webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
279 Chs

Waktu Sisa (3)

Bukan waktu yang tepat untuk ke tempat Najma.

Bukan waktu yang tepat untuk ke luar Javadiva. Alasan apa lagi yang dipakai setelah sekian lama dianggap melarikan diri?

Coba katakan.

Kapan seseorang punya waktu yang benar-benar tepat? Semua selalu berbenturan dan serba berkejaran. Jadi, pilih saja mana yang menjadi skala prioritas.

🔅🔆🔅

Sonna meminta izin pada bu Santi dan guru BK untuk mencari data terkait arkeologi dan sejarah lama Nusantara. Berhubung ia anak yang jarang membuat masalah, guru-guru sering meloloskan permintaan. Apalagi anak Javadiva sering mengikuti berbagai kompetisi seni dalam segala cabang. Sonna mengatakan ia akan mengikuti lomba menulis yang diselenggarakan oleh sebuah kementrian. Data otentik dibutuhkan.

"Kamu harus serius sekolah, Sonna," pesan guru BK. "Jangan ikut-ikutan anak kayak Silva."

Sonna tersenyum manis, seolah mengiyakan.

"Padahal aku mau pergi sama Silva," pikir Sonna.

"Lagipula, kalau kamu tinggal kelas," guru BK berusaha mengingatkan, halus namun tajam, "beasiswa kamu bisa dicabut. Kamu gak mau, kan?"

Sonna mengangguk. Tenggorokannya kering. Seakan guru BK sedang mengatakan : kamu miskin, Silva kaya. Jadi jangan samakan!

"Fokus. Fokus. Fokus, Sonna," seru batin gadis itu pada diri sendiri.

Ketika surat izin telah didapat, secepatnya Sonna melaju ke kantor Najma bersama Silva dan Candina. Tentu, Silva dan Candina harus kucing-kucingan dengan pihak sekolah.

Berbekal 'search engine' , ketiga gadis itu mencari keberadaan kantor Najma.

Tradaaaa!

Lumayan jauh, dua jam naik angkutan umum.

🔅🔆🔅

"Aku lagi sibuk banget," ujar Najma. Tak menyangka kedatangan tiga gadis Javadiva.

Silva menggigit bibir.

"Kalian dipandu sama anak-anak magang itu, ya? Buat cari data. Tuh, anak-anak yang pake bawahan hitam sama atasan putih," ujar Najma penuh sesal.

"Mbak Najma!" pinta Silva. "Kami butuh banget bantuan Mbak."

Najma menatap kalender di dinding.

"Boleh, deh. Akhir bulan aku agak senggang," jawab Najma.

Silva dan Candina bertatapan. Akhir bulan? Dua hari Akasha sama dengan sekitar enam bulan. Itu bila tidak terhitung ancaman yang disebutkan Salaka. Mereka tak punya waktu sebanyak itu!

Kantor cagar budaya setiap hari ramai anak-anak sekolah dan anak kuliah yang sibuk mencari referensi penelitian. Setiap orang yang bertugas sudah disibukkan dengan jadwal penelitian dan pendampingan.

"Gimana, nih?" tanya Sonna.

"Aku juga bingung," jawab Silva.

"Aku sudah katakan," Candina mengingatkan. "Kamu belajar bahasa kuno denganku saja, Silva."

"Aku bukannya gak mau, Candina," bisik Silva. "Tapi itu butuh waktu lama. Emang bisa pake mesin penerjemah otomatis?"

"Maksudmu?" tanya Candina.

"Jadi kamu masukin bahasa Indonesia, trus di HP kita bisa berubah ke bahasa Inggris," jelas Sonna, seolah menjelaskan pada orang yang buta teknologi.

"Aku udah pernah nyoba pake bahasa Jawa," sahut Silva. "Tapi gak semua kata bisa. Apalagi kalau bahasa kuno yang kamu maksud belum banyak yang paham."

"Aku coba cari bahan-bahan referensi," sahut Sonna. "Siapa tahu emang kita harus nerjemahkan sendiri."

"Kalian tidak percaya padaku?" Candina terbelalak. Sedikit tersinggung.

"Candina!" sela Silva. "Kita butuh banyak sumber. Kalau belajar bahasa, selain dari native speaker, kita juga butuh kamus, kan?"

Sembari membantu Sonna mencari referensi dan mencoba membaur dengan berbagai murid dari sekolah lain, Silva diam-diam mengamati Najma. Gadis itu terlihat sangat sibuk dengan setumpuk kertas. Gulungan peta. Berbagai alat tulis. Tablet. Laptop di mejanya sebentar-sebentar ditinggalkan Seorang pemuda yang berada tak jauh darinya sering memberikan instruksi. Sesekali bertanya.

Candina mengikuti jejak Sonna.

Tenggelam di antara buku-buku tua yang baunya membangkitkan kenangan ribuan tahun silam. Buku-buku itu terletak di lemari jati raksasa yang ukurannya mencapai tinggi langit-langit bangunan. Beberapa referensi tua yang sudah tak dapat digandakan disimpan dengan sangat rapi dan hanya boleh diambil atas seizin petugas.

