webnovel

SOS

Alyx tidak akan pernah menyangka dirinya terjebak pada sebuah konflik yang tidak dia ketahui kebenarannya. Orang-orang yang tidak dia kenal mulai hadir satu per satu. Dan pada akhirnya dari pintu Timur, Alyx tiba di tanah asalnya, SOS. Negara yang telah memisahkan diri dari dunia luar. Sebuah tempat yang damai, memiliki orang-orang jenius, dan berhati baik. Bisakah Alyx menerima kehidupannya sebagai warga SOS? Dan benarkah tempat itu seindah yang dia dengar?

chiechioechi · Romance
Pas assez d’évaluations
8 Chs

Hadiah Berdarah

Alyx sekarang sudah berada di sebuah restoran mewah, dia datang setelah membuat janji dengan klien atau apalah istilah untuk menyebut orang yang sepertinya berbeda dengan direktur sebelum-sebelumnya. Untuk apa pula datang ke tempat makan, bukannya di kantor saja.

Sekitar satu jam yang lalu. "Siapa? Benjamin?" tanya Alyx yang baru saja tiba di studio pagi ini. Saat telepon berbunyi, tidak ada Katie, jadi dia yang menjawab. "Sayangnya direktur sedang tidak di sini."

"Tentu ada seorang yang menggantinya. Lalu siapa yang… maksudku," dia berdehem sesekali, "mengganti… kau tahu seseorang..."

"Aku," Alyx memutar bola mata, hanya dia yang ada di sini. "Kau ingin bertemu?" tanyanya tanpa basa-basi, sepertinya cukup penasaran pada tampang si penelpon.

"Iya," si penelpon berseru rendah.

"Baiklah. Kapan dan dimana?" Tanya Alyx siap mencatat tempat di kertas memo di dekan telepon.

Jadi disinilah Alyx. Menunggu seseorang yang belum pernah ditemuinya. Dia pikir seseorang mungkin sudah menungggunya, tapi malah terbalik keadaan. Cukup lama berselang setelah kedatangannya, sepertinya orang yang ditunggu sudah tiba. Dia tahu itu saat seorang pria paru baya, dengan janggut lebat berjalan mendekat ke mejanya. Alyx berdiri dan memperkenalkan dirinya, "Alexandra."

"Benjamin," matanya nampak tak fokus menyebut namanya.

Mereka bersalaman dan sebagai yang pertama datang, Alyx mempersilahkannya duduk.

"Jadi Alexandra, apa kau sudah mendengar dari Nick?" Benjamin mencoba bersikap ramah.

"Tidak jelas," Alyx menggerakkan bahu. "Jadi kuharap bisa mendengarnya langsung darimu." Dia ingin memastikan, lalu melanjutkan, "dan bahkan setelah mendengarnya, kami juga masih harus mempertimbangkan apakah akan mengangkat mengenai hal atau tema yang Anda inginkan."

"Tentu. Tentu aku tahu itu," Ben menggeleng dan mengangguk, entah yang mana maksudnya. "Tapi kau tidak akan menyesal saat melakukan ini," nada suaranya cukup berbeda dengan pilihan katanya.

"Ah, okay, jadi apa itu?" Alyx yakin tidak pernah melihat direktur lain dengan tampilan se-tidak percaya diri ini.

"SOS. Ini adalah sebuah organisasi. SOS sudah menjadi rahasia umum," kalimat Benjamin terpotong-potong, seperti seorang murid yang sedang menghafalkan rumus di depan gurunya.

Sudut bibir Alys tertarik, sama sekali tidak tersenyum, karena keningnya pun bersatu, terlihat raut keraguan di wajahnya. "Aku bahkan belum sekali pun mendengar ini."

"Benarkah?" Ben ber-oh-oh ria. "Memang ini hanya diketahui kebanyakan dari kalangan atas, tapi apa Nick tidak mengatakan ini padamu? Atau kau tidak pernah mendengar dari orang lainnya, kau sebagai seorang photographer yang sedang di puncak, punya koneksi yang bagus, jadi tidak mungkin kau tidak pernah mendengar dari mereka," sekarang dia bernada menuduh.

"Sayangnya memang tidak pernah," Alyx mencibir, tapi dia masih tetap menghormati lawan bicaranya.

"Sedikit aneh rasanya mendengar kau tidak tahu. Jadi, kupikir kalau kau ingin mengetahui mengenai ini, kau harus mencari tahu sendiri."

"Apa ini beresiko? Kedengarannya cukup tidak jelas, atau apalah itu," kata Alyx jujur. "Nick bahkan tidak mendapatkannya di internet. Jadi kupikir sesuatu yang buruk akan terjadi kalau kami…"

"Kau berpikiran terlalu jauh," Benjamin menyela. "Kau tahu ini sebuah rahasia umum. Jadi mereka tidak pernah ingin mempublishnya ke dunia yang lebih luas. Hanya yang membutuhkannya yang akan mencari tahu."

"Jadi kau membutuhkan SOS?" Alyx bertanya, menghentikkan penjelasan lawan bicaranya itu.

"Tidak-tidak," gelengan Benjamin bergerak cepat. Berhenti dengan tatapan serius tertuju pada Alyx. "Aku ingin kau membantu orang-orang agar lebih mudah menemukannya."

"Ini terdengar sedikit aneh." Alyx diam sejenak, dia tidak yakin orang ini bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. "Oh iya, apa maksudmu tadi, dengan Nick yang tidak memberitahuku?"

Mata Benjamin lalu membulat. "Bukankah dia salah satu produk SOS?"

*

"Nick, kau di rumah?" tanya Alyx sedikit terbata-bata. "Kau tahu mengenai SOS?" Setelah kembali ke kantor, dia segera menghubungi Nick.

"Sepertinya ada yang baru saja menemui orang aneh itu," gumam Nick datar. sepertinya sudah bisa menebak, ada nada kesal yang tercipta di kalimatnya.

"Iya, aku tahu, aku minta maaf," balas Alyx menjepit tulang hidungnya, sepertinya cukup menyesal dan lelah. "Tapi, Nick, kau tahu dia mengatakan hal aneh."

"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya," protes Nick. "Sebaiknya kau tidak perlu menuruti apa yang dikatakannya."

"Nick, kenapa kau tidak menceritakan apa yang kau ketahui?" Alyx mencoba mencari tahu, meski tanpa sadar dia sudah terlalu menekan lawan bicaranya.

"Memang apa yang kuketahui?" Nick nampak disalahkan. "Aku tidak tahu apa-apa."

"Lalu kenapa dia mengatakan kau adalah produk SOS. Apa maksudnya itu?" Alyx bertanya, dan hening tercipta beberapa saat.

"Apa?" Nick setengah berteriak. "Ah, aku tutup dulu."

Tak ada suara lagi dari seberang telepon. Alyx memandangi smart phone miliknya. "Apa-apaan itu?" gerutunya atau memeang dia seharusnya tidak mengatakannya pada Nick. Tapi, sepertinya memang Nick merahasiakan sesuatu darinya.

Alyx menyandarkan punggung dan memejamkan matanya. Berpikir beberapa jenak. Dan membuka mata saat seseorang mengetuk pintu ruang kerja Nick.

"Katie ada apa?" Tanya Alyx sesaat melihat keraguan dari gerak asistennya itu.

"Seseorang membawa ini." Katie mengangkat sebuah kotak, keningnya berkerut.

"Letakkan saja, aku akan membawanya pada Nick, nanti."

"Tidak," sela Katie, "ini untukmu, kurasa, ah tidak maksudku ada namamu di sini."

"Benarkah?" Alyx meraih kotak itu dan segera membukanya. "Apa ini?" tanyanya tanpa nada. "Siapa yang membawanya?" dia nampak menahan kekesalan, menghentikkan Katie yang baru saja akan keluar.

"Tadi seseorang," Katie menunjuk pintu. Matanya sedikit kabur, tak mengerti dengan ekspresi geram Alyx.

Alyx telah keluar, melewati Katie, tanpa kata. Langkahnya cepat, setengah berlari. Bermaksud dia bisa mendapati seseorang mencurigakan yang telah membawa kotak itu ke sini. Tapi, sayangnya dia tidak menemukan siapa pun di luar sana.

Katie mengikuti, berdiri di belakang Alyx yang nampak menunduk. "Dia langsung pulang setelah mengantar ini," gumamnya, merasa bersalah tidak bertanya lebih lanjut pada si pembawa kotak. "Ah, dan dia mengenakan jas," lanjutnya bahkan tanpa Alyx bertanya lagi.

Alyx menghela nafas panjang, "okay," katanya tak tahu harus mengatakan apa. Dia lalu bergerak, masuk kembali ke ruangan. Dia duduk, memandang kotak yang baru saja diletakkkannya di atas meja. Beberapa kali dia mengalihkan mata dari sana, tapi tetap saja dia tatapan sinisnya tertarik ke benda itu.

Dia menggigit bibir, seperti menguatkan diri, lalu mengeluarkan isinya, sesaat melihat benda di tangannya itu dia segera menjatuhkanna. Sebuah boneka kucing berwarna putih dengan bercak darah terhempas di samping kursi.

*