webnovel

6. Mengantarkan Jahitan (2)

"Tapi ini menyangkut denganku juga. Sudahlah, aku memang ada urusan penting sepulang kerja, bukannya menghindari kamu. Paham?"

"Urusan penting apa kalau boleh tahu?"

"Kenapa kamu mau tahu? Pokoknya aku tidak bisa. Sudah ya, aku mau kembali kerja." Gendhis meninggalkan lelaki yang menatapnya dingin dan seringai sinisnya.

"Ndhis, kamu jadian sama Wahyu?" Rara yang curi dengar sejak tadi, tidak tahan untuk tidak bertanya pada teman yang pernah meneaninya kopi darat.

"Apa sih? Jangan buat gossip aneh-aneh deh." Jawab Gendhis sambil berlalu menuntaskan pekerjaannya agar bisa segera pulang cepat dan mengantarkan jahitan punya pelanggan ibunya.

"Ndhis, kapan-kapan temani aku lagi yuk …"

"No way! Aku sudah kapok nenemin kamu. Kamu ajak yang lain saja." Jawab Gendhis langsung menolak mentah-mentah.

"Tapi, yang lain tak ada yang mau." Jawab Rara lagi.

"Memangnya kenapa dengan tentara yang kemarin? Bukankah kalau sudah ketemu ya sudah tinggal ketemuan lagi berduaan?" Jawab Gendhis sambil menatap mata Rara yang sendu.

"Dia tidak bisa dihubungi. Aku chat tidak dibalas padahal dibaca. Aku telpon tidak diangkat. Terus semalam dia balas WA aku dan nulis, 'Maaf ya, untuk beberapa hari kedepan aku sibuk. Kamu tidak usah menunggu aku lagi. Terima kasih atas jamuannya. Semoga kamu menemukan lelaki yang tepat untuk kamu.' Begitu dia bilang." Jawab Rara sambil pura-pura bersedih.

"Huh, sudah kuduga. Tampilannya saja keren dan wajah tampan, tapi sikapnya pengecut." Jawab Gendhis sedikit emosi. Kata-kata yang diucapkan Erl saat itu benar-benar membekas dalam hatinya dan sulit untuk dilupakan. Bahkan, semalam dia bermimpi pria itu lagi dan mereka bertengkar hebat didalam mimpi. Sampai-sampai, ibunya Gendhis membangunkan Gendhis karena perempuan itu berteriak-teriak dalam tidurnya.

"Tapi kali ini berbeda. Dia pria yang …"

"Tidak mau! Aku sibuk, Ra. Kamu ajak yang lain saja ya." Gendhis menghindar dari Rara dengan pergi ke toilet.

"Huh," Masih terdengar rutukan Rara sepeninggal Gendhis.

Waktu pun berjalan cepat jika seseorang disibukkan dengan pekerjaannya. Tibalah waktunya Gendhis dan teman-temannya pulang kerja. Kali ini Gendhis akan naik bus dengan jurusan yang berbeda. Baru saja perempuan itu akan berjalan menuju halte bus yang biasa dikunjungi, sebuah motor berhenti di sisi jalan sebelahnya.

"Ndhis, aku antar ya. Biar kamu cepat sampai tujuan." Ternyata Wahyu yang masih berusaha untuk mendekati Gendhis.

"Tidak usah, yu. Aku lebih suka jalan kaki. Sekalian olahraga." Ujar Gendhis sambil menenteng paperbag berisi pakaian hasil jahitan pelanggan ibunya.

"Kamu kenapa sih, ndhis? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kamu selalu menghindari aku?" Wahyu turun dari motornya dan berdiri tepat dihadapan Gendhis yang menyeringai aneh.

"Kamu yang kenapa? Aku tidak pernah menghindari kamu. Aku hanya ingin pulang sendiri saja. Apa itu salah? Sudahlah minggir, aku sedang buru-buru." Ujar Gendhis sambil mendorong tubuh Wahyu dengan lengan kirinya.

Wahyu menarik lengan Gendhis dan sontak perempuan yang terkenal cuek dan dingin pada semua pria itu langsung menatap tajam pria yang sudah menghalangi jalannya.

"Lepaskan aku atau aku tidak akan segan-segan membuatmu malu dihadapan umum." Ucap Gendhis dengan suara rendah.

"Ikutlah denganku! Ada yang ingin aku bicarakan padamu." Wahyu menarik lengan Gendhis sampai paperbag yang digenggam kakak dari Bimo dan Arkha itu terjatuh karena talinya copot akibat ditarik paksa.

Gendhis yang geram bukan kepalang, langsung mendorong tubuh Wahyu sekencang mungkin hingga pria itu tersungkur ke belakang. Masih dalam posisi terjerembab diatas jalanan trotoar beraspal, mata Wahyu menatap takut-takut rekan kerja perempuan yang dianggapnya lemah itu.

"Wahyu, aku tidak suka berbuat kekerasan. Aku sudah cukup bersabar jadi tolong jangan sampai kamu menguji batas kesabaranku. Mulai saat ini dan seterusnya, menjauhlah dari hadapanku. Mengerti?" Perempuan peraih juara 1 kejuaraan karate tingkat nasional itu menepuk-nepuk lengan Wahyu lalu mencengkeramnya dengan tenaga yang dia miliki. Wahyu meringis kesakitan. Tidak disangka tenaga Gendhis yang dianggapnya lemah dan tidak berdaya itu, ternyata menyimpan kekuatan yang tidak bisa dianggap sepele.

Gendhis pun meninggalkan Wahyu yang memegang lengan kirinya dan masih meringis kesakitan. Gendhis segera berjalan cepat menuju halte bus ketika dilihatnya bus incarannya akan memasuki halte. Paperbag yang sudah putus talinya itu didekapnya di depan dada. Beruntung tidak banyak penumpang didalamnya sehingga Gendhis bisa menikmati perjalanan dengan nyaman dan duduk dengan lega.

Setelah satu jam lebih berputar-putar dengan bus dan berpindah dari satu bus ke bus lainnya lalu berganti ke angkutan kota yang lebih kecil ukurannya, akhirnya perempuan pemberani itu tiba di depan sebuah komplek perumahan yang tertera alamat yang dimaksud. Setelah bertanya dengan satpam yang berjaga di depan pos pintu gerbang, Gendhis diberitahu harus berjalan kaki lagi kurang lebih lima belas menitan. Dengan menghela napas kasar, Gendhis segera berjalan kembali menyusuri rumah demi rumah dengan ukuran besar dan pagar yang tinggi yang ada didalam komplek perumahan ini. Gendhis melihat dengan seksama setiap nomer rumah yang tertera di pintu pagar setiap rumah. Hingga akhirnya, dia sampai juga di depan pagar yang terbuat dari papan kayu tinggi menjulang dan tertutup dari luar.

Gendhis mendekati sebuah pintu khusus pos penjagaan. Diliriknya arloji di pergelangan kirinya menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Lampu-lampu jalan sudah dinyalakan sehingga jalanan cukup terang tidak tampak horror menyeramkan. Namun bagi Gendhis, tidak ada tempat yang horror karena dia sudah terbiasa berangkat dan pulang tengah malam.

"Permisi, pak."

"Iya, nona mencari siapa malam-malam begini?" Jawab salah seorang petugas keamanan lengkap dengan seragam khususnya.

"Apa benar ini rumah … ibu Batari Maheswari?" Gendhis melihat sekali lagi secarik kertas tulisan ibunya yang tertera nama dan alamat pelanggannya.

"Benar. Nona ini siapa?" Tanya pak petugas itu.

"Saya kesini ingin mengantarkan jahitan dari ibu saya untuk beliau. Apa saya bisa bertemu dengan ibu Batari?" Ujar Gendhis lagi.

"Aduh bagaimana yaa, nyonya lagi ada tamu penting." Jawab bapak dengan kumis tebal dan rambut ikal tersebut.

"Tolong bilang saja pak, ada yang mengantarkan jahitan. Ibu saya bilang harus diantarkan hari ini juga." Jawab Gendhis dengan senyum lirih.

"Duh bagaimana ya? Kamu tunggu sebentar, saya kedalam dulu mau lihat. Kamu tunggu disini." Bapak petugas itu membuka pintu kecil khusus pejalan kaki dan meminta Gendhis untuk duduk di kursi plastik warna hijau yang ada disana.

Seorang petugas lainnya tersenyum ramah pada Gendhis dan membolehkan temannya untuk masuk ke dalam sejenak.

"Nyonya lagi apa?" Bapak petugas keamanan yang tadi masuk, berbicara pada salah seorang pelayan perempuan yang akan mengantarkan minuman ke ruang tengah.

"Kamu lihat sendiri kan sedang ada tamu." Jawab ketus perempuan itu.

"Idih, galak bener. Kamu tolong bilang ke nyonya, ada yang mengantarkan baju jahitan dan orangnya sedang menunggu di pos." Ucap si bapak petugas.

"Ya, coba nanti aku bilang nyonya. Tapi tidak janji ya dia akan ke sana." Jawab pelayan perempuan itu sambil berlalu.