Malam itu di televisi ramai dibicarakan, tentang seorang gadis yang dibunuh oleh mantan kekasihnya dan mayatnya diletakan begitu saja dipinggir jalan Tol sekitar Bekasi.
Dalam hati aku berpikir tega sekali dia membunuh mantan kekasihnya dengan cara yang keji. Bagaimana perasaan orang tuanya yang ditinggal oleh anak satu-satunya. Anak yang diharapkan dapat dibanggakan kelak nantinya.
Pikiranku berkecamuk hingga sampai memikirkan hal yang dirasa tidak penting. Hmm nasib dan takdir memang tidak ada yang dapat menduga.
Saat sedang menyimak berita di layar televisi di tengah ruang tamu, pandanganku terusik oleh sesosok wanita atau lebih tepatnya seorang gadis yang berdiri di pintu sebelah televisi.
Wajahnya oriental, berkulit putih dengan rambut sebahu. Rambutnya kulihat tidak beraturan. Seperti seorang yang sedang kelelahan atau sedang mengalami sesuatu yang menyita banyak energi. Dia memakai baju putih terusan selutut dengan sedikit aksen bunga yang tidak terlalu menonjol. Kakinya polos tanpa alas menutupi jemarinya.
Kulirik dengan sudut mata. Walaupun dia kulihat cukup jelas aku memilih tidak menghiraukannya.
Dia masih mematung terdiam disana dengan tatapan lurus dan kosong. Tanpa ekspresi dan datar.
Aku kembali menyimak berita tentang pembunuhan di layar kaca. Tak ada sedikitpun terbesit jika yang berdiri di sebelah sana adalah sang korban. Hingga sampai kutahu, dia tidak dapat mengucapkan sesuatu.
Sebelumnya, Aku berpikir mengapa dia tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Yang dilakukannya hanya sedikit mengangguk dan menggeleng dengan gerakan yang hampir tidak bisa dibaca.
Apakah dia bisu?
apakah dia memang anaknya pendiam atau apa ?
Kulihat di televisi dia anak yang normal dan tampak ceria dan memiliki teman sebaya yang banyak. Tak mungkin dia masuk kategori bisu dan anti sosial.
Lalu apa yang menyebabkan dia seperti itu?
Tak mungkin aku bertanya kepada 'mereka' yang datang. Biasanya mereka yang membuka obrolan atau sekedar memberikan dialog pembuka atau semacamnya. Baru selanjutnya aku menimpali. Itulah cara kerjaku. Agar tidak dibilang kepo atau mau tahu urusan mereka. Ya seperti itulah.
Kembali ke dia, kulirik kembali sambil terus menggelayutkan sejuta pertanyaan. Kemudian dia membuka mulutnya.
Astaga ... aku baru ingat. Sang korban ditemukan tewas dengan mulut yang penuh kertas koran. Kini kutahu dia membuka mulutnya ingin menunjukan bahwa dia tidak dapat berbicara. Kertas koran membuatnya tidak bisa bernapas dan menuntup saluran kerongkongannya. Kekurangan oksigen dan meninggal perlahan.
Sang pelaku melakukannya karena pasti tidak ingin sang korban berteriak dan terus merengek. Dan dari dialah saya tahu kalau sang pelaku tidak tega mendengar rajukan sang korban.
"Maafkan aku, karena tidak tahu kau seperti itu," ujarku.
Dia menggeleng. Mungkin katanya "tidak apa apa."
"Orang tuamu orang yang hebat. Mereka orang yang tegar. Dapat memaafkan sang pelaku dengan hati yang besar," ujarku sambil tersenyum.
Dia mengangguk sambil sedikit tersenyum.
"Kau pasti bangga telah memiliki mereka," kataku lagi.
Matanya memerah dan dia menangis. Air matanya meleleh.
Rasanya ada yang salah dengan kata-kataku.
"Kenapa? Kau ingin meminta maaf kepada orang tuamu?" ku kembali bertanya.
Dia mengangguk pelan. Tergambar dengan jelas bahwa dia menyesal apa yang dilakukan pelaku padanya. Pelaku yang awalnya baik bisa berbuat seperti itu. Tega menghabisi nyawanya dengan kejam.
Tunggu....
Dia meminta maaf kepada orang tuanya atas apa yang dilakukan pelaku?
Sepertinya ada yang aneh. Mengapa justru dia yang meminta maaf. Toh dia sekarang sudah tidak ada lagi di dunia. Kenapa dia berkata seperti itu?
Aku bingung dengan apa yang disampaikannya. Walaupun dia tidak berbicara, tetapi jelas dia mengharapkan orang tuanya memaafkan dirinya.
Apa yang diturunkan orang tua ini kepadanya? Perilaku macam apa ini?
Aku bingung dan tidak habis pikir dengan jalan pikiran keluarga ini. orang tuanya memaafkan pelaku atas apa yang dilakukan terhadap anaknya. Dan sang anak meminta maaf kepada ibunya atas perlakuan pelaku kepadanya. Ini hubungan keluarga yang sulit di cerna oleh logika orang yang kehilangan sesuatu.
Entah apa yang diajarkan oleh orang tua ini kepada sang anak hingga mempunyai pikiran seperti itu. Hebat. Yang pasti mereka mengajarkan bahwa kemarahan tidak menyelesaikan apapun. Tidak dirinya tidak orang lain. Bahkan untuk orang yang sudah meninggal sekalipun.
"Mau meminta maaf kepada mama dan papa atas apa yang dilakukan Ha***. Harusnya aku tidak mengakhiri hubungan ini dengannya. Aku telah berbuat salah sehingga dia marah dan tidak terima. Aku salah. Banyak hal yang kulalui dengannya. Waktu aku terakhir kali dengannya pun dia sebenarnya tidak tega dan tidak bermaksud demikian. Dia hanya berusaha membuat aku terdiam dan tidak banyak mengoceh. Itu saja," dia terdiam.
"Mama, maafkan ade ma ... Ade banyak salah ke mama. Harusnya ade jujur bicara sama mama. Ade minta maaf .... "
Kata-katanya terlontar begitu saja dari hatinya. Hatinya telah berbicara. Berbicara apa adanya. Bicara tanpa dendam. Bicara tanpa ada sakit hati.
Dia tersenyum. Seperti ada perasaan lega yang sudah terungkap.
Perasaan yang membuat saya berpikir kembali jika berbuat jahat kepada orang lain. Apakah orang lain akan membalas dengan berbuat jahat atau malah memaafkan?
Ya, Memaafkan. Sepertinya sulit dilakukan apalagi jika yang dijahati kenyataanya sudah tidak ada. Sungguh beruntung sang pelaku.
-------
Mohon maaf jika banyak kata yang sedikit membingungkan. Dia bingung saya pun bingung karena dia tidak berbicara, hanya mengungkapkan dengan hati.
Semoga tidak mengurangi pesan dan inti cerita yang dia ingin sampaikan