webnovel

3

Tikus itu begitu lahap memakan apapun yang ada di dapur. Badannya yang hampir menyentuh langit-langit dapur membuatku menelan ludah sekali lagi.

Bagaimana caranya mengusir makhluk raksasa ini?

Apa? Gelut? Gila kau!

Melawan manusia dewasa gak masalah bagiku. Lah ini? Segeda gaban ini diajak duel?

Big NO!

Mending lari menyelamatkan diri atau nggak...—OH YA. Aku ini kan anak mafia, ya. Bapakku sudah pasti punya banyak anak buah. Kenapa nggak dimanfaatin aja. Ya nggak?

"Kenapa kau senyum-senyum, Rik? Emang ada apa di dapur?" ucapan Raka membuatku kembali ke realita.

"Nggak ada yang menarik. Cuma seekor tikus sedang mencuri stok makanan kita."

"THE HELL—"

Aku segera menutup mulut Raka yang hampir membuat lokasi kami ketahuan.

"Kau ini ngapain sih?!" Raka melepas bekapan tanganku dari mulutnya.

"Aku sedang menyelamatkan nyawa kita," ujarku setengah berbisik.

"Huh?" Raka menatapku bingung.

Kemudian terdengar suara berisik seperti berjalan kaki. Aku takut-takut mengintip ke dalam dapur. Tak ingin tiba-tiba saling menatap dengan tikus raksasa itu.

Aku melihat tikus itu bergerak, memporak-porandakan isi dapur. Jika Ibu melihat kekacauan ini, pastilah beliau takkan diam saja.

"Berisik banget di dapur," ujar Raka. "Tikusnya ada berapa sih?"

"Satu," jawabku tanpa memalingkan pandanganku mengawasi tikus itu.

"Yakin satu? Suaranya kayak sekampung."

"Iya, cuma satu. Tapi dua kali lipat mainan tranformermu yang setinggi dua meter."

"Seriusan?" Terdengar suara Raka bergetar. Sepertinya dia mulai takut—ah, tapi tak mungkin saudara kembarku ini takut cuma denger tikus segede itu.

"Seriusan lah. Sejak kapan aku berbohong?"

"Kau pernah melakukannya saat hari ulang tahunku. Kau berbohong kalau koleksi transformerku disedekahkan ke anaknya Paman Sam, ternyata tidak."

"Aku minta maaf untuk itu."

"Tiada maaf bagimu," sahut Raka yang terdengar marah, tapi aku tahu itu hanya bercanda.

"Tikus itu terlalu besar untuk kita tangani sendiri," ujarku menyudahi mengawasi tikus itu.

"Sepuluh orang cukup?"

"Tiga puluh orang."

"Apa perlu sebanyak itu?"

"Karena tikusnya gede dan hewan ini tuh omnivora. Kali aja tetiba ngelahap manusia. Bisa kekurangan orang kita."

"Benar juga. Then, aku akan telepon Om Budi bawa segitu banyak." Raka menjauh ke ruang keluarga dengan telepon menempel di telinga kanan.

Kini aku berpikir menyusun strategi menghadapi tikus raksasa ini. Resiko terlalu besar jika terang-terangan menyerang. Meskipun bersikap frontal itu bagus, tapi situasi seperti ini sama saja mempercepat diri dipanggil Yang Maha Kuasa.

Yang kutahu, tikus bisa dihadapi dengan memasang jebakan atau membunuhnya dengan racun tikus. Aku pernah liat Paman Sam memasang jebakan tikus berupa lem bening super kuat yang tidak berbau menyengat sewaktu berkunjung ke rumahnya.

Tapi jebakan itu hanya seukuran selembar kertas double folio bergaris. Tak cukup kuat menahan satu kaki tikus raksasa itu.

Beli satu pabrik? Apa itu cukup? Pasti cukup dong. Ayahku tajir melintir, beli barang satu pabrik urusan kecil untuknya. Ayahku juga punya banyak orang yang bisa membantuku membuat jebakan raksasa.

Nah pertanyaan pentingnya, cukupkah waktunya merangkai jebakan itu? Gimana kalau tikus ini mendadak jeluar dari rumah lantas menyerang semua orang?

Aku menyalakan ponsel. Mengunjungi Om Joojel. Bertanya adakah jalan lain menuju Roma—maksudku ide lain mengalahkan tikus ini.

Aku memasukkan kata kunci 'cara mengalahkan tikus' dan Om Jojle memberikan segunung Sumeru artikel mengenai itu. Aku memilih dan membaca artikel yang kubutuhkan.

Aku mendapatkan banyak referensi bagus. Bubuk kopi, cangkang telur, daun mint, bawang putih, cengkeh, merica, dan buah mengkudu. Aku akan mengambil daun mint, buah mengkudu, dan merica. Ketiga benda itu bisa didapatkan di luar rumah.

Ibuku memiliki kebun buah, sayur, dan rempah-rempah. Hanya sebagai kegiatan ringan. Agar hidupnya penuh warna.

"Urusan merica biar Om Budi yang beli," ucapku seraya mengirim sebuah chat pribadi ke Om Budi. Memintanya memborong merica bubuk dan lem penjebak tikus.

Seketika sisi kiri wajahku terasa geli. Seperti ada yang mengendus wajahku. Aku mengusir lembut dengan isyarat tangan ke siapapun yang melakukan itu.

Namun yang di sebelahku ini ngeyelan. Dia tetap saja menggangguku. Aku yakin ini pasti ulah Raka.

Hanya manusia berwajah bagai pinang dibelah dua itu yang suka menjahiliku. Meskipun aku sudah berkata tidak, dia tetap melakukannya.

"Aku udah ngasih isyarat nggak, seharusnya ngerti dong!" ucapku lantang sembari menampar sesuatu di samping kiriku.

Aku merasakan ada yang aneh. Terasa bukan wajah manusia yang kutampar. Lalu wajah siapa?

Aku menoleh dan kedua mataku terbelalak.

Aku baru saja menampar moncong tikus raksasa yang tanpa permisi mengobrak-abrik dapur ibuku.

"Mati aku."

Itulah yang kupikirkan saat ini.