalan menjauhi keduanya.
Langkahnya terhenti ketika sebuah tangan menangkap pergelangan tangannya. Kay menoleh ke belakang dan berhadapan langsung dengan Naura yang menatapnya.
"Lexa.." panggil Naura yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Kay melepaskan pegangan Naura dengan lembut.
"Jauhilah aku jika aku terlalu egois. Kamu mengatakan bahwa aku bukan orang yang menerima kekalahan, kalau begitu jangan pernah mendekatiku atau berbicara denganku." Ucap Kay dengan tegas.
"A-aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu, Lexa. Tolong maafkan aku." Ujar Naura yang kini jatuh berlutut di depan Kay.
Kay menatap Naura dengan tatapan bingung. Dia memproses ucapan Naura ketika ia melihat Miller membantunya berdiri dan memeluknya. Karena tidak ada lagi yang ingin dia katakan, Kay meninggalkan keduanya yang masih berpelukan dengan Naura yang menangis. Kay menuruni tangga masih memikirkan ucapan Naura dan menghampiri Lily yang sudah menunggunya di depan kelas. Kay sadar bahwa Lily menatapnya dengan tatapan khawatir jadi dia tersenyum pada Lily dan memegang tangannya untuk keluar dari sekolah.
Adrian melirik ke arah jam dindingnya yang menunjukkan pukul 16.00 WIB. Dia sudah bertanya beberapa kali pada Marni tentang keberadaan Alexa yang belum kunjung pula. Adrian mulai gelisah. Dia takut terjadi sesuatu pada Alexa dan ini salahnya karena ia terluka. Adrian meraih ponsel dari nakasnya untuk menghubungi Alexa ketika ia mendengar pintu terbuka dan kepala Alexa mengintip melalui celah pintu. Ketika tatapan mereka bertemu, Alexa tersenyum lembut dan masuk ke dalam kamar. Dia berjalan ke arahnya dan meletakkan tasnya di sisi tempat tidur.
"Apa kau merasa lebih baik?" tanya Alexa yang kini duduk di tepi tempat tidur menghadap ke arahnya.
Adrian hanya mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba senyumnya hilang dan dia membeku ketika Alexa menyingkap rambut yang jatuh ke matanya. Alexa menatap Adrian dan tersenyum manis padanya sebelum menempatkan tangan di pangkuannya lagi. Adrian berkedip dan dia tahu bahwa jantungnya berdetak sangat cepat dengan perlakuan manis Alexa.
Apa yang salah denganku? Demi Tuhan, dia adik kandungku. Batin Adrian memarahi dirinya sendiri.
Adrian menundukkan kepalanya karena malu pada dirinya sendiri dan Alexa tidak berusaha untuk mengatakan sesuatu. Kecanggungan mereka pecah ketika Marni masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi makanan, minuman dan buah-buahan. Marni meletakkannya di nakas dan berbicara dengan Alexa. Marni meletakkan meja lipat di atas pangkuan Adrian dan menempatkan piring di atasnya. Adrian menatap Alexa yang masih sibuk mengobrol dengan Marni tentang kegiatan sekolahnya. Entah sejak kapan dia mulai canggung setiap kali Alexa menatapnya dan tersenyum lembut. Adiknya selalu bersikap manja padanya tetapi dia tidak pernah melihat sisi Alexa yang sering menatapnya. Adrian menggelengkan kepalanya untuk membuang pemikiran aneh itu dan mencoba untuk makan. Tiba-tiba luka pada lengannya terasa nyeri yang membuat dia menjatuhkan sendok yang digenggamnya, membuat Alexa dan Marni menoleh ke arahnya. Alexa mengambil piring dari meja untuk Marni membersihkannya.
"Apa tanganmu masih sakit?" tanya Alexa sambil mengerutkan kening.
Adrian hanya menganggukkan kepalanya dan menatap Alexa. Dia mendengar Alexa menghela nafas dan mulai mendekat ke arah Adrian. Dia tidak tahu mengapa, gerakan itu membuatnya gugup hingga dia tidak sadar bahwa dia menahan nafasnya. Alexa menyendokkan makanan dan menyodorkan padanya. Adrian masih terdiam.
"Buka mulutmu, aku akan menyuapimu." Ucap Alexa pelan.
Adrian menelan ludah lalu melakukan apa yang diminta Alexa. Makanannya terasa enak tetapi dia sulit untuk menelan ketika tatapan keduanya bertemu. Adrian bisa merasakan wajahnya memanas setiap pandangan mereka bertemu dan dia selalu menundukkan wajahnya. Dia menangkap dari sudut matanya bahwa Alexa tersenyum sambil menunduk. Ketika Adrian sudah menghabiskan sisa makanannya, Alexa berdiri untuk pergi ke kamarnya. Setelah Alexa berpamitan dan menutup pintu, Adrian menghembuskan nafas lega sambil bersandar pada kepala kasur dengan tatapan kosong.
"Ya Tuhan, apakah aku jatuh cinta dengan adik kandungku sendiri?" ucap Adrian sebelum dia menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak.