webnovel

SOS

Alyx tidak akan pernah menyangka dirinya terjebak pada sebuah konflik yang tidak dia ketahui kebenarannya. Orang-orang yang tidak dia kenal mulai hadir satu per satu. Dan pada akhirnya dari pintu Timur, Alyx tiba di tanah asalnya, SOS. Negara yang telah memisahkan diri dari dunia luar. Sebuah tempat yang damai, memiliki orang-orang jenius, dan berhati baik. Bisakah Alyx menerima kehidupannya sebagai warga SOS? Dan benarkah tempat itu seindah yang dia dengar?

chiechioechi · Romance
Pas assez d’évaluations
8 Chs

Penolakan Ganjil

"Dari mana kau dapat nomorku?" Alyx yang baru saja bangun karena suara ringtone, pagi itu menggeram dalam hati. Dia baru tidur pukul empat pagi tadi. Dan pukul enam lebih, sudah ada seseorang yang menelponnya.

"Aku sedang jogging di sekitar apartemennmu dan seketika mengingatmu." Suara berat dari seberang telpon membuatnya tambah geram.

Alyx menekan pelipisnya yang terasa berdenyut, pertanda kepalanya begitu sakit. "Lalu?" Alyx mendekat ke jendela dan menarik gorden, melihat ke luar. Matahari sudah mulai menampakkan cahayanya.

"Bagaimana keputusanmu?"

"Maaf. Aku belum memutuskan apa pun. Jadi, sebaiknya kau berhenti menghubungiku untuk beberapa saat, sampai aku membuat keputusan. Sampai jumpa." Alyx menutup lebih dulu dan menyengir melihat pria paru baya sedang memandangi ponselnya di lingkungan apartemennya. Benjamin.

Sudah beberapa kali Benjamin menghubungi Alyx, membuatnya seperti orang yang selalu diikuti oleh pria itu. Memang seberapa pentingnya SOS itu, sehingga membuat pria itu ingin mencari tahu mengenai itu.

Alyx baru saja mandi saat Katie datang ke apartemennya.

"Nick belum datang-datang juga ke kantor. Aku khawatir semua ini akan terbengkalai," kata Katie yang membawa dokumen yang harus segera ditandantangani.

"Kalau begitu aku akan membantumu," Alyx seperti tidak punya pilihan lain. "Jadi kita harus mulai dari mana?"

Katie mencoba menunjukkan pekerjaan yang harus dilakukan pada Alyx yang selalu mencoba menghubungi Nick, tapi tidak ada yang menjawab. Entah apa yang terjadi padanya.

"Oh iya, Kat, sejak kapan Benjamin bergabung di AM magazine?" Alyx sepertinya cukup penasaran.

"Mr. Benjamin?" Katie mencari tahu mengenai Benjamin di tabletnya. "Sekitar dua bulan setelah AM Magazine dirilis. Setahun berikutnya dia berhenti, sepertinya saat perusahaannya bangkrut, tapi dia kembali beberapa bulan yang lalu—ehm tiga bulan yang lalu, kalau aku tidak salah ingat. Memangnya ada apa?"

"Tidak. Lalu apa dia mendapat untung yang banyak dari majalah kita? Juga apa dia selalu meminta hal-hal yang aneh?" kening Alyx bersatu.

"Untungnya setimpal dengan apa yang dia iklankan. Tapi hal aneh apa maksudmu? Selama ini, dia tidak pernah meminta apa pun dari AM magazine," Katie menggaruk dahi, jadi bingung sendiri.

"Lalu… lalu…" Alyx berdiri dan mondar-mandir di ruang kerjanya. Katie jadi pusing dibuatnya. "Benjamin baru muncul beberapa bulan terakhir ini, sebelum-sebelumnya bukan dia yang menemui kita, tapi meminta anak buahnya yang mengurus semuanya."

"Itu masuk akal saja," Katie menyela aksi bak kereta Alyx.

"Kenapa?" Mata Alyx membesar.

"Kenapa kau menanyakan itu padaku. Kenapa kau tidak tanya sendiri saja? Dan sebaiknnya kita selesaikan semuanya, sebelum kau memikirkan hal yang aneh lagi. Aku kan harus segera pulang," gumam Katie, merasa Ayx tidak pernah bisa diajak berbicara jika sudah berpikir.

Alyx mencibir.

