webnovel

17. Angger Pradipta

"Fifin, carilah pria lain yang bisa mencintaimu lebih baik. Aku tidak bisa memberimu harapan semu." Ucap Erlangga membuyarkan lamunan Fifin. Dokter muda itu terdiam. Tujuan awalnya sebenarnya adalah untuk bertaruh dengan kedua temannya demi memperebutkan seorang perwira tentara dan minimal bisa menjadi tunangannya. Namun, sepertinya rencana awal Fifin berubah ketika melihat perempuan lain yang dianggapnya sebagai lawan untuk menjegal usahanya itu tiba-tiba muncul merusak suasana. Kini, Fifin bertekad untuk mendapatkan Erlangga sebagai suaminya. Apapun yang terjadi!

"Mas Erl istirahat saja. Aku harus keliling lagi." Ucap Fifin sambil membereskan peralatan memeriksanya. Erlangga mengangguk dan tersenyum tipis. Dia bukanlah tipe pria yang angkuh meskipun seragamnya sering membuat semua orang merasa sungkan dan segan.

"Aku tidak akan membiarkan diriku kalah dengan dia. Cih! Siapa dia bisa-bisanya mendapatkan dukungan dari tante Batari, dan juga mas Erl. Aku akan mendapatkanmu, mas. Apapun yang terjadi." Gumam Fifin dalam hati setelah berada di luar kamar inap Erlangga.

-----

Angger Pradipta, seorang polisi muda berlarian menuju sebuah rumah sakit untuk menjenguk kakaknya yang menjadi korban kecelakaan dua hari yang lalu. Pria dengan seragam coklat itu baru saja kembali dari tugas khususnya pagi ini dan langsung bergebas menuju rumah sakit setelah meminta ijin seniornya.

"Dimana ruangan tuan Erlangga pradipta?" Angger bertanya pada salah seorang perawat yang berjaga di pos.

"Ada di kamar nomer 5, nomer dua dari ujung sebelah kiri." Ucap salah seorang perawat dengan senyum sumringah karena baru kali ini dia melihat seorang polisi tampan nan menawan.

"Okay, terima kasih." Polisi muda itu langsung melesat menuju kamar yang dituju.

" Mas Erl" Angger langsung masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Angger? Kapan kamu pulang? Dan, kamu masuk tanpa mengetuk pintu. Mami jadi kaget." Batari yang sedang menyuapi anak sulungnya sarapan, kaget mendengar bunyi pintu dibuka tiba-tiba.

"Mami? Maafkan Angger." Angger langsung menghampiri maminya dan mencium punggung tangannya.

"Kamu, tidak apa-apa, kak?" Angger bertanya untuk kedua kalinya pada kakak satu-satunya.

"Seperti yang kamu lihat sendiri. Aku masih bernapas." Jawab Erlangga sambil terkekeh.

"Mas, kamu selalu menyepelekan kondisimu. Aku harap kali ini kamu memang baik-baik saja." Jawab Angger sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kedua kakak beradik yang beda profesi itu pun berbicara panjang lebar dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama beberapa hari ini. Batari sangat senang kedua anaknya yang hanya berbeda dua tahun itu akrab dan saling menjaga satu sama lainnya. Meskipun pekerjaan mereka di luar sana sering menjadi bulan-bulanan cacian karena dianggap bermusuhan. Selama hampir satu jam, Angger menjenguk kakak sulungnya hingga akhirnya dia harus kembali ke kantornya untuk langsung bekerja.

"Mami mengantarkan Angger keluar sebentar ya Erl." Ucap Batari pada anaknya yang sudah lebih baik kondisinya dibandingkan saat pertama dilarikan ke rumah sakit.

"Tidak usah, mi. Aku bisa keluar sendiri." Jawab Angger. Dia tidak ingin kakaknya ditinggal sendirian. Namun, Erlangga memberikan kode kalau dia tidak apa-apa ditinggal.

Batari dan Angger pun keluar dari kamar dengan jalan beriringan.

"Ngger, kamu tahu Fifin, calon dokter yang akan dijodohkan dengan kakakmu?" Batari berkata dengan hati-hati karena Fifin bertugas di rumah sakit ini.

"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu." Angger memiringkan dagunya mencoba untuk mengingat-ingat nama seorang perempuan dari belasan perempuan yang diperkenalkan maminya kepada kakaknya untuk dinikahkan.

"Dia punya saingan." Bisik Batari pada anak bungsunya.

"Saingan? Siapa? Pramugari? Manajer? Perawat? Guru? Atau siapa?" Jawab Angger. Semua profesi yang dia sebutkan itu memang rata-rata menjadi pasangan seorang perwira tentara dan itu sudah diketahui oleh masyarakat luas. Meski tidak menutup kemungkinan, banyak yang tidak memiliki pekerjaan mapan tapi bisa bersuamikan seorang perwira tentara.

"Apa sih kamu itu? Kamu lihat saja nanti kalau kakakmu sudah sembuh. Dia pasti membawa pacarnya itu kerumah." Jawab Batari dengan senyum lebarnya.

"Mereka sudah pacaran?",

"Sepertinya sih belum sah. Pasti karena kakakmu jual mahal." Seringai sinis di bibir maminya membuat Angger terkekeh.

"Mi, mas Erl itu masih sangat muda. Karirnya masih panjang dan aku juga yakin, perempuan yang mami bilang pacar mas itu pasti tidak ingin menikah buru-buru." Jawab Angger sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Maminya ini memang senang sekali memperkenalkan kakaknya juga dirinya kepada anak-anak teman satu lingkarannya. Bila ada perempuan muda yang cantik dan mapan, mami pasti langsung memperkenalkan kepada anak-anaknya, Erlangga dan Angger. Namun sayangnya, usaha maminya harus berakhir sia-sia karena tidak ada satupun yang berhasil

"Kalau begitu, aku kembali dulu ke kantor ya mi. Nanti aku kesini lagi kalau aku ada waktu luang." Jawab Angger. Batari mengangguk setuju dan merekapun berpisah di pintu masuk. Batari akan segera kembali ke kamar Erlangga ketika suara seorang perempuan menghentikannya.

"Nyonya," Batari memalingkan wajahnya untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Kamu … Gendhis?"

"Iya nyonya. Aku kesini menyempatkan diri untuk menengok Erlangga sebelum aku berangkat ke kantor." Jawab Gendhis ragu-ragu.

"Wah, Erlangga pasti senang sekali. Ayo, kita masuk sama-sama." Batari menggandeng lengan Gendhis sedangkan tangan kiri Gendhis membawa rantang kotak yang berisi masakan buatannya sendiri.

"Erlangga, lihat siapa yang datang." Batari masuk lebih dahulu, disusul oleh Gendhis dengan malu-malu.

"Kamu? Bukannya kamu harus bekerja?" Erlangga melihat waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding yang ada diruangan ini.

"Aku … mampir sebentar untuk … membawakan makanan yang aku masak sendiri." Ucap Gendhis ragu-ragu.

"Oh, kebetulan aku juga belum sarapan." Jawab Erl dengan senyum lebar. Sepasang mata Batari terbelalak lebar.

"Lalu apa maksudnya semangkuk bubur dengan teh manis hangat yang aku suapi tadi?" Gumam Batari dalam hati. Erlangga memberi kode pada maminya untuk segera keluar kamar. Sang ibu menghela napasnya merasakan anaknya ingin berduaan saja dengan Gendhis di dalam kamar.

"Kalau begitu, mami pulang dulu ya. Nanti mami kembali agak siang dengan menu makanan siangmu." Jawab Batari.

"Tapi nyonya, ini aku bawa banyak makanan dan bisa dihangatkan lagi untuk siang dan sore hari." Ucap Gendhis sambil mengangkat kotak makanan ukuran jumbo.

"Okay mam, hati-hati dijalan ya." Jawab Erlangga sambil melambaikan tangan yang sudah terlepas dari selang infus. Batari tidak habis pikir kalau anaknya bisa sejahil itu.

"Kalau begitu, mami undur diri dulu. Nak Gendhis bisa antarkan makanan lalu pulang. Dia saudah bisa makan sendiri." Senyum tulus Batari membuat Gendhis merasa tidak enak dan sungkan.

Kini tinggallah mereka berdua didalam kamar.

"Aku tidak bisa lama-lama. Aku harus segera berangkat ke kantor setengah jam lagi." Ujar Gendhis sambil meletakkan rantang makanannya dan mempersiapkan tissue juga alat makan minuman lainnya.