webnovel

2

Aku memesan indomie goreng untukku dan mie kuah untuk saudara kembarku. Masing-masing 2 porsi. Sebenarnya ini kebanyakan. Tapi tak ada nasi di rumah. ART kami sedang demam.

Apa? Masak sendiri? Kalo bisa nyuruh orang kenapa masak sendiri? Lagipula ayahku seorang bos mafia berkedok CEO. Duit kami melimpah ruah. Untuk apa susah-susah masak. Suruh orang saja mengerjakannya. Praktis. Ekonomis. Higienis. No ribet-ribet.

Bicara soal no ribet-ribet, aku akan pesan nasi dua porsi. Yaaa siapa tahu kepengen makan nasi, kan, ya.

"Ok. Makanan sudah dipesan." Aku meletakkan ponselku di atas meja makan. Lantas mengubek-ubek isi kulkas lagi. Mencari sesuatu yang bisa kucemili hingga paman gufud datang.

Aku berharap tidak menemukan makanan prank seperti yogurt tadi. Aku tau Ibuku tak bermaksud nge-prank kedua putranya, tapi kebiasannya memasukkan sisa makanan ke wadah bermerk perlu diperbaiki.

Ponselku berdering dan bergetar hebat. Aku segera mengangkat ponselku dan tersenyum lebar. Abang gufud sudah datang!

Aku membanting pintu kulkas—beruntung Ibu tak ada, jadinya aku takkan diomeli— lantas bergegas menuju pintu depan rumah. Tak lupa aku memasang masker.

Aku membuka pintu dan terkejut abang gufud tidak menggunakan masker.

"Loh, Bang? Nggak pake masker? Ntar kena caranoa gimana?"

"Caranoa adanya pas hari raya keagamaan aja. Sekarang hari biasa. Jadi nggak ada pastinya." Abang gufud menyerahkan pesananku. "Semuanya lima puluh lima ribu, Mas."

"Oke, udah aku bayar lewat dompet digital."

"Oke, Mas. Saya permisi."

Abang gufud berjalan pergi. Beberapa saat kemudian dia kejang-kejang hingga tersungkur di atas halaman rumahku yang super duper luas. Dua kali lipat ukuran lapangan sepak bola Soekarno-Hatta.

Aku menghela napas. Aku menelpon tim medis untuk segera menjemput mayat yang tergeletak di halaman.

Iya, mayat. Abang gufud itu sudah mendapat gelar terakhirnya. Almarhum.

Itu konsekuensi tidak mematuhi protokol kesehatan dan berlaga paling pinter. Satu dunia sudah tahu kalau ada wabah mengerikan sedang menguasai kehidupan.

Manusia-manusia dibuat ketakutan akan kehadirannya yang tak kasat mata. Racun invisible masih bisa dilacak, tapi virus ini sangat sulit dilacak.

Tiap penderita memiliki gejala yang berbeda-beda. Membuat para ilmuwan kebingungan menentukan gejala pastinya. Beruntung penyebaran virus ini bisa dilacak. Itu cukup membuat para manusia berhati-hati dengan virus ini.

Dengan modal secuil informasi ini, semua petinggi negeri sepakat, bahwa umat manusia harus memakai masker setiap keluar rumah dan menggunakan hand sanitizer setiap ingin dan sesudah memegang dan menyentuh benda-benda sekitar.

Masker yang sudah dipakai segera dirusak agar tidak ada oknum-oknum yang memanfaatkan ini untuk mendaur-ulangnya. Pulang beraktivitas harus segera mandi, pakaian yang sudah dipakai segera dicuci dan seisi rumah harus senantiasa disempot sanitizer.

Sekarang tahu, kan kenapa pembantu kami jatuh sakit? Mereka terpaksa bekerja lebih keras dari biasanya.

Aku sudah mencoba menyarankan untuk hire banyak pembantu. Akan tetapi kedua orangtuaku takut kalau-kalau pembantu baru membawa virus ke dalam rumah.

Hmmm, masuk akal.

Aku meletakkan sekresek makanan pesanan tadi di atas meja ruang keluarga. Kemudian saudara kembarku turun dari lantai atas.

"Rik, lama bener ke dapur. Ngapain sih?" tanya Raka.

"Panggil aku abang Riki. Aku lebih tua darimu," ucapku kesal. "Aku abis ambil pesanan gufud."

"Cih. Cuma beda beberapa menit doang. Berlaga kali."

"Heh! Meski cuma beda dikit, tetap aku yang lahir duluan. Berarti aku ini abang."

"Berarti aku putih."

"Heeeh! Aku lagi serius malah bercanda."

"Nggak jadi makan yogurt?" Raka mulai membuka bingkisanku untuk mengintip isinya.

Segera kutarik bingkisan itu, lalu berucap,"Iya. Yogurtnya abis."

"Terus kau pesan indomie?"

"Ih, siapa yang pesan indomie? Hiiih, ge er!"

"Siapa yang ge er?!" Raka sedikit naik pitam. "Kau tuh yang ge er. Aku cuma nanya—!"

KLONTANG!

Aku dan Raka terdiam. Mata kami sontak menuju dapur. Terdengar bunyi barang-barang disepak sana-sini.

Aku menyuruh Raka mengeceknya. Raka malah balik menyuruhku.

"Kau itu adik, harus nurut sama abang."

"Kau tuh lahir duluan, yang tua seharusnya yang ngecek."

"Akhlakless."

"Kau tuh!"

KLONTANG!!!

Bunyi yang sama terdengar lagi. Kali ini lebih nyaring.

Aku menelan ludah. Di rumah ini hanya ada aku dan Raka. Yang ketiga sudah pasti orang asing.

Tapi bagaimana bisa lolos dari para penjaga? Jangan-jangan mereka sudah mengintai rumah ini dan mengamati pergerakan para penjaga.

Namun apa yang mereka cari di dapur? Tak ada barang yang bisa dijual dengan harga tinggi di sana. Ibu sengaja membeli perabotan dapur yang murah-murah. Karena Ibu mengincar kualitas dibanding kuantitas dan kepopuleran sesuatu merek.

Aku dan Raka mengendap-endap mendekati pintu dapur. Kami berjalan sambil menempelkan punggung ke dinding.

Semakin mendekati pintu dapur, aku bisa mendengar suara decitan. Aku ingat, hanya tikus yang berdecit dan aku sangat tahu rumah kami selalu dijaga kebersihannya. Jadi tidak mungkin ada tikus masuk.

KLONTANG!

Sebuah baskom stainless terlempar keluar dapur.

Aku mengeryitkan dahi. Tikus sekuat apa bisa melempar baskom segede itu?

Perlahan aku mengintip ke dalam dapur. Betapa terkejutnya melihat seekor tikus raksasa sedang menikmati makanan yang ada di dapur. Tubuhnya begitu besar dan tinggi hampir menyentuh langit-langit dapur.

Oh, aku baru ingat. Virus ini selain mengincar manusia, mereka juga mengincar hewan. Hanya saja efek yang diberikan berbeda.

Jika terkena manusia, maka manusia akan meninggal. Jika terkena hewan, maka hewan akan berevolusi menjadi makhluk raksasa.

[4/1/22] nggak ada pilihan tulisan miring

eni_harianicreators' thoughts