*

Beberapa hari kemudian, Alyx mencoba menghubungi salah seorang temannya yang tinggal di Amerika. Dia bekerja di salah satu kantor detektif terkenal di sana. Tapi, sekarang dia masih menjadi seorang asisten detektif yang menemani kemana pun sang detektif pergi.

"Apa yang terjadi?" wajah tirus sang asisten detektif terlihat di layar monitor computer Alyx.

"Hi, Jaden, seharusnya kau menyapaku dulu sebelum bertanya seperti itu," Alyx mengernyitkan hidung.

"Jadi…" Jaden tanpa melihat ke layar kembali bertanya tanpa basa-basi. Dia tahu betul kalau Alyx menghubunginya pasti membutuhkan sesuatu.

"Kau bisa mencari tahu mengenai SOS?" Tanya Alyx sesaat dia mendapat izin berbicara.

Perhatian Jaden teralih dari dokumen di hadapannya. "Kenapa kau menanyakan hal itu?" hidungnya berkerut, wajahnya terlalu dekat dengan layar.

Alyx harus mengomentari betapa luasnya dahi Jaden, dan meminta pria itu memundurkan kepalanya. "Sepertinya kau tahu mengenai SOS," tebaknya kemudian. "Jadi, kuharap kau bisa membantuku untuk mencari tahu…"

"Sepertinya, itu tidak bisa," sela Jaden. "Bukannya aku tidak mau, tapi masalahnya aku tidak tahu banyak mengenai SOS."

"Benarkah? Kalau begitu yang kau ketahui saja," kata Alyx santai dan membuat cibiran Jaden terlihat.

"Memangnya akan kau apakan, sih?" tanya JAden bernada protes. "Sebaiknya kau tidak perlu mengurusi masalah orang lain, berhubungan dengan SOS akan menimbulkan masalah."

Dia nampak melihat ke kanan dan ke kiri, sebelum melanjutkan, "beberapa keluarga kaya pernah datang mengadukan masalah yang tidak pernah bisa diselesaikan dengan hukum. Dan kau tahu, semuanya berhubungan dengan SOS," katanya dramatis.

Alyx mengerjapkan mata pelan. Dia tidak terlalu mengerti, karena itu bahkan jika Jaden menolak, dia masih ingin temannya itu mengirim hal-hal yang dia ketahui.

Percakapan berakhir, setelah Alyx mendapat anggukan Jaden.

Alyx memutar kursinya, membuat pandangannya melihat ke luar jendela. Sebenarnya dia belum memutuskan apakah akan mengangkat tema mengenai SOS. Tapi kalau menurut Jaden saja ini tidak memungkinkan, sepertinya Alyx juga tidak akan melanjutkannya. Terlebih lagi, ada hal yang membuatnya berpikir keras. Kemarin lusa dia baru bertemu dengan teman kuliahnya yang menginginkan membuat majalah untuk anak-anak. Dan mungkin saja, dan ada kemungkinan besar Alyx akan beralih.

*

Alyx membuka pintu apartemennya, pagi ini dia ada janji dengan Benjamin di restoran tempat pertama kali mereka bertemu. Dia berhenti sebelum menutup kembali pintunya. Sebuah amplop besar bersandar di dinding menarik perhatiannya. Dia mengambilnya. Membuka amplop berwarna cokelat itu. Dan mengeluarkan separuh. Kertas yang menjadi sampul bertuliskan SOS membuatnya tertarik dan mengeluarkan seluruhnya. Sebuah dokumen. Beberapa puluh halaman.

"Jaden?" Pikir Alyx, sesaat dia melihat tulisan judul di sana.

Sepertinya Jaden yang mengirimkannya. Terlalu cepat, baru kemarin dia meminta Jaden memberikannya dokumen mengenai SOS dan itu sudah sampai di apartemennya. Jaden bahkan tidak bilang akan mengirimnya melalui pos.

Alyx memasukkan dokumen itu kembali ke dalam amplop dan membawanya pergi bersama.

"Pagi, Miss Alyx." Tom menyapa Alyx yang baru saja keluar dari lift.

"Tom, lama tak melihatmu, kau dari mana saja?" Serunya melihat wajah yang harusnya selalu berada di tempat kerjanya.

"Aku…" Tom lalu diam, lama.

