webnovel

5

Penglihatanku yang mengabur perlahan menjadi jelas. Aku menikmati sejenak langit biru nan indah dan segumpal awan bergerak pelan di atas sana.

Aku mendudukkan diri. Raka tak terlihat. Rasa cemas dan khawatir menggeryangiku.

Aku berdiri ingin mencari saudara kembarku. Tiba-tiba orang yang dicari mengangetkanku dari belakang.

"Mau kemana?" tanya Raka sambil menepuk pundakku. Hampir saja aku membantingnya ke tanah. Saking kagetnya.

Seketika Raka tertawa tertawa nyaring melihat reaksi kagetku. Saudara kembar sialan!

"Lucu banget reaksimu," ujar Raka ditengah tawanya.

Aku hanya menatapnya dengan cemberut. Kemudian mengambil tanpa ijin setangkai buah anggur dari dekapan Raka.

"Woy, ngambil tuh ijin napa?"

"Aku lapar!"

"Tetep aja—"

"Tikus itu masih di sana?"

"Ya."

"Anak buah Om Budi gimana?"

"Mereka belum datang."

"Berarti ada waktu buat bikin rencana."

"Kau mau ngalahin tuh tikus?"

"Ya iya lah. Kau mau hidup berdampingan dengan hewan yang terus membesar?"

"Yaaa ogah lah," ujar Raka. "Ntar kita yang di HAP, gimana? Apalagi tikus tuh omnivora."

"Makanya itu. Kita harus memikirkan strategi yang tepat."

"Jadi, apa kau punya rencana?"

"Ya. Aku perlu daun mint, buah mengkudu, dan merica."

"Mericanya...," Raka menatap rumah mereka yang sudah berlubang sana-sini, kemudian menatapku. "kita perlu beli."

"Aku udah nyuruh Om Budi membelinya."

"Berarti tinggal ngumpulin daun mint dan buah mengkudu."

"Yup."

"Kalau gitu, aku milih ngumpulin daun mint."

"Enak kali kau! Aku yang punya rencana, kau yang milih duluan."

"Siapa cepat, dia dapat."

"Kalau gitu, kau kumpulkan kain yang banyak."

"Males. Kau aja lah."

"Aku tak mau tau. Kalo kita mati konyol di sini, itu salahmu," ancamku. Raka ini memang perlu diberi sedikit ancaman. Kebiasaan buruknya menumpahkan urusan ke orang lain harus diobati.

Satu per satu buah mengkudu kukumpulkan dalam keranjang rotan. Lelah juga. Padahal sudah dibantu dua tukang kebun kami.

Mungkin karena aku tak biasa mengambil begitu banyak buah. Biasanya ngambil secukupnya aja. Satu atau dua buah.

"Mas Riki, mau diambil semuanya?" tanya salah satu tukang kebun kami yang namanya Yakub. Keren kali namanya.

"Segini aja dulu." Aku menuruni tangga kecil yang mirip seperti tempat duduk wasit voli. Sepertinya yang bikin ini terinspirasi dari sana.

Aku dibantu dua tukang kebun memotong semua buah mengkudu. Yakin deh, abis ini bakalan pegal semua tanganku

Raka bersama dua orang tukang lainnya datang membawa sebakul daun mint dan segumpal besar kain. Aku gunakan kain-kain yang dibawa Raka untuk membungkus semua buah mengkudu.

"Tikus itu hanya mengitari rumah," ujar Raka yang tadi kusuruh mengawasi tikus raksasa itu.

"Kalo gitu, kita taruh ini di sekeliling tikus itu," ucapku mengangkat sepotong buah mengkudu.

Sontak Raka menatapku. "Kau ingin kita semua mati?"

"Tikus itu sekarang sebesar apa?"

Raka kembali memakai teropongnya. "Tidak ada perubahan."

"Supaya semua aman, kita letakkan sepuluh meter dari rumah."

Raka dan keempat tukang kebun menatapku penuh tanda tanya.

"Um...." Aku memutar otak. Mencari sesuatu yang mendekati perintahku.

Aku menatap sekitar belakang rumah. Ada kolam renang super gede yang dikelilingi taman gede berbentuk huruf U.

"Patokan pohon di taman itu." Aku menunjuk salah satu pohon tinggi—yang tak kuketahui namanya—di taman huruf U. "Usahakan bentuknya lingkaran. Kita coba mempersempit area tikus itu."

"Siap, Mas Riki," ujar keempat tukang kebun.

"Raka, kau bantuin mereka. Aku coba cari bantuan."

"Oke."

Aku berpisah dengan tim Raka. Aku mencoba menelpon Om Budi. Menanyakan mengapa mereka belum juga datang.