webnovel

Tanpa Perasaan

Pandangannya tidak pernah ia alihkan ke arah lain, menatap laptop kesayangannya yang sejak dulu menemani saat dia bekerja. Laptop pemberian dari sang Mama yang telah tiada, membuatnya akan selalu teringat. Kepergian Mama adalah kesedihan terbesar, saat itu dia sangat terpuruk. Sudah ditinggalkan Ayah yang dibunuh lalu beberapa Minggu kemudian Mamanya pun pergi dengan cara yang tragis.

"Lihatlah semua yang aku hasilkan, tanpamu ini tidak ada apa-apanya. Bolehkah aku berharap kamu hidup kembali?" tanyanya sambil memandangi foti kelurga yang tertera di layar laptop.

Dia yang ditinggal pergi dengan kedua orang tua terpaksa menjadi pengurus seluruh perusahaan. Bukan hanya itu saja, terpaksa berubah penampilan dan cara bicara. Setiap malam dia selalu kesepian, dan itu semua karena perempuan yang kini telah menjadi istrinya. Jika Gita tidak menggoda Ayahnya dan mereka tidak saling kenal mungkin Mama Hito akan hidup sampai sekarang.

Memang ditinggal oleh orang yang kita sayang itu menyakitkan, walaupun orang itu juga tidak kalah menyakitkan kita. Harapan Mama ingin Ayah hidup kembali, lantas bagiamana bisa? Orang tidak akan bisa hidup tanpa ada harapan, dan saat itulah Ibu memilih jalannya sendiri. Di dalam kamarnya darah segar berceceran, memotong tangan tepat di urat nadinya.

"Aku sudah berbalas dendam dengannya, apa itu masih kurang? Apa Mama masih merasakan sakit?"

Percuma saja dia bertanya, dia berbicara dengan benda mati, apakah nanti ada jawaban? Mengingat perlakuan yang telah dilakukan oleh Gita membuat dia mengingat istri balas dendamnya itu. Mengurungnya di dalam gudang gelap, apa dia akan merasakan ketakutan? Namun rasanya sangat kurang.

"Aku harus melakukan sesuatu lagi agar dia benar-benar sakit, akan aku buat kamu gila," ucapnya sambil menutup laptop.

Dia berdiri dan berjalan keluar kamar, melewati anak tangga untuk pergi ke suatu tempat.

***

Tempat ini sunyi, tidak dapat ia dengar suara apapun. Aneh, itulah yang terbentang dipikirannya. Karena seharusnya dia mendengar suara tangis Gita yang ketakutan, namun kenapa tidak ada? Mungkin perempuan itu telah lelah menangis jadi dia memilih diam.

Ceklek!

Hito memutar knop pintu, namun dia bingung dengan sesuatu yang mengganjal pintu ruangan tersebut. Entah ada apa di dalam sehingga membuat pintu sulit dibuka. "Bagaimana aku akan membukanya?" ucapnya dengan raut wajah bingung.

Dia pun berpikir dan baru teringat akan satu hal. Dengan cepat dia berjalan pergi meninggalkan gudang tersebut. Terburu-buru takut terjadi sesuatu di dalam, jika Gita merasa tersiksa itu bagus namun bagaimana jika Gita mati terlebih dahulu sebelum benar-benar merasa tersakiti. Dia ingin Gita merasa tersakiti lalu gila dan mengakhiri hidupnya sama seperti Mamanya.

Langkahnya kini terhenti diluar rumah, dia berdiri dan menatap ke arah bawah. "Aku harus membuka ini," ucapannya sambil memandang besi panjang yang menutupi sesuatu.

Hito membuka penutup besi panjang tersebut, dia masuk ke dalam lorong yang tadi tertutup. Turun dengan hati-hati melawati tangga, kini dia telah berada di lorong bawah tanah. Entahlah rasanya aneh mengetahui sebuah rumah megah dan mewah memiliki ruang bawah tanah.

Krek!

Krek!

Ruangan ini sangat tertutup dan hampir tidak pernah dibuka, bahkan pintu-pintu yang menghubungkan ke ruangan lain sudah berkarat dan sulit untuk dibuka. Namun Hito tidak berusaha membuka pintu yang nanti akan menghubungkan ke tempat keberadaan Gita.

Ceklek!

Usahanya tidak sia-sia, pintu berhasil terbuka dengan sekuat tenaga. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Matanya membulat menatap seorang perempuan tergeletak dibelakang pintu, pantas saja pintu tadi sulit dibuka.

"Hei bangun!" ucap Hito sambil menepuk pipi Gita, namun bukan perlahan melainkan sangat keras.

Tidak ada pergerakan dari Gita, sehingga membuat Hito kesal. Wajahnya memerah begitu juga dengan rahang yang mengeras, tangannya terulur dan menarik rambut panjang Gita.

"Arghhhhh.... " Teriakan si pemilik rambut yang kesakitan begitu kencang.

"Aku tidak suka dengan orang yang menyusahkan," celetuk Hito membuat Gita menatapnya.

"Mas, kamu tahu aku pingsan? Kenapa kamu membangunkan aku dengan cara seperti itu?" tanya Gita kesal.

"Sudah aku bilang, aku tidak suka dengan orang yang menyusahkan. Kamu tuli?" jawab Hito dengan penuh penekanan.

"Kamu yang membuat aku seperti itu, kamu yang mengurung aku."

"Kau terlalu lemah, cobalah bertahan dengan aku nanti. Karena aku akan menyakitimu." Hito melenggang pergi meninggalkan Gita yang meneteskan air matanya.

Setega itu Hito dengannya, dia Istrinya lalu apa pantas diperlakukan seperti itu? Ada apa dengan semuanya, ini bukan hukuman untuk Gita. Dia tidak melakukan apapun dengan Ayah Hito dulu. Sudah cukup dirinya dihukum atas perbuatan yang sama sekali tidak dia lakukan.

***

Selepas kejadian semalam, Gita belum melihat Hito sejak tadi Pagi. Dia bingung apa yang harus dirinya lakukan saat tahu kebenarannya? Apalagi kebenaran kalau Hito menikahinya hanya karena membalas dendam saja. Dia tidak ingin berpisah karena pasti orang tuanya sangat sedih. Gita jadi teringat orang tuanya di rumah, bagaimana keadaan mereka yang ditinggalkan oleh Gita?

"Apa Ibu menjaga Bapak dengan baik?" ucap Gita.

Ia lupa kalau sikap Ibu terhadap Bapaknya sangat buruk, lalu Gita pergi sudah tentu tidak akan yang merawat Bapaknya.

"Lebih baik aku pergi berkunjung ke rumah mereka, pasti Bapak rindu Gita," ucapnya dan langsung berjalan keluar.

Namun sebelum pergi dia pamit terhadap pembantu rumahnya. "Saya pergi dulu ya."

"Baik Nyonya," jawabnya.

Pembantu yang baru saja datang tadi pagi, mungkin dia adalah kiriman dari sang Suami. Gita teringat akan satu hal lagi, dimana ya kira-kira para penjaga rumah ini? Salah satunya bodyguard yang pernah ia lihat.

Walaupun kehidupannya telah berubah karena menikah dengan Hito si pengusaha ternama. Akan tetapi Gita tetaplah yang dulu, dia berpergian masih menggunakan kendaraan umum. Lagi pula jika dia menggunakan mobil, apa Hito akan mengizinkannya?

Hito pernah berkata kalau semua fasilitas rumah ini adalah miliknya, jadi sama saja dia tidak boleh menyentuh apapun termasuk kendaraan.

Bahkan Gita saja tidak mengenal keluarga Hito, orang tuanya yang telah tiada. Namun bukankah masih ada saudara atau kerabat jauh? Dia jadi meragukan pernikahannya.

Benarkah pernikahannya itu sungguhan, atau hanya pura-pura? Yang paling dia ragukan sekarang adalah dirinya dan Hito sah dalam janji suci pernikahan atau tidak?

Karena terlalu memikirkan soal pernikahannya yang buruk ini, Gita sampai tidak sadar kalau dia telah menyebrang dan di ujung jalan sana akan ada mobil yang melaju mendekat. Dia terlalu fokus akan pikirannya, bahkan teriakan orang-orang disekitarnya seolah-olah tidak terdengar.

Tin!

Tin!

Tin!

Suara klakson yang sudah berbunyi masih belum menyadarkan Gita.  Kematiannya kini semakin dekat dan dia masih belum menyadarinya.

"Awas minggir!"

Bruk!