"Sepertinya urusan pribadi," Alyx mencoba tidak menganggu hidup orang lain. Aku pergi dulu. See ya…"

Alyx melangkah keluar dari apartemen. Menghentikan taksi. Dia akan berangkat dengan taksi karena tempat yang ditujunya cukup jauh dari apartemennya. Dia meletakkan amplop cokelat di sampingnya. Walau tertarik membaca mengenai SOS, dia memutuskan untuk tidak membukanya lagi, entah jika sekadar mengintip.

Taksi berhenti di depan sebuah restoran. Alyx keluar setelah menyerahkan beberapa pound.

Di dalam restoran, Benjamin sudah menunggu dengan beberapa hidangan di atas meja. Dia tidak menunggu kedatangan Alyx untuk bisa menikmati makanan, karena sepertinya dia sudah menyantap beberapa hidangan dari tadi.

"Apa anda bersama orang lain tadi? Kursinya terasa hangat," Kening Alyx terangkat sebelah, meski tak bermaksud menuduh, tapi tanggapan Benjami jelas terdengar aneh.

"Apa? Tidak, aku sudah dari tadi di sini. Baiklah bagaimana keputusanmu?"

"Ah, okay," gumam Alyx, berharap orang ini bisa sedikit tenang. "Jadi, begini," dia memutuskan untuk langsung membicarakannya tanpa berbasa-basi, "aku sudah membuat keputusan untuk bergabung dengan temanku untuk mengelolah majalah anak. Jadi, aku tidak bisa meneruskan kerja sama denganmu mengenai SOS," jelasnya, yang bahkan belum dibicarakannya dengan Nick.

"Tapi, karena kau sepertinya sangat menginginkan semua tentang SOS, ini untukmu." Alyx menyerahkan amplop cokelat pada Benjamin.

"Apa? Tidak," seru lawan bicaranya.

Alyx terkejut melihat Benjamin dengan ekspesi yang aneh dan seperti orang yang ketakutan.

"Itu untukmu saja. Ah, tidak… Maksudku kau sudah membaca ini atau belum?" tanya Benjamin, sebelah pipinya terangkat, matanya tertarik ke bawah, terlihat sendu.

"Ada apa denganmu? Kau baik-baik saja," Alyx bertanya, ingin memastikan.

"Aku baik-baik saja." Benjamin berusaha bersikap tenang meski wajahnya terlihat pucat. "Tentu. Dan sebaiknya kau mengambil ini kembali, aku sudah tidak membutuhkannya. Maksudku, kalau kau tidak akan mempublikasikannya, kau tidak perlu memberiku ini. Aku bisa mencari orang lain. Dan aku akan pergi sekarang. Aku… ah, sebaiknya kau berhati-hati." Benjamin pergi sebelum Alyx mengeluarkan kata lagi.

Alyx memandang amplop cokelat yang tergeletak di atas meja. Apa yang terjadi sebenarnya. Benjamin menjadi sangat aneh.

Tak lama sebuah panggilan masuk ke telepon pintar Alyx. Dia melihat nama Katie di layar.

"Halo Katie, ada apa?" Alyx segera bertanya saat mendengar suara Katie dari seberang telepon.

"Benjamin membatalkan kontrak."

"Oh," Alyx berseru singkat, seperti sudah bisa menebak.

"Apa yang terjadi? Salah satu sponsor utama kita menghilang dan kau hanya mengatakan oh," Katie sepertinya sudah tanpa sadar mengajukan protesnya.

"Tidak masalah Katie," Alyx menekan dahi, berusaha menenangkan gadis yang sudah bekerja bersamanya sejak awal.

"Tapi, dia menghilang tanpa jejak," kata Katie, jelas sangat kesal pada orang bernama Benjamin itu.

"Tapi, aku baru saja bertemu dengannya," balas Alyx, lebih santai dari Katie.

"Apa? Bagaimana mungkin, pekerja di kantor Benjamin mengatakan, bos mereka telah menghilang sejak dua pekan yang lalu. Dan sebentar lagi kantor itu akan ditutup, seharusnya kita tidak membiarkannya menandatangani kontrak sebesar ini."

"Kat, aku sebenarnya tidak mengerti, tapi aku akan kesana segera." Alyx menggelengkan kepalanya, "dan membawa temanku. Kalau Nick tidak datang lagi ke kantor itu berarti… semua selesai."

*