Silva mengambil sebuha buku sejarah tentang Majapahit.

Besar dan berat. Ia membuka-bukanya. Pikirannya terbelah antara takjub dengan isi buku, bingung dengan rencananya sendiri, sekaligus memasang telinga ke arah Najma. Siapa tahu, ia bisa menyelip masuk dan mencari waktu tepat untuk meyakinkannya.

"Najma! Kamu udah sampe mana?" tanya si pemuda.

"Apa yang sampe mana?" Najma membalas dengan tak melepaskan mata dari layar.

"Laporan tentang artefak yang ada di penggalian," lanjut si pemuda.

"Oh, ini masih kukerjakan. Sambil kubuat maket prediksi," sahut Najma.

"Bisa cepetan, gak?"

Najma terdiam.

"Naj?" teriak si pemuda.

"Iya! Iya!" sahut Najma jengkel. "Ini lagi kukerjakan, Mas Ragil!"

"Aku butuh bantuanmu buat selesaikan berkas yang ini."

Pemuda yang dipanggil Ragil itu otoritatif banget, pikir Silva.

Ia merasa kasihan pada Najma yang tampaknya menguras perhatian dan pikiran pada pekerjaan hingga wajahnya berkerut-kerut.

"Naj? Najma?" Ragil terpekik. Berteriak.

Najma masih tak menyahut.

"Najmaaa!" teriak Ragil.

"Oh, my God!" Najma mengepalkan kedua tangannya. Seolah ingin memukulkan ke benda di sekelilingnya.

"Sini, Naj!" panggil Ragil.

"Aku lagi rempong banget ini!" sahut Najma.

"Sini, deh! Kamu bakalan seneng dan semangat!" suara Ragil terdengar takjub.

Silva mengendap ke arah mereka.

Rasanya jantungnya ikut berdetak keras mendengar suara Ragil.

Najma berjalan cepat ke arah meja Ragil. Walau meja itu hanya beberapa langkah dari tempatnya berkubang dengan informasi, bolak balik seperti ini membuat lututnya terasa jompo. Belum lagi dada yang penuh kekesalan.

"Apaan siiiiih?" Najma berseru kesal.

"Liat ini," Ragil menunjuk ke laptopnya. Seperti siaran langsung. Video dengan narasi orang melaporkan sedang diputar. "Timku sedang ke gua yang tempo hari kita teliti."

"Hmh?" Najma mendengus. Kesalnya belum hilang. Matanya melirik ke tumpukan pekerjaan di mejanya sendiri.

Layar Ragil menayangkan laporan pandangan mata tim arkeolog dan penggali yang sedang menyusuri sebuah tempat asing.

"Emang itu di mana?" Najma setengah hati bertanya.

"Gua dengan stalaktit stalakmit kapur. Yang tempo hari itu!" seru Ragil, mencoba membangkitkan memori.

"Ya?" Najma mengamati.

"Gua yang kita masuki itu, Naj!" seru Ragil.

Sepertinya dia menyangka semua orang kurang pendengaran, batin Silva.

"Tapi…tapi itu bukan gua kapur," Najma mengerutkan kening. Masih kesal, tapi mulai teralihkan perhatiannya.

"Ingat gak? Kamu waktu itu takut. Merengek. Bilang takut mau masuk lebih dalam ke gua. Padahal kita liat ada kayak pintu masuk. Celah kecil, gitu. Yang bisa ditembus terus."

Najma tiba-tiba memukul Ragil menggunakan gulungan kertas.

"Kamu tuh, ya! Udah tau aku punya klaustrofobia, masih disuruh masuk-masuk ke lorong kecil kayak gitu!" bentak Najma sengit.

"Nah tapi, Naj, idemu buat nembus dari sisi yang lain ada hasilnya, tuh!" Ragil tetap semangat sambil menunjuk ke layar. "Klaustrofobia-mu ada untungnya."

"Untung aku gak mati sesak napas di sana!" omel Najma. Mata Najma mendekat ke layar. "Apaan tuh?"

"Ini??" Ragil menunjuk layar. Memvalidasi pertanyaan Najma. "Ini sungai bawah tanah. Ada banyak alat ditemukan di sana."

Najma menatap Ragil tak percaya. Terbelalak. Ternganga.

Ragil tertawa kecil, setengah histeris.

"Kita kaya, Naj!" seru Ragil.

"Hush!" sahut Najma ."Ojo njagak-e endhok si blorok*."

Mereka berpandangan senang. Tersenyum lebar. Tertawa berbarengan.

"Kita bisa punya dana penelitian lebih besar," bisik Ragil. "Ayo, lapor ke cowok-cowok cakep Eropa itu. Jangan ragu sebutkan harga!"

Buku besar di tangan Silva meluncur ke bawah.

🔅🔆🔅

_________________________

*Ojo njagak-e endhok si blorok (bhs. Jawa) : jangan terlalu berharap rejeki yang belum sampai ke tangan