webnovel

BAB2

"Aku nggak bermaksud begitu, Sayang." Aduh sial, salah ngomong lagi. Susah memang menghadapi masalah seperti ini. Namun, aku berusaha untuk tidak mempermasalahkan sikap Neti yang manja. Aku mengerti, ia adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Keduanya memberikan semua itu. Mereka memanjakan Neti dengan segala yang dia punya. Apa pun yang diinginkan Neti selalu dipenuhi mereka.

Malam itu, Neti meninggalkanku dan menelepon adiknya lebih cepat. Hanya lima belas menit dia bersamaku.

"Neti..., kita bisa bicara dulu. Jangan seperti ini." Aku sempat menahannya, tetapi Neti tetap meninggalkanku.

"Aku lagi nggak pengen bicara denganmu lama-lama," ucapnya sebelum meninggalkanku sendirian di bawah remang lampu tiang.

Udara yang terasa semakin dingin mengantarkanku sampai ke indekos. Dua sahabatku seperti biasa, mereka sedang larut dalam dunia mereka masing-masing. Panjul sibuk dengan laptopnya, menonton film kartun dan main game berjam-jam. Padahal, sekarang kami akan segera memasuki ujian kelulusan. Sementara, Doli sibuk menelepon pacarnya. Entah pacar yang mana karena dia tidak hanya memiliki satu pacar. Aku tidak tahu berapa orang jumlah pacar Doli. Namun, yang pasti dia selalu gonta-ganti pacar lebih cepat daripada jadwal ujian tengah semester.

"Dari mana aja, Yogi?" sapa Panjul dengan wajah tetap fokus pada layar laptopnya.

"Abis ketemu Neti."

"Gimana, udah selesai masalahnya?" lanjut Panjul.

"Belum, malah makin runyam. Susah memang menghadapi gadis yang manja kayak Neti."

"Udah tahu susah, masih aja bertahan." Doli menceletuk sambil tetap menelepon pacarnya. "Bentar ya, Sayang, teman aku pulang, aku mau ngobrol sama dia dulu," ucap Doli kepada orang yang dia ajak ngobrol lewat ponsel.

Doli mendekat dan dia duduk di hadapanku. Tubuh Doli memang sedikit lebih tinggi daripada tubuhku. Ia rajin berolahraga sehingga tubuhnya terbentuk bagus. Baginya, penampilan adalah hal yang utama. Nilai dan urusan kuliah hanyalah selingan. Lelaki ganteng yang kurang pintar dalam hal pelajaran sekolah. Begitulah istilah yang sering diberikan oleh Santi. Sementara, Panjul tetap bertahan di depan laptopnya. Seakan dia tidak peduli jika pun lensa kacamatanya akan bertambah tebal. Baginya, tidak ada hari tanpa menatap layar laptopnya berjam-jam. Tiga tahun tinggal bersama mereka membuatku cukup paham pribadi masing-masing. Kami mengontrak sebuah rumah kos-kosan. Tiga kamar tidur dan satu kamar mandi bersama. Satu ruang tengah yang sering kami jadikan tempat untuk berkumpul kalau sedang berada di kos. Terpisah enam ratus meter dari rumah pemilik kos. Selama itulah, apa pun yang kami alami, hampir tidak ada yang luput untuk kami ceritakan. Termasuk masalahku dengan Neti.

"Yogi, jangan-jangan Neti benar-benar tidak cinta kamu sama sekali." Doli duduk menatap ke arahku.

Aku terdiam. "Kok kamu ngomong gitu sih, aku nggak suka kau ngomong gitu, Dol. Ini cuma masalah kecil." Aku tahu Doli jago masalah perempuan, dia bahkan bisa menebak karakter perempuan hanya dari fotonya. Tidak mengherankan memang jika dia bisa memberikan penilaian seperti itu.

Namun, bukan kepada kekasihku, Neti.

"Aku capek nih dan pengen istirahat. Aku mengenal Neti. Dia nggak seperti anggapanmu." Aku mencoba memberi senyum. Mengabaikan pendapat Doli. Aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Termasuk dengan Doli. Bertemu dengan Neti tadi sudah cukup menguras energiku.

"Ya sudahlah. Kalau kau nggak suka, aku nggak akan jelasin apa-apa. Tapi, sebagai sahabatmu, aku kasihan melihatmu. Neti itu..."

"Tahu apa kau soal aku dan Neti? Aku dan Neti sudah dua tahun menjalin hubungan, sementara kau? Hubunganmu bahkan nggak pernah lebih dari tiga bulan dengan pacar-pacarmu." Aku sedikit kesal mendengar Doli menyudutkan Neti. Dan, ujung-ujungnya selalu memberi penilaian buruk. Aku sudah mencoba menenangkan diri dan tidak membahas lagi. Emosiku sedang tidak stabil. Mungkin karena tubuhku sudah kelelahan karena seharian cuaca tak menentu.

"Yogi.., Yogi.., aku nggak mau gara-gara perempuan kita bertengkar." Dia tertawa kecil. "Ya sudah, sekarang kau jalani aja, biar waktu yang menjawabnya."

Aku tidak menjawab ucapannya yang menyebalkan itu. "Aku mau tidur," ucapku, kemudian pergi meninggalkan dua lelaki itu.

"Oh ya, untuk urusan aku pacaran cuma dua bulan, itu jauh lebih keren daripada si Panjul yang jomlo terus." Doli setengah berteriak saat aku sampai di kamar.

"Kok, aku dibawa-bawa?" Terdengar samar suara Panjul kesal.

Selain Santi, Panjul dan Doli juga sudah berbagi rahasia paling parah sekalipun kepadaku. Di antara kami berempat, hanya akulah yang perjalanan asmaranya cukup baik. Maksudku, dalam segi waktu. Aku sudah menjalin hubungan selama dua tahun, sementara Santi sudah bertahun-tahun memilih memendam perasaan kepada teman satu organisasinya. Tak pernah berani mengungkapkannya, tetapi terus saja berbagi cerita kepada kami.

Padahal, Santi perempuan yang cukup manis. Suka mengenakan pakaian yang lebih tertutup dan berhijab. Juga memiliki pola pikir yang sangat terbuka. Santi senang berdiskusi dan tidak suka mendikte. Meski terkadang cerewet kalau ada di antara kami bertiga yang lalai dalam urusan sekolah dan hal-hal yang dia pikir penting, kadang Santi juga tidak bisa menyimpan masalahnya sendiri. Untuk urusan asmara, Santi selalu bercerita kepada kami. Hanya saja, meski cerdas di bidang pelajaran sekolah dan organisasi, Santi lemah untuk urusan asmara. Dia perempuan yang paling pandai memendam perasaan kepada lelaki yang dia suka.

Sementara Panjul, dia tidak mau lagi berpacaran. Sejak ditinggal oleh cinta pertamanya, yang dipaksa orangtua si perempuan menikah setelah mereka tamat sekolah nanti, Andre seperti mati rasa kepada perempuan, dan lebih memilih menghabiskan hari-harinya di depan laptop selain kegiatan sekolah. Sesekali, malah larut dalam alunan lagu Minang yang mendayu-dayu.

Bahkan, Panjul cenderung tidak memperdulikan penampilannya. Lelaki berkulit sawo matang ini jarang melepas kacamatanya sebab rutinitas dengan laptop yang tinggi. Panjul memang tidak lebih tinggi dibandingkan aku. Namun, Panjul lebih sering kena omelan Santi karena terlampau cuek dengan kesehatannya sendiri, terutama kesehatan matanya.

Kami berempat adalah siswa di sekolah yang sama. YKWI Sakuntala jalan Harapan Raya Kota Pekan Baru Riau.

Doli lain lagi. Bisa dibilang, dialah lelaki yang paling beruntung, dengan tubuhnya yang bagus di sertai wajahnya yang tampan, dia hampir bisa memacari semua perempuan yang dikenalkan oleh Santi—kecuali Neti, kekasihku. Meskipun playboy, Doli tidak akan merebut pacar sahabatnya sendiri. Begitulah yang ku tahu selama ini. Si playboy ini memacari siapa saja, mulai dari anak gadis, ibu kantin, guru janda, sampai guru muda.

Sedang kekasihku—Neti, aku mengenalnya lewat Santi, dua tahun yang lalu. Sebagai siswa yang aktif berorganisasi, Santi adalah perempuan yang suka bergaul, punya cukup banyak teman perempuan yang bisa dikenalkannya kepada kami.