webnovel

6

Raka sangat berjuang menggaplok tuh tikus pake sandal raksasanya. Sedangkan aku duduk manis menikmati setangkai anggur cukup jauh dari tempat kejadian. Aku tak mau jadi lempeng pisang gara-gara korban tampol sandal raksasa itu.

"Hebat juga dia," ujar Om Budi duduk di sebelahku, memerhatikan Raka.

"Hebat dari mananya?" sangkalku sambil mengunyah buah anggur dan terus memperhatikan Raka. "Sejak tadi nggak kena-kena nggaplok tikusnya."

"Aku memuji cara dia mengendalikan sandal raksasa itu. Dia bilang, itu robot pertama, kan? Tapi dia bisa semudah itu menggendalikannya."

"Dia mudah beradaptasi ditambah dia sering main gim onlen."

"Begitu...."

"Yup."

"Kau tak mau bantuin?"

"Ogah."

"Padahal kau bisa mengarahkannya harus menyerang bagian mana. Kau, kan, pinter bagian itu."

Tidak ada yang salah. Raka memang pintar beradaptasi, tapi payah saat menyerang musuh tepat sasaran dan aku sebaliknya. Karena itu, setiap main gim onlen tembak-tembakan, kami harus selalu bersama atau dia akan meningsoy duluan dan jadi beban tim.

Yaaa mana ada di dunia gim onlen kek gitu mempedulikan teman satu tim, kecuali emang beneran dekat. Kalau cuma kenal doang, jangan terlalu harap. Sekali jadi beban tim, selanjutnya akan dianggap tak diakui kehadirannya.

Aku menelpon ponsel Raka. Terdengar suaranya menerima panggilanku.

"Ayo main bareng," ucapku.

"Oke," jawabnya senang.

Aku memperhatikan gerak-gerik tikus itu dengan begitu seksama. Pergerakannya masih sama. Muter-muter mencari jalan keluar. Rumah kami juga sudah parah diterjang raksasa yang sedang kebingungan.

Aku menghitung ada 6 langkah yang dilakukan tikus itu sebelum mendekati sandal raksasa. Setelah dua kali tikus itu melakukan gerakan yang serupa, aku meminta Raka bersiap menyerang.

Aku menghitung dalam hati dan setelah hitungan ketiga, sebuah perintah kulontarkan, "Pukul!"

'BAM'

Kepala tikus itu terkena pukulan keras. Tubuhnya sempat terjatuh karena hantaman itu, namun belum cukup kuat menghentikan perjuangannya. Ia masih bisa berdiri lagi.

Kali ini gerakan tikus itu lebih cepat dari sebelumnya. Mungkin dia berwaspada akan serangan berikutnya. Aku meminta Raka untuk menunggu agak lama. Membiarkan tikus itu tenang. Setelah itu, digaplok lagi dengan sandal.

Rasanya menyenangkan bisa membuat raksasa itu oleng.

Setelah mendapat dua kali serangan telak, tikus itu lebih berhati-hati. Gerakannya tidak seliar tadi. Dia lebih banyak diam di tempat dan pendengarannya begitu sensitif. Mendengar sedikit suara saja membuatnya siap siaga.

Dalam keadaan seperti ini, dia tak bisa diserang. Lebih tepatnya, aku dan Raka harus menghentikan serangan sejenak. Menyerangnya dalam keadaan waspada tinggi, akan membuat pertarungan ini sia-sia.

"Berapa lama harus menunggu?" tanya Raka.

"Lebih lama dari yang tadi," jawabku terus memperhatikan tikus itu.

"Ya ampuun malas banget."

Nah ini. Ngeselin banget kalo dia udah kayak gini. Diminta bersabar aja ogah. Makanya nggak heran dia selalu meleset menyerang musuh.

"Ingat kata Ayah, orang sabar disayang Tuhan."

"Iya aku tahu." Terdengar suara Raka begitu kesal.

Aku menghela napas panjang.

Ribet emang punya saudara nggak sabaran kayak dia.

Terdengar putus-putus Raka menggerutu. Dia benar-benar sulit disuruh sabar. Entah waktu kecil dia dikasih asupan apa jadi bisa bertolak belakang denganku atau memang tabiatnya gitu? Entahlah.

Kuturunkan ponselku yang sejak tadi belum terputus panggilannya ke nomor Raka. Gerutuan Raka mengganggu konsentrasiku.

Ini adalah pertempuran yang menegangkan. Dan aku tak ingin ini menjadi pertarungan yang berakhir membuatku jengkel. Karenanya, aku harus memperhitungkan segalanya dengan tepat.

Aku tidak ingin semua usaha, tenaga, dan pikiranku terbuang sia-sia karena sebuah kekalahan. Aku benci itu. Aku sudah mencurahkan semuanya dan tidka mendapatkan hasil yang setimpal? Oh, tidak bisa begitu ferguso.

