webnovel

Simfoni Asmara Sepasang Bintang Jatuh

Menjadi artis di bawah sorotan kamera atau menjadi penyanyi yang lantunan suaranya terdengar merdu? Duo sejoli yang dulunya sempat naik daun sebagai bintang film, mau tidak mau hidup sedikit lebih sulit dari sebelumnya karena terjerat hubungan rumah tangga. Walau begitu, mereka tidak menyerah dan tetap berjuang mempertahankan hubungan romantis mereka tanpa harus meninggalkan dunia hiburan! Mencicipi rasa baru sebagai penyanyi mungkin bisa menjadi jawabannya?

ArlendaXXI · Politique et sciences sociales
Pas assez d’évaluations
420 Chs

Hujan Datang

Membuat film, tampil dalam banyak program, dan muncul dalam majalah-majalah adalah impian banyak aktor. Andi akhirnya bisa melakukan ketiga hal itu sekarang.

Hanya saja, Sinta-lah yang mendiskusikan kegiatan ini dengan fotografer. Alhasil? Lebih dari satu lusin pasang dari tiga jenis pakaian, termasuk pakaian formal, santai, dan olahraga, sudah dicobanya. Dia juga sudah mencoba berbagai jenis postur. Setelah tiga atau empat jam bolak-balik seperti ini, hanya ada sekian belas foto yang bisa digunakan.

Oknum yang mempengaruhi wawancaranya adalah Sinta. Nah, segmen wawancara itu diajukan oleh Sinta dan majalah tempatnya bekerja. Itu juga merupakan segmen media cetak pertama bagi Andi. Keduanya kini berada di sebuah kedai kopi tak jauh dari kantor majalah tempat Sinta bekerja.

Sinta mengambil foto yang sudah diproses dan menyentuh dagunya dengan ekspresi sombong. "Menurutku, adikku punya penglihatan yang sangat bagus!"

Hei, hei, hei, kenapa kau menggoda saudara iparmu seperti itu? Andi mengeluh dalam hati, namun tidak ingin menyuarakannya.

"Hei, artis terkenal, apakah waktu istirahat seperti ini menyenangkan?" Sinta tampak jahil. "Bukankah adikku yang malang jadi tertinggalkan?"

"Alah, Kak, tidak usah bicara begitu! Apa yang membuatku pantas digoda olehmu seperti ini, eh? Kalian semua tahu bahwa adikmu itu menyedihkan, dan saat mewawancaraiku, dia seharusnya tidak usah terus-menerus menyentuh rambutnya."

"Kupikir masalahnya adalah editornya menggagalkannya bahkan setelah wawancara! Kami adalah majalah besar di sini. Apa menurutmu sembarang orang bisa lolos?"

"Maksudmu aku memenuhi syarat?"

"Mau tidak mau!" kata Sinta dengan tegas.

"..."

"Oh, oh, oh, ini yang sebenarnya, oke. Apa kamu benar-benar berpikir bahwa kamu sukses besar? Terus terang saja, sorotan untuk tokoh laki-laki keempat dalam adegan kejahatan lebih tinggi daripada kamu. Box office dalam lingkaran budaya global sekarang ini telah melampaui puluhan miliar. Box office film yang kamu kerjakan belum dikenai pajak sebanyak yang lain!"

"Mbak jurnalis, Mbak tidak datang untuk mewawancarai saya hari ini, ya? Mbak datang secara khusus untuk menyerang saya?"

"Ya!"

"... Keluarga, Kak, kalau bukan karena adikmu adalah istriku, aku pasti sudah buang muka! Mana bisa keduanya dibandingkan? Ada lebih dari dua miliar orang di negara ini, dan populasi seluruh pekerja budaya di dunia ini mungkin berkali-kali lipat jumlah ini. Sekarang, film mereka sebenarnya siap dipasarkan di dunia. Di akhir tahun, kamu bilang box office mereka bisa mencapai 20 miliar, kalau aku tidak salah."

"Jadi kamu iri?"

"Siapa yang tidak iri? Bodoh saja."

"Oke, bagus! Akhirnya! Bisa dipastikan bahwa kamu masih waras." Sinta memasang ekspresi sombong yang bagus.

"… Halo, Kak Sinta, ini judulnya masih wawancara. Kenapa kamu harus bersikap seserius itu?" Andi tidak menyukai Sinta yang tidak mengikuti naskah yang sudah ada. Apa hubungannya ini dengan kewarasannya?

"Serius? Aku diberitahu kalau aku akan mewawancara kamu. Adikku yang bodoh lebih bahagia daripada kamu kalau kuwawancarai. Aku bahkan tidak perlu bertanya. Dia sudah bercerita tentang anak berusia tiga tahun yang mengompol. Kamu bergantung padaku. Coba, apa cerita yang kamu punya? Mari dengarkan!"

"... Kita sedang apa ini?"

