webnovel

Nereid Tidak Mati

Soca

Nereid berada di ruangan persegi berdinding batu pualam yang sempit dan gelap. Kedua tangannya terikat oleh gelang rantai dari kedua sisi. Meringkuk di atas tumpukan jerami. Terlihat darah berceceran di mana-mana.

Benar.

Nereid belum mati, sebab sesekali punggungnya berguncang lantaran batuk yang dialami. Kemudian darah segar berlomba keluar dari mulut.

Seorang gadis tanggung kira-kira berusia lima sampai enam belas tahun datang membawa nampan. Membuka selot kemudian mendorong pintu jeruji dengan sangat hati-hati. Suara berderit memenuhi lorong panjang dan gelap.

"Tuan Nereid ...," gadis itu memanggil ragu-ragu. Meletakkan nampan berisi makanan dan segelas air di hadapan Nereid. Duduk bersimpuh di samping nampan, memandang dengan tatapan penuh duka. Merasa kasihan.

Nereid bangkit perlahan. Gerakannya menimbulkan suara gemerencing rantai yang tercokol pada dua sisi dinding. Roti gandum kualitas rendah di atas nampan disambar, kemudian dimakan lahap. Terburu-buru. Namun, roti belum habis sepotong, ia sudah tersedak.

Terbatuk keras. Roti yang tadi dikunyah secara kasar dan masuk ke perut terhambur lagi ke luar bersama darah segar berwarna merah cerah.

"T-tuan, Tuan Nereid ...."  

Si gadis pengantar makanan menjadi panik sekaligus terkejut di waktu yang bersamaan. Cepat-cepat ia mengambil gelas berisi air dan menyodorkannya. Namun, Nereid malah menepisnya hingga jatuh. Air di dalam gelas tumpah berhamburan.

Gadis itu lupa, Nereid tidak pernah minum.

Rallia telah menjadi budak Paliv Kliros selama empat tahun dan bertugas mengantar makanan untuk Nereid dua tahun belakangan ini. Namun, hal yang selalu membuatnya bingung, air minum remaja itu selalu utuh. Tak berkurang setetes pun.

Budak bertubuh kurus itu pun menyimpulkan bahwa Nereid tidak pernah minum selama dua tahun ini.

Rallia terperanjat saat gendang telinganya menangkap langkah kaki mendekat. Buru-buru ia mengambil gelas serta nampan. Bermaksud untuk meninggalkan sel secepat mungkin. Namun, saat hendak membuka pintu. Paliv serta penasihatnya—Alepa Saxre— sudah di muka.

Sontak, Rallia menarik mundur tubuhnya. Tidak berani keluar. Gadis itu pun memilih bersujud di sudut ruangan.

Paliv menggunakan ujung sepatu untuk menarik rahang Nereid. Pria berusia lima puluh tahunan itu mengamati. Meski sudah tidak muda lagi, tetapi ketegasan di wajahnya masih kentara. Kumis serta cambang tipis menabah kuat tampilan yang keras.

"Apa-apaan ini?" Paliv membolak-balik wajah Nereid ke sisi kiri dan kanan dengan kakinya. "Kenapa kondisimu masih sangat buruk? Biasanya pulih dengan cepat."

"Aku dengar lawannya menggunakan senjata." Alepa berdiri di samping Paliv. "Kurasa wajar saja dia kalah kali ini. Lagi pula, kita tetap mendapatkan untung banyak."

"Kau benar! Anjing ini tidak bersalah, orang yang seharusnya mendapat kemarahanku adalah bocah pirang itu. Bocah yang sudah membuat anjing andalanku terluka." Paliv mengepalkan jari-jemarinya. "Bagaimana, apa kau sudah mengirim orang untuk menyelidiki asal usul pemuda yang bernama Rigel itu?"

"Ya, kurasa besok pagi atau lusa orang-orangku akan mendapatkan semua informasi yang akan memenuhi dahagamu." Alepa mengangkat bahu. Cara bicaranya santai saja, tetapi tenang. Dari ketenangannya itulah ia terlihat tidak biasa. Berilmu dan berpengetahuan luas.

"Hm, kau memang selalu bisa diandalkan." Paliv tampak merasa puas dengan kinerja penasihat.

"Jadi, apa perlu kita membawa tabib untuk membantunya." Alepa mengamati Nereid dengan saksama.

"Jika demikian memang diperlukan. Aku tidak ingin anjing ini mati."

"Baiklah!"

Paliv mendengus dingin dan beranjak meninggalkan sel, diikuti oleh Alepa. Mereka tampak berbincang-bincang, entah apa yang dibicarakan.

Sementara itu, Rallia yang sedari bersujud mulai bangkit. Mendekat dan mendapati bahwa remaja itu masih bernapas. Ia menyobek pakaian lusuhnya dan digunakan untuk mengelap darah di mulut makhluk yang tergolek lemah. Namun, dengan lemah Nereid menepis tangannya.

"Pergi ...."

Suara Nereid begitu lirih sampai hampir tak terdengar. Setelah itu ia langsung terbatuk, memuntahkan darah. Napasnya tersendat berat.

Ragu-ragu, Rallia menarik tangannya. Membeku beberapa saat. Menampilkan mimik tidak rela harus angkat kaki dari sana. Cemas serta khawatir. Namun, kehadirannya tak diinginkan. Lebih dari pada itu, dirinya juga masih memiliki segudang pekerjaan. Di mana cambukan siap melecut punggung bilamana lalai dalam bekerja.

Bangkit berdiri, gadis kurus itu mengambil lagi nampan serta gelas kemudian melangkah keluar. Ia berdiri beberapa saat di luar sel. Menatap sosok yang meringkuk dari jendela kecil di dinding bui. Mengembuskan napas. Langkah pun diayun lemah.

Rallia berjalan sembari menunduk melewati lorong-lorong sel. Saat di perempatan, kepalanya menoleh cepat. Namun, tidak ada siapa pun. Hanya ada lorong gelap dan sepi. Pelita obor bergerak-gerak di keremangan. Menampilkan siluet-siluet seram menyerupai bayangan-bayangan setan.

Bersambung ....