"Hehe." Mulutku terkekeh khawatir.
Tubuhku melesat untuk menatap pria yang sudah berada di dalam rumah ini. Aku melupakan rasa lega tadi, yang berujung tegang.
Jose mendekati wajahku, lalu memperhatikan rautku yang begitu lugu.
"Perjanjian nomor dua! Apa lo nggak baca?" Jose menaikkan alisnya sebelah.
Aku menunduk sambil menggeleng, lalu aku menelengkan kepala, "Gue nggak sengaja keluar, tapi gue nggak ke mana-mana kok!" Bibirku menunjukkan keramahan yang baru dimulai. Sok akrab dengan suami yang baru dikenal.
Jose mengalihkan penglihatan ke arah lantai yang ada di ruang tengah. Alisnya sesekali menggeliat agar aku ikut dalam penglihatannya, lalu dagunya mendongak sangat tinggi.
"Lah, itu kenapa masih ada di sana?!"
Kemudian Jose melewati tubuhku ketika kedua tanganku memeluk lengan, seimbang dan mulai berputar melihat keberadaan koperku masih di tengah. "Hah!" Aku yang malu hingga dengan gesit, kakiku menuruni lantai tangga untuk mencegah Jose menyentuhnya lebih dulu.
"Gue bakal taruh koper ini ke sana!" Dua tanganku merampas koper sambil mendongak ke arah Jose yang terheran menatap kelakuan anehku. Tanpa harus bersikap gengsi, aku segera mempertahankan posisi untuk mengangkat koper.
Dengan percaya diri, lenganku yang tidak memiliki otot sama sekali mengangkat koper yang besar untuk sampai ke lantai paling tinggi. Mataku bahkan tercungkil ketika lenganku mengeluarkan banyak tenaga.
'Duh, moga terangkat! Moga terangkat!'
Aku resah dalam hati, salah satu kakiku berhasil naik ke anak tangga pertama. Aku harus melewati tiga anak tangga menuju lantai yang lebih tinggi. Tapi Jose hanya bersantai sambil bersedekap tangan ketika memperhatikanku melakukannya sendiri.
Eh … kakiku malah tersandung oleh ujung tumit yang lebih dulu maju, lalu tanganku tidak seimbang dengan kaki yang terangkat. Tubuhku malah miring, yang akhirnya koper besar ini terlepas dari tanganku. Sementara aku harus sadar kalau aku tidak seimbang dan melesat ke belakang.
Aaah … aku nyaris terjungkal dari lantai tangga berbalik ke belakang. Jose dengan kehebatan menyambut tubuhku dengan dua tangan kekarnya. Dia menatapku lurus, sedangkan dua tangannya sudah memelukku agar tidak terjatuh.
"Gu-gue salah langkah," kataku terbata-bata. Bola mataku berkelebat, menatap rupawannya suami sementara ini.
Jose menegakkan tubuhku, melepaskan kedua tangannya sambil memalingkan wajah. "Pergi sono!" usirnya sambil mengibas rambut bermode dewasa. Kedua tangannya melengkung di atas pinggang sambil menunduk ke arah koperku.
"Biar gue bawa lagi," putusku membantah.
"Gue bilang pergi!!" ketus Jose terhadapku.
Sontak tubuhku yang sempat membungkuk untuk menyambut koper terhenti, terperanjak tegak. Mataku menyorot wajah Jose yang mulai serius kepadaku.
"Lo tuh cewek! Jangan sok kuat. Mending, lo siapin makanan untuk gue!" perintah Jose mulai merampas koper milikku.
Aku yang tidak sadar kalau Jose sudah memapah koper naik ke lantai tinggi, dia bahkan menaiki anak tangga menuju lantai kedua. Mataku masih saja melompong dan terpaku memperhatikan pria ketus dingin ini melakukan hal itu.
Kepalaku menggeleng-geleng untuk menghamburkan lamunan yang sempat terpesona. Kakiku mulai menghindar dari lantai pertama mendekati dapur minimalis yang terkesan elegan.
Di sana, jemariku meniti setiap benda yang sudah lengkap. Ini seperti rumah yang siap huni. Ada kulkas di dalamnya sudah terisi penuh. Herannya, aku tidak percaya kalau rumah ini seakan dihuni oleh beberapa orang.
Kepalaku sontak berputar, memperhatikan anak tangga di balik dinding sekat dekat dapur. Sosok Jose belum juga turun dari sana.
'Duh, ternyata dia serem juga!'
Tangan-tangan wanita ini harus lebih gesit untuk memilah makanan dibuat hidangan lezat. Aku pandai dalam hal memasak. Kami orang yang sederhana, tidak seperti orang kaya yang memiliki pembantu di rumah. Walau sebenarnya, ibuku yang selalu sigap dan mencegahku melakukannya.
Jadi, kami harus bisa memasak. Dalam beberapa menit aku memasak, Jose tidak juga turun dari lantai dua. Kemudian, sup yang ada di depan mataku sudah mulai tercium aroma hangat dan berbau sedap.
Tanganku segera membuka tutup panci dengan sarung tangan yang sudah dipasang di dua jemariku, siap untuk mengangkat makanan tersebut ke atas meja. Meja yang tidak jauh dari tempat memasak.
Meja persegi panjang dengan warna kesan kelabu gelap mengilap. Suasana dapur minimalis yang nyaman. Aku sudah seperti kaya mendadak karena menikah dengan pria tak dikenal. Awalnya aku memang sedikit bodoh karena tidak bisa memberontak.
Setelah melihat kenyamanan, aku jadi melupakannya untuk sementara waktu.
'Ternyata, papa bener! Hidup jadi orang kaya itu menyenangkan. Tapi tidak menyenangkan kalau suamiku sangat-sangat dingin dan arogan.'
Lagi-lagi aku gelisah. Padahal, di atas meja sudah ada tiga sajian yang dapat mengenyangkan perut. Tapi Jose belum saja muncul. Rasa penasaran yang kini memakiku untuk mencarinya.
Lanjut mendekati dinding yang menutup ruang dapur. Terlihat anak tangga yang lebar dan memutar ke lantai dua. Satu per satu anak tangga aku naiki, tangga minimalis yang elegan. Rumah ini terkesan nyaman dan netral dengan warna yang serasi.
Akhirnya aku tiba di atas lantai dua. Kepalaku mulai terkesima dengan penampilan ruang atas yang lebih dipenuhi dengan benda-benda berharga. Sofa bulat yang embuk dan lembut menghadap kaca jendela yang lebar. Tepat di sebelah kiriku.
Sebuah televisi dan satu piano bertengger di sudut dinding. Aku mematung sesaat memperhatikan ruang yang cukup luas ini.
Lalu aku memutar ke sebelah kanan. Di sana, ada dua kamar yang tertutup. Ada satu lemari tinggi yang memenuhi benda-benda berharga. Keramik tua, foto-foto, dan satu alat olahraga untuk berlari.
Aku takjub dan segera mendekati Treadmill, aku menyukai benda ini. Hampir setiap hari aku datang ke tempat gym untuk berolahraga. Tanganku dengan berani menyentuh benda mahal ini.
Mulutku terkagum-kagum karena di sini berolahraga pasti lebih nyaman dan puas.
"Ehem!!" Jose keluar dari arah pintu yang ada di sudut dinding.
Aku segera memutar kepalaku untuk memperhatikannya.
"Kalo lo mau pake, pake aja! Koper lo udah ada di dalem. Gue nggak bisa pulang setiap hari, gue hanya pulang kalo gue mau." Jose seakan mengatakan hal yang tidak ingin aku dengar.
'Dasar pria brengsek! Ada mau nya dia pulang. Hampir semua cowok pasti begitu!'
Mulutku tak sempat menyahut, tetapi menggerutu dalam hati.
"Eh, kedengeran nggak?!" Jose mengeraskan suaranya.
Aku langsung menyahut spontan. "Ya!" Kepalaku jadi terangguk-angguk karena sifatku memang agak lugu.
Jose menatapku dengan wajah datarnya, lalu berkirai di depanku tanpa adanya menyapa hangat mau pun basa-basi. Aku malah memperhatikan langkah si pria arogan menuju anak tangga. Dia berhenti lalu menatapku.
Aku malah memalingkan penglihatan, daguku terangkat sambil berpura-pura memperhatikan langit-langit ruangan.
"Eh, makanan udah siap kan?" tegurnya.
Aku menoleh spontan, "Udah, Tuan!" Aku berakting layaknya seorang pemain film.
"Kenapa sih lo? Kesambet?? Temenin gue makan!" perintahnya.
Dia memaksaku, aku jadi menyipitkan mataku memanjang.
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.