webnovel

Selembar Surat Kontrak

Rara sangat putus asa mengenai masalah keuangannya. Demi kelangsungan hidupnya, Rara bersedia menjual Ginjalnya kepada Seorang Kakek yang kaya raya. Namun, bagaimