webnovel

Serial Killer (A - Accident)

Seorang korban tabrak lari ditemukan meninggal dunia. Ketika polisi datang dan memeriksa tubuh korban, tidak ditemukan tanda pengenal, terdapat memar bekas ikatan di kedua pergelangan tangan dan kaki korban layaknya korban pernah disandera sebelumnya. Luka bekas menggenggam benda tajam juga terdapat di telapaknya. Karena tidak tampak seperti kasus kecelakaan biasa, kasus yang harusnya ditangani unit Laka Lantas pun diserahkan ke Tim Investigasi Khusus.

NurNur · Horreur
Pas assez d’évaluations
30 Chs

Enam.

Seperti halnya yang dilakukan Iwata dan Haikal, ketua tim yang berpasangan dengan Ken juga melakukan penyelidikan ulang. Mendatangi TKP dan memeriksa semuanya kembali.

Sebenarnya ketua tim tidak berharap banyak dengan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan sebelumnya, tapi memang seperti inilah peraturannya. Melakukan penyelidikan ulang, berarti melakukan setiap tahap penyelidikan dan permeriksaan dari awal.

Lagi pula ketua tim datang bersama anggota baru yang juga perlu memahami bagaimana situasi kasus yang tengah mereka hadapi. Yang perlu meneliti dengan mata kepalanya sendiri seperti apa keadaan di TKP.

Beberapa petugas dari unit Inafis sering ia dengar memuji bocah di sampingnya itu, yang terlihat sedang serius berpikir sembari membaca seluruh isi laporan penyelidikan yang saat di kantor ia bagikan. Jika apa yang semua orang katakan tentang bocah di sampingnya benar, ia bisa membandingkan hasil pemikirannya dengan yang Ken dapatkan dari mendatangi TKP secara langsung.

Korban kedua bernama Aditya Zainuddin, 19 tahun. Aditya bekerja sebagai montir di sebuah bengkel kecil di pinggir jalan.

Hari itu Aditya menjalani kesehariannya seperti biasa. Ia bekerja mulai pukul 08.00-17.00. Ia yang tinggal bersama keluarganya tidak juga pulang meski azan magrib telah selesai berkumandang. Keluarga sama sekali tidak merasa ada yang aneh.

Meski Aditya selalu pulang ke rumah lebih dulu setelah jam kerjanya habis untuk sekadar mandi atau makan, tidak pulang sampai larut malam bukan kebiasaan yang pertama dilakukannya hari itu.

Ibu baru sadar Aditya tidak pulang semalaman saat melihat kamar Aditya masih rapi, belum tersentuh. Barulah ketika seorang teman datang ke rumah untuk menjemput dan pergi ke bengkel bersama, keluarga mulai merasa cemas.

Berkali-kali nomor Aditya dihubungi namun tidak sekalipun pernah tersambung. Kecemasan semakin meningkat saat satu persatu teman-teman yang dihubungi mengatakan tidak tahu dan tidak pernah bertemu dengan Aditya sejak kemarin.

Hari sudah siang ketika polisi menghubungi keluarga dan meminta mereka datang ke rumah sakit untuk memastikan jasad yang ditemukan. Ibu nyaris ambruk tapi ia tetap menguatkan diri untuk datang. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa jasad yang sekarang berada di kamar jenazah Rumah Sakit Daerah bukanlah putranya. Bahwa putranya masih baik-baik saja dan akan pulang untuk makan siang sebentar lagi.

Sayangnya harapan itu berujung menyakitkan saat kain yang menutup tubuh korban dibuka sampai sebatas leher. Mereka mengenali wajah pemilik tubuh yang sudah berubah pucat dingin itu. Tubuh yang dipenuhi luka dan memar. Mereka sangat mengenalnya karena selama 19 tahun hidup bersama dalam satu rumah sebagai keluarga.

Ibu menangis histeris, kakak perempuannya juga ikut terisak. Sang Ayah berusaha menenangkan, tapi perasaan terluka juga menggelayuti kesedihannya.

Kedaraan ketua tim berhenti di tempat kecelakaan terjadi. TKP kecelakaan adalah tempat yang lebih dulu mereka datangi karena berada di badan jalan. Setelah ketua tim memarkir kendaraannya di tempat yang aman, keduanya keluar untuk memeriksa.

Ken mulai mengamati dengan teliti. Kemampuan terbaik dari penglihatannya ia kerahkan. Setiap inchi dari aspal yang ada di depan matanya ia amati. Masih ada bercak darah yang sudah mengering yang tertinggal sebagai jejak. Berjarak cukup jauh, di sisi yang lain juga terlihat beberapa bercak, menandakan korban tertabrak dua kali seperti yang tertulis dalam laporan.

Ken terdiam menatap ke jalan. Ia sedang membayangkan bagaimana mobil menabrak korban saat kecelakaan terjadi. Siapa tahu ada petunjuk yang bisa ia dapatkan. Ken membayang sesuai dengan alur yang tertulis dalam laporan. Bagaimana bentuk mobil, berapa kecepatannya saat menabrak korban, dan bagaimana keadaan korban yang terlempar ke atas sebelum jatuh ke aspal.

Ken membayangkan kejadian yang terasa begitu nyata di kepalanya. Ia bahkan terkejut saat mendengar suara benturan saat tabrakan terjadi. Seolah suara yang terdengar benar-benar tertangkap indra pendengarannya. Tidak lama berselang, Aditya tertabrak lagi untuk yang kedua kalinya. Tubuhnya terlempar ke arah dengan laju kendaraan.

"Ada yang kamu dapat?" ketua tim bertanya.

Ken menggeleng "Belum ada, Pak."

Meski tidak menemukan petunjuk yang bisa membantu menyelesaikan kasus, Ken tetap berusaha tenang. Tidak ingin terintimidasi. Ia harus tetap menjaga konsentrasinya agar nanti tidak ada hal penting yang terlewatkan.

Selesai dengan tempat kecelakaan, keduanya berjalan melewati semak-semak menuju TKP penyekapan.

Jejak yang ditinggalkan korban setelah kabur dari tempat penyekapan menuju ke jalan raya telah rusak, diganti oleh jejak para petugas penyelidik, dan mungkin beberapa orang iseng yang ingin tahu apa yang terjadi. Meski begitu, Ken tetap berjalan dengan memperhatikan setiap langkahnya.

"Kamu memiliki hubungan spesial dengan salah satu petinggi kita?" tanya ketua tim tiba-tiba.

"Apa?" Ken minta mengulang, bukan karena dia tidak mendengar apa yang baru ketua tim tanyakan padanya, Ken hanya tidak menyangkan ketua tim akan bertanya begitu terus terang dan tiba-tiba.

"Bocah pelajar sepertimu bisa berjalan sampai sejauh ini tidak mungkin kalau tidak memiliki orang dalam." Kalimat ketua tim terdengar merendahkan.

Ken tidak menjawab. Ia hanya mendesis pelan kemudian membuang muka.

Hal yang paling Ken benci adalah diremehkan. Itulah sebabnya ia selalu bekerja keras untuk menghasilkan sesuatu.

Mungkin ketua tim terlalu berharap banyak padanya yang seorang pemula. Tapi Ken, ia tidak pernah meminta itu. Ia memang hanya seorang bocah pemula, jadi tidak mungkin ia lebih hebat dibanding para petugas lainnya. Ia kalah pengalaman, itu sudah jelas. Dan lagi ia juga belum menyelesaikan sekolah kepolisiannya. Pendidikan yang sangat dibutuhkan untuk diakui sebagai seorang petugas sungguhan.

Ken tidak mengatakan apa pun. Ia hanya fokus memeriksa.

Sampai di TKP penyekapan, Ken tidak langsung memasuki bagunan. Ia berkeliling lebih dulu. Melihat-lihat sekeliling bangunan. Rumput di sekeliling halaman tumbuh setinggi betis orang dewasa. Jejak-jejak yang tertinggal di atas rumput juga sudah tidak lagi steril. Jejak-jejak baru dan lama terlihat saling bercampur.

Bangunan berwarna putih dengan tinggi 12 meter itu memiliki empat lantai dengan masing-masing ventilasi udara di setiap 1 meternya. Selain lubang untuk ventilasi, lubang masuk walet dan lubang antar lantai adalah bagian-bagian yang bisa terlihat jelas dari luar.

Tidak menemuan petunjuk berharga apa pun di halaman bagunan, Ken masuk.

Jika suhu di luar ruangan panas, karena matahari cukup terik, di dalam terasa teduh namun lembap. Suhu ruangan kira-kira sekitar 27-29°C. Selain itu ruangan juga gelap, bau, dan bising. Suara bising yang berasal dari speaker walet.

Ken menyalakan senter dari ponselnya sebagai pencahayaan.

Ruangan di lantai satu terpisah cukup jauh dari lantai-lantai di atasnya. Beberapa kayu ditumpuk di sudut ruangan menunjukkan kegunaan ruangan itu memang sebagai tempat penyimpanan. Ruangan di lantai satu memang tidak terlalu kotor, tapi bau dan suara bising dari lantai di atas ikut mencemari.

Seperti yang tertulis dalam laporan, ada kursi kayu, tali bekas ikatan, pecahan botol, juga...

Ken lebih mendekatkan sinar lampu ponselnya ke lantai. Bercak darah. Itu jelas bercak darah.

Ken kembali membangkitkan imajinasinya, membayangkan apa-apa yang korban lakukan untuk membebaskan diri.

Korban diikat di pergelangan tangan dan pergelangan kakinya, kemudian diikat lagi saat korban didudukkan di kursi. Ikatan yang berulang akan membuat usaha korban tidak mudah untuk melepaskan diri. Ruangan memang gelap, tapi tidak gulita. Sinar bulan dari jendela kecil di bagian atas bias, memberi penerangan untuk sudut-sudut tertentu.

Langit malam terang benderang hari itu. Bintang betebaran sesukanya dan bulan leluasa membagikan sinarnya. Tidak ada awan gelap atau keabu-abuan. Dalam keadaan itu, sekenario pelaku berjalan sempurna.

Korban yang terperangkap dan merasa tertekan mungkin berpikir menemukan harapan setelah melihat pecahan botol kaca yang berserakan. Tidak menyangka bahwa maut justru telah menunggunya selepas ia melarikan diri dari penyekapan dalam bangunan.

Seorang pelaku tidak mungkin membiarkan korban yang disekapnya bisa kabur dengan mudah. Selain mengamankan dengan ikatan, seorang pelaku seharusnya sudah menyurvei lebih dulu tempat yang akan digunakan untuk mengurung korbannya. Sehingga pecahan kaca atau benda tajam apa pun harusnya sudah diamankan.

Dalam keadaan terikat dan terduduk di atas kursi, sangat sulit untuk korban bergerak dan menjangkau pecahan botol kaca yang jauh dari tempatnya. Pilihannya hanya menjatuhkan diri beserta kursi yang didudukinya dan bergerak sedikit demi sedikit.

Berhasil!

Untuk bisa memutuskan tali dengan ketebalan yang tidak biasa, korban perlu menggengam pecahan botol kaca dengan erat, itu sebabnya ada luka di telapak tangannya dan ada bercak darah pada tali dan lantai.

Tujuan korban setelah berhasil melepaskan diri adalah mencari jalan keluar. Tempat pertama yang akan dituju setiap orang dalam keadaan yang sama pastilah pintu. Meski kemungkinannya kecil, setiap orang yang terperangkap akan selalu mencari pintu sebagai tempat untuk menemukan jalan keluar.

Lagi, seperti yang tertulis dalam laporan. Selagi pelaku meninggalkan korbannya, pintu tidak ditutup dengan benar. Hanya ranting kering yang disangkutkan di tempat seharusnya gembok berada, memperkuat dugaan penyidik bahwa pelaku memang sengaja membuat korban bisa meninggalkan tempat penyekapan dengan mudah.

Mengikuti jejak korban yang menuju ke arah pintu, Ken mulai memeriksa bagian itu.

Jika sudah memprediksi korbannya akan berhasil membebaskan diri, seharusnya pelaku menunggu. Setidaknya hingga ia mendengar suara kursi jatuh, baru kemudian bergerak untuk meyiapkan langkah selanjutnya.

Ken mencari-cari di mana tempat yang cocok untuk menunggu. Yang tidak terlihat oleh korban namun bisa mendengar suara kursi jatuh. Seharusnya masih di sekitar bangunan. Seharusnya pelaku tidak berjarak terlalu jauh dari tempat penyekapan untuk memastikan korban benar-benar masuk perangkap, benar-benar menemukan jalan untuk melarikan diri.

Tidak ada di mana pun. Jejak yang ingin Ken temukan keberadaannya tidak ada di mana pun.

Depan pintu!

Satu-satunya tempat di mana ada banyak jejak tertinggal adalah di depan pintu. Jika benar pelaku menunggu di tempat itu, jejaknya akan tersamarkan oleh jejak-jejak yang lain. Karena setiap petugas yang akan masuk ke tempat itu, jejaknya pasti tertinggal di depan pintu.

Ken menggosok-gosok dagunya, berpikir keras.

"Ada yang kamu dapat?" ketua tim menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya.

Juga, sama seperti sebelumnya, Ken menjawab pertanyaan dari ketua timnya dengan menggelengkan kepala. "Tolong Bapak jangan terlalu berharap pada saya," tambah Ken dengan nada merendah yang ketus.

Ketua tim tersenyum. Ia mengerti kenapa nada bicara Ken yang sebelumnya sangat sopan dan penuh hormat berubah ketus. Ken pasti masih tersinggung dengan kalimat yang diucapkannya. Ken benar-benar tipe yang dengan mudah memasukkan ke dalam hati perkataan orang lain.

"Pimpinan tidak mungkin akan merekomendasikanmu masuk dalam tim khusus jika kamu hanya bocah ingusan yang gampang tersinggung," balas ketua tim.

Ken tidak tahu ketua timnya sedang memuji atau justru menyindirnya. Kalimatnya tidak terdengar seperti sebelumnya yang jelas-jelas meremehkan. Ken mungkin memang tipe yang mudah tersinggung, tapi prinsip hidupnya adalah ia tidak akan mudah tersinggung tanpa alasan.

"Siap, Pak! Masih saya pikirkan." Ken kembali ke nada bicaranya yang sopan dan penuh hormat.

Ketua tim tersenyum lagi, "Apa kita juga perlu kembali ke kantor dan memeriksa kendaraan yang digunakan pelaku untuk menabrak?"

"Siap, Pak, cukup!" kata Ken tegas. "Saya pikir tidak akan ada banyak petunjuk tertinggal di sana."

"Kalo begitu kita beralih ke tahap selanjutnya, mengumpulkan keterangan," komando ketua tim. Ken mengangguk.

Tidak banyak informasi bisa dikumpulkan melalui tanya jawab yang diajukan ke keluarga Aditya Zainuddin. Kedua orang tuanya bahkan tidak percaya bahwa kecelakaan yang menimpa anak laki-lakinya adalah pembunuhan terencana.

'Tidak ada alasan untuk membunuh Aditya', begitu pikir mereka.

Sama sekali tidak terlintas di benak keluarga bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir Aditya. Tidak ada tanda-tanda bahwa Aditya akan pergi untuk selamanya. Tidak ada tingkahnya yang aneh atau tiba-tiba berubah. Aditya pamit meninggalkan rumah untuk bekerja seperti hari-hari biasanya. Seperti keseringan hari-hari biasanya juga ia bangun kesiangan. Aditya pergi bekerja terburu-buru, tanpa sarapan.

Mengingat hari itu membuaat ibu Aditya terisak lagi. Kesedihan masih terlalu cepat untuk bisa ia usir jauh. Ini bukan sepenuhnya sekadar mengikhlaskan. Inilah perasaan kehilangan seseorang terkasih. Kehilangan buah hati yang ia kandung selama sembilan bulan dan ia besarkan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

Ketua tim mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Sesekali Ken akan mengisi untuk meminta detail dan mengulang penjelasan. Ken mengabadikan setiap penjelasan yang didengarnya dalam catatan di ponselnya.

Sebelum pamit, mereka meminta izin untuk melihat-lihat kamar Aditya.

Seperti kebanyakan kamar anak laki-laki, baju begitu menumpuk di gantungan. Beberapa pakaian kotor terlihat seperti hanya dilempar dari kejauhan karena tidak sepenuhnya masuk dalam keranjang. Hiasan kamarnya di penuhi dengan poster Valentino Rossi dan stiker MU.

Tidak ada catatan pribadi atau rahasia dalam tumpukan buku-buku Aditya. Bacaannya berkisar antara komik dan otomotif. Selebihnya adalah buku-buku pelajaran semasa SMA. Buku-buku yang masih menumpuk dan memenuhi meja belajarnya.

"Apa itu?" tanya ketua tim ketika melihat Ken sibuk menatapi foto yang ada di ponselnya. Keduanya sudah berpindah tempat ke dalam mobil. Bersiap untuk mengumpulkan informasi di tempat lain.

'Bego! Kalau itu mana mungkin aku lupa.'

Ken memerlihatkan foto yang diambilnya dari salah satu buku catatan Aditya semasa sekolah.

"Saya tidak yakin ini ada kaitannya dengan kasus, hanya saja saya tertarik untuk mengambil gambarnya." Ketua tim tidak menanggapi, fokusnya hanya tertuju pada stir kemudinya. "Tapi saya tiba-tiba tertarik dengan kalimat yang pak Huda sebutkan dalam rapat tadi," lanjut Ken.

Seperti orang-orang pada umumnya, Ken memanggil semua petugas dari pangkat tertinggi yang memiliki posisi, sampai bintara awal dengan sebutan 'Pak.' Beberapa petugas dari unit Inafis pernah mengingatkannya, tapi karena masih merasa sebagai sipil ia selalu lupa.

"Huda?" ulang ketua tim mulai tertarik

***