"Minum teh dan bersantai. Apa menurutmu kamu bisa berbaik-baik pada kantormu dan memanfaatkan uang mereka untuk minum teh setiap hari?"

"Wow, perlakuan perusahaanmu sebaik itu?"

"Maksudku adalah kamu!"

"Kantorku mengeluarkan uang untuk ini?"

"Tidak! Ini adalah segmen wawancara yang dikeluarkan oleh majalah kami, dan agensimu akan memberimu sejumlah uang. Lihat. Lihat, bayaran untuk ini hanya satu juta. Perusahaanmu benar-benar tidak menganggapmu serius!"

"Satu juta itu banyak! Aku belum mendapatkan bayaran untuk dua program yang kukerjakan. Yang kau siapkan hanya sebuah naskah. Kalau ada dua artikel sehari, bayarannya sudah bagus sekali."

"Hei, hei, aku ini seorang reporter. Tidak bisakah kamu sedikit menghargaiku? Aku tidak senang dengan sistem ini, jadi aku juga menulis diam-diam! Hehehe!"

Andi tidak ingin mengkhawatirkan kecemasan wanita ini. Sial, bisa-bisanya kamu begitu ganas saat berbelanja!

"Artinya, aku mampu berbesar hati. Orang-orang di zaman ini tidak peduli akan sifat jahat. Yang dibutuhkan hanyalah perhatian yang jeli. Kamu sendiri sudah lama menyimpan sifat buruk."

"Ya, ya, Kak Sinta memang benar! Kalau begitu, Kak, untuk hari ini, kita hanya perlu bersikap seperti biasa?"

"Ya!"

"Benar-benar tidak usah wawancara?"Andi mengingatkan dengan hati-hati.

"Jangan khawatir, aku sudah selesai menulis naskahnya. Aku hanya sedang menunggu fotonya diambil sekarang dan mengirimkannya kembali ke agensi untuk diedit. Sekarang waktunya bersantai!" Sinta menanggapi dengan santai. "Nah, begitulah. Jarang sekali aku punya waktu luang!"

Andi merasa frustrasi.

...

Andi, yang telah lama dibodohi oleh kakak iparnya itu, akhirnya diperbolehkan pergi. Sinta, yang menepuk dadanya dan berjanji akan menulis dengan indah, memenangkan ucapan terima kasih dari Sasha yang tersenyum lebar.

Panggilan dari Yenny datang begitu Andi sudah bersiap untuk pulang ke rumahnya di tengah kota. "Hei, Sayang, wawancaranya sudah selesai?"

"Sudah."

"Di jalan, tolong belikan sesuatu sebelum pulang. Di luar hujan dan aku tidak ingin keluar!"

"Memangnya apa yang ingin kamu beli?" Setelah beberapa menit, wajah Andi berkedut saat melihat daftar sepanjang setengah halaman di tangannya.

"Riana, tolong, ya. Kalau sudah sampai ke supermarket, pasti bisa ketemu." Andi menepukkan kedua tangannya.

Wajah Riana berjengit.

...

Dalam perjalanan pulang, Andi dan asistennya sama seperti orang yang baru kembali dari pasar. Yenny menyambut keduanya dengan wajah tidak enak. Akhirnya, dia menjerang air dan membawakan handuk untuk mereka berdua. Jarak antara tempat parkir di lantai bawah rusun mereka masih agak jauh dari gedung. Keduanya butuh mandi.

Sesudah meletakkan barang-barang yang dibawanya, Riana mengatakan bahwa dia harus pergi lebih dulu, lalu langsung pergi meski ditahan oleh Yenny. Kalau Yenny membiarkannya begitu saja, sia-sia saja Riana melakukan semua ini! Untungnya, dia tinggal tak jauh dari sana.

"Hujannya deras sekali." Andi mengusap kepalanya dengan handuk. "Bukannya kemarin sudah tidak hujan? Kenapa sudah dua hari berturut-turut, dan masih tak ada habisnya!"

"Entah?" Yenny mengambil handuk di tangan Andi. "Jangan dilap saja. Mandi!"

Setelah Andi mandi, Yenny sudah memasak mie telur dengan bumbu jahe. Pasangan itu duduk dengan nyaman di sofa sambil memegang mangkok dan menonton TV, sesekali menyuap mie.

"Omong-omong, Sayang, bagaimana kunjunganmu hari ini?" Yenny tampak penuh harap.

"Memangnya mau bagaimana? Kakak bertanya, dan aku hanya menjawab."

"Itu saja?"

"Begitu saja. Omong-omong, Kak Sinta bilang, industri hiburan itu jahat, jadi kamu tidak perlu mengatakan yang sebenarnya!"

"Lalu apa yang lagi?" Yenny mendesak.

"Katanya, dia tidak ingin berbicara tentang anak kecil berusia tiga tahun yang mengompol. Majalah mereka adalah majalah hiburan, bukan buku yang mengulas tentang perawatan bayi!"

"Ah, dia tidak mengatakannya sebelumnya!" Wajah Yenny merah padam.

"Hah?" Andi tampak tidak percaya. "Jadi kamu benar-benar mengatakannya?"

"Ya, dia bohong padaku!"

Guntur tiba-tiba terdengar dari luar rumah, dan keduanya terdiam.

"Haruskah kita matikan TV-nya?" Yenny bertanya dengan hati-hati.

"Seharusnya tidak usah. Ada penangkal petir di atap, tadi aku melihatnya!" Andi sebenarnya ragu-ragu.

Guntur dan kilat kembali menyambar, dan pasangan muda itu mematikan TV dan pergi tidur setelah makan.

Sepanjang malam turun hujan. Hari berikutnya, setelah berpamitan pada Yenny dan dijemput, Andi mendongak ke langit yang suram. "Meskipun hujan turun deras di musim panas, tapi kalau begini, ini sudah berlebihan, 'kan?"

"Hujan dalam dua hari ini memang agak lebih deras." Sasha memandang air yang sudah menggenangi jalanan itu, lalu berkata, "Semoga saja tidak akan terjadi hujan badai."

Dan karena keadaan itu, stasiun-stasiun TV langsung mendapat informasi begitu mereka merasa sistem drainase bawah tanah di kota itu sudah penuh tadi malam. Dan badan meteorologi melaporkan bahwa hujan lebat akan terus berlanjut selama tujuh hari ke depan. Seluruh kota sudah mengeluarkan peringatan banjir. Jika banjir benar-benar terjadi dan menyebabkan genangan air, rekaman acara hiburan akan dihentikan sementara.

Semua orang terus merekam berbagai program sambil menunggu kabar berikutnya. Daren memutuskan untuk merekam tiga atau empat episode sekaligus untuk antisipasi keadaan darurat. Semua orang menyetujuinya.

Meski begitu, baru saja dua episode direkam, seseorang memberitahu bahwa perekaman untuk segala program hiburan ditangguhkan. Jika keadaan baik-baik saja, mereka diminta pulang dengan segera. Dari lebih dari 20 kelurahan di kota itu, tujuh di antaranya mengalami banjir, dan situasi ini diperkirakan akan memburuk seiring waktu.

Daren melambaikan tangannya. Mereka dipulangkan, Andi dan Yenny kembali untuk menunggu pemberitahuan selanjutnya.

Dalam perjalanan pulang, terlihat para pejalan kaki bergegas pulang dengan terburu-buru. Wartawan-wartawan berita dari berbagai stasiun TV sepertinya sudah diutus dan terlihat di mana-mana. Terdengar berita yang disiarkan dari radio di dalam mobil: hujan lebat di seluruh negeri. Banyak sungai dan danau yang meluap. Tiga kota besar di daerah selatan sedang mengalami hujan lebat, dan kota-kota tersebut sudah tergenang air; Kota Sinan bukan satu-satunya.

Andi pulang ke rumah dan langsung mengemasi barang-barang: air kemasan, lilin, dan roti. Bahkan dia membeli dua senter. Riana yang menyaksikannya sangat bingung. Air dan lilin bisa dimengerti, tapi kenapa mengemasi roti?

Meski begitu, supir mobil mereka mengerti. "Bagaimana mau memasak kalau tidak ada listrik atau gas?"

Riana tiba-tiba tersadar. Segera saja, dia mencari roti untuk dirinya sendiri.

......

Di tengah semua itu, industri film merayakan datangnya era film-film box office dua puluh miliar dan tiga puluh miliar.

Dalam dua bulan berikutnya, tidak ada satu pun film yang mendapatkan keuntungan melebihi sepuluh miliar, atau bahkan lebih dari lima miliar. Dalam setiap periode, film yang menempati urutan tertinggi di box office mendapat keuntungan tiga hingga empat miliar, dan ada banyak film dengan investasi lebih dari satu miliar juta atau bahkan lebih dari dua miliar. Mungkin seluruh antusias penonton terserap oleh dua film yang mampu menduduki tempat teratas dalam setahun itu. Sepanjang paruh kedua tahun ini, hanya ada satu film dengan box office lebih dari lima miliar, dan itu merupakan film animasi dengan box office tujuh miliar, dan yang lainnya adalah film aksi dengan box office kira-kira lima miliar. Situasi ini telah meredam kehebohan seluruh industri.

Dalam berita-berita yang muncul setelahnya, banyak orang yang mengaitkan situasi ini dengan cuaca.

Pada bulan Juli dan Agustus tahun tersebut, terjadi hujan lebat di seluruh negeri. Permukaan air di banyak tempat meningkat drastis, dan puluhan kota mengalami banjir yang parah. Dampaknya signifikan.