webnovel

KEADAAN TERDESAK

Mirza tidak bisa tenang. Sepanjang jalan yang ada hanya Anjeli. Ia ingin memastikan istrinya dalam keadaan baik-baik saja. Belum lagi ada ular yang katanya diletakkan di dekat Anjeli. Bagaimana bisa lelaki itu bisa mengendalikan emosinya. Sedangkan istrinya kini dalam keadaan bahaya. Hujan tiba-tiba turun begitu lebat. Membuat pandangan Mirza terganggu. Dia tak mungkin bisa mengemudi dalam kecepatan tinggi.

"Kita berhenti dulu saja Bos."

"Tidak bisa Ben. Kita harus segera sampai di sana."

"Tapi bahaya bos."

"Bismillah saja Ben. Kita harus segera sampai di sana. Kalau memang terpaksa harus menyerahkan semua harta pada mereka tak masalah. Asal Anjeli selamat.

"Saya ikut bos saja. Maaf ya bos. Gara-gara saya yang tidak menuruti keinginan mereka, semua jadi begini."

"Simpan saja kata maafmu itu Ben. Sekarang bukan saatnya bermelo-melo. Kita diburu waktu untuk bisa sampai di sana tepat waktu."

Mobil Mirza tetap melaju di tengah guyuran hujan. Entah kenapa langit tidak bersahabat dengannya saat ini. Mungkin ini adalah ujian agar dia lebih sabar menghadapinya. Mirza mencoba berfikir positif di tengah kekhawatirannya pada keadaan Anjeli.

"Hubungi Romi, Ben. Kita sudah mau sampai kayaknya kalau dari petunjuk arah."

"Baik Bos."

Beni menghubungi Romi berulangkali. Namun sayang tidak aktif.

"Bos, tidak aktif."

"Astaghfirullah... Apa jangan-jangan Romi kenapa-kenapa?"

"Entahlah Bos." Beni masih berusaha untuk menghubungi Romi tapi tidak tersambung juga.

***

Romi berusaha menerobos pintu masuk yang ada di belakang rumah tua itu.. Sedikit menyeramkan karena gelap dan lembab ditambah hujan yang turun begitu deras. Dia berjalan dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Dia mengintip dari celah pintu belakang ternyata kedua orang itu kini duduk di dekat Anjeli dengan tangan yang terikat dan mulut dilakban. Romi yang membawa pistol. Beruntung ia selalu menyimpan pistol di dalam dashbord mobilnya.

"Kamu harus kuat ya An. Kamu pasti lapar dan haus."

Romi melirik ponselnya. 'Bagaimana bisa ponselku mati? padahal tadi batrenya penuh. Beni pasti tidak bisa menghubungiku,' batin Romi sambil berusaha menyalakan lagi ponselnya.

Mirza dan Beni telah sampai di rumah kosong sesuai dengan perintah Miftah. Mirza disuruh datang ke sana untuk menandatangani dokumen penjualan perusahaan. Yang ada di dalam otak mereka hanya harta dan harta saja.

"Kak... Aku datang." Mirza menggedor pintu rumah yang terlihat sepi itu. Tapi tiba-tiba saja ada banyak orang yang menghampiri mereka.

"Sial Bos.. Mereka melibatkan banyak anak buah." Mirza dan Beni awas melihat ke sekeliling mereka. Ada sekitar sepuluh orang yang berjaga. Mirza dan Beni hanya menurut saat mereka disuruh masuk ke dalam ruangan oleh anak buah Miqdam dan Miftah. Mereka tak membawa senjata apapun apapun selain pisau lipat di saku celana Mirza.

Miqdam dan Miftah menyambut kedatangan Mirza dan Beni dengan senyum sinisnya. Mirza dan Beni yang didorong masuk oleh para anak buah miqdam dan Miftah, membuat keduanya terjerembab. Dan ketika dia mendongak, kedua Kakaknya itu menunduk menatap tajam ke arah Mirza. Adik kandungnya.

"Aku sudah menduga kamu pasti akan datang Mirza."

"Cepat katakan apa maumu Kak?"

"Tidak usah terburu-buru Mirza. Apa kamu tidak rindu dengan kakakmu ini? Tenang saja istrimu baik-baik saja. Sudah ada banyak ular yang menjaganya. Hahaha. "

"Kamu jangan macam-macam sama istriku Kak. Aku akan ikuti apa maumu. Asalkan kamu tidak berbuat macam-macam pada istriku."

"Kamu sungguh suami yang luar biasa Mirza. Kamu rela mengorbankan semua harta hanya demi perempuan itu."

"Aku tidak masalah kehilangan harta benda dan kekuasaan. Asalkan masih ada Anjeli disisiku itu sudah cukup buatku. "

"Bukannya kamu yang selama ini selalu gila harta? Kamu yang membujuk Ayah agar tidak memberikan harta sepeserpun pada kami. "

"Kamu salah Kak. Ayah memberikan perusahaan kepada kita bertiga. Hanya saja Ayah memang memberikan wewenang untukku mengurus perusahaan. Karena kakak berdua tidak pernah mau tahu tentang perusahaan. Bukannya sejak dulu Ayah sudah meminta kalian untuk terjun mengelola perusahaan beliau? tetapi kalian lebih suka dengan hura-hura dan pesta. Apa pernah kalian peduli? "

"Itu karena aku tahu perusahaan tidak akan pernah diberikan pada kami. Buat apa kami peduli kalau pada akhirnya Ayah memberikannya kepadamu. "

"Sudah aku bilang perusahaan itu milik kita bertiga. Tetapi ayah yang memberikan wewenang padaku untuk mengelolanya. Kalian salah paham kalau selama ini mengira bahwa perusahaan itu memang diberikan kepadaku saja. "

"Kamu bohong Mirza. Pintar sekali Kamu membela diri. Sudah sekarang cepat tandatangani surat ini. Aku sudah menyiapkan dengan pengacara agar perusahaan bisa cepat dijual. "

"Kak, Tahukah kamu bagaimana pengorbanan ayah untuk membangun perusahaan itu? Bagaimana dulu ayah jatuh bangun membangun bisnisnya? Sekarang dengan enaknya kalian mau menjualnya. Apakah kalian itu tidak punya otak?"

"Tidak usah banyak ngomong kamu Za, Aku sedang butuh uang sekarang. Dan jalan satu-satunya adalah menjual perusahaan itu."

"Untuk membayar hutang kalian? Hutang judi kalian di luar negeri kan? Dari dulu sampai sekarang sifat kalian tidak pernah berubah. Harusnya kalian malu sama ayah. Kalian tidak pernah bekerja keras tapi hanya minta enaknya saja. Dan sekarang kalian mau menjual satu-satunya peninggalan Ayah, peninggalan orang tua kita. "

"Persetan dengan semua itu. Aku tidak peduli. Yang jelas aku harus melunasi hutang-hutangku. Agar anak dan istriku bisa hidup tenang dan tidak sembunyi-sembunyi seperti sekarang. Memang salah siapa kalian berjudi? kalau saja kalian mau bekerja keras di perusahaan membantuku, pasti semua ini tidak akan terjadi karena itu salah kalian sendiri. Kenapa sekarang jadi orang lain yang kalian rugikan? Aku tidak masalah jika harus kehilangan semuanya. Asalkan aku tidak kehilangan istriku. Tapi ingat ya Kak hidup kalian tidak akan pernah tenang seumur hidup. Karena kalian mendholimi orang tua kita sendiri. Orang tua yang sekarang sudah tidak ada. Yang seharusnya membutuhkan doa dari anak-anak seperti kita. Tapi kalian malah menyulitkan Jalan mereka di akhirat."

"Tidak usah banyak ceramah kamu,Za. Cepat kamu tandatangani surat ini. "Kamu lihat apa yang dibawa oleh Miftah? Itu adalah remote untuk mengendalikan kandang di sebelah sana." Miqdam menunjuk ke sebuah ruangan yang gelap yang hanya terlihat sebuah kandang dengan banyak ular yang ada di sana. Sedangkan di dekatnya ada seorang wanita yang duduk bersimpuh dengan tangan yang terikat. Mirza membulatkan matanya, Ia tidak bisa menahan lagi amarah. Karena istrinya diperlakukan seperti itu oleh kakak kandungnya sendiri.

" Memangnya remote Apa itu? "

"Remote ini yang mengendalikan kandang di sebelah sana. Jika kamu tidak mau menandatangani surat ini, maka remot ini akan aku pencet dan otomatis kandang akan terbuka. Kamu tentu tahu apa yang terjadi selanjutnya.

"Apa selama ini pengorbananku itu tidak ada artinya buat kalian? Aku selalu mengirimkan uang. Untuk mencukupi keluarga kalian. Aku bekerja siang malam tak kenal lelah hanya agar bisa memenuhi kebutuhan kalian. Tetapi kalian membalasku dengan semua ini. Kalian benar-benar tidak punya hati dan otak.

"Ayo cepat tanda tangan aku tidak bisa menunggu lama lagi." Anak buah yang berada di belakang Mirza, telah bersiap menodongkan pistolnya. Saat ini dia benar-benar dalam keadaan terdesak. Mirza tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menandatangani surat itu. Dengan berat hati, hari ini dia akan benar-benar melapaskan semuanya. Tapi tak mengapa asalkan Anjeli bisa kembali lagi di sisi-nya. Dengan hati-hati Mirza mengambil pulpen dan dengan penuh pertimbangan dia akan menorehkan tanda tangan di atas kertas.

"Dor!!! Dor!!! Dor!!!" darah bercucuran ke mana-mana.