Pertarungan ini harus kumenangkan. Aku takkan menyerahkan kemenangan ini pada—THE FU—

Sandal raksasa itu bergerak menggampar tikus itu. ANAK ITU—maksudku—RAKA APA YANG BARU SAJA KAU LAKUKAN?!

Perhitunganku hampir selesai dan kita bisa mulai menggaplok tuh tikus. Tapi kenapa kau gampar sekarang, Raka?!

Aku menundukkan kepala. Kedua tanganku meremas rambut hitamku. Aku kecewa dengan keputusan sepihak dari Raka.

Sayup-sayup aku mendengar Om Budi memanggilku. Aku mengacuhkannya. Om Budi menggoncang tubuhku dan aku tetap mengacuhkannya.

Semua usahaku... sudah hancur. Kemenangan yang kudambakan, terhempas jauh ke ujung dunia dalam sekejap.

"Rik, bangun, Rik! Raka dalam bahaya!"

Aku mendongak lalu menoleh. "Huh...?"

Om Budi mengulangi ucapannya barusan. Sekejap aku menatap ke arah Raka yang jauh di mata namun dekat di hati.

Tim Raka lari tunggang-langgang menjauhi tikus raksasa yang sedang panik. Semua anak buah Om Budi yang satu tim denganku mencoba menarik perhatian tikus itu dengan melempari benda apapun yang bisa dilempar ke tubuh raksasa itu.

Apa yang telah terjadi? Bagaimana tikus itu keluar dari lingkaran buah mengkudu? Apakah sandal raksasanya Raka tanpa sengaja menghancurkan formasi lingkaran itu?

Satu per satu pertanyaan muncul dalam benakku. Telingaku mengacuhkan kericuhan orang-orang di sekitarku. Aku terlalu fokus mencari tahu apa yang telah terjadi setelah Raka menggampar tikus itu tadi.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, aku mengangkat ponselku. Beruntung panggilan tadi belum terputus. Aku coba berbicara dengan Raka ditengah kericuhan ini.

Belum sempat aku mengajukan pertanyaan, Raka meneriakkan sesuatu padaku.

"Rik, cepetan pergi situ!"

"Kenapa?"

"Tikusnya ke arahmu!"

Aku menoleh dan benar saja. Tikus itu berjalan cepat ke arahku.

Sontak aku berdiri dan berlari. Asataga aku harus lari-larian lagi dengan tikus ini. Hei, ini bukan film India!

Aku terus berlari sekencang mungkin. Namun karena langkah dia lebih lebar, aku pun hampir tersusul. Dalam keadaan panik, tanpa sengaja kedua kakiku tersandung satu sama lain. Aku pun jatuh terjerembab.

Belum sempat aku berdiri, sebuah tapak kaki raksasa bergerak ke arahku. Aku hanya bisa menutup mata dan pasrah akan nasibku.

"...Rik. Riki!"

Aku membuka mata.

"Akhirnya bangun juga."

"Aku... selamat?"

"Selamat? Dari apa?"

"Tadi ada kaki tikus gede banget mau nggencet aku."

"Kayaknya itu efek dari kebentur dinding deh."

"Huh? Maksudmu?"

"Kita tadi lagi ngusir tikus yang numpang lewat dapur kita ke rumah tetangga. Mendadak tikusnya lari ke arahmu. Kau menjerit ketakutan lalu jatuh ke belakang dan kepalamu kejedot dinding dapur."

Aku memperhatikan dapur. Tidak ada yang hancur dan semuanya masih rapi dan bersih. Apakah sejak tadi itu aku....

"Kepalamu masih terasa sakit? Tahan bentar ya, Om Budi lagi ambilin obat buatmu."

Aku menyentuh belakang kepalaku. Tak ada benjolan, tapi efek benturan dengan dinding tembok masih terasa.

"Jadi yang kualami itu hanya mimpi?" gumamku.

"Hm? Kau mimpi apa tadi pas pingsan?"

"Bertarung dengan tikus raksasa."

Seketika Raka tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Riki, sampe kau bawa ke dunia mimpi yang terjadi hari ini." Raka mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. "Tenang aja, tikusnya udah kabur dan semua udah kubereskan. Jadi kita nggak kena omel Ibu."

"Oh ya, indomie pesananku masih ada?"

"Rik, kau masih ngigau?"

"Aku sedang tidak bercanda."

"Aku juga."

-TAMAT-

Terima kasih udah baca cerita absrudku.

Akhirnyaaa dari sekian banyak cerita yang kutulis, cerita ini berhasil kutulis sampai tamat!!!

Alhamdulillah Ya Allah >o<

Meskipun perlu seminggu melawan rasa ingin menelantarkan proyek sendiri. Setidaknya aku sudah berjuang!!!

eni_harianicreators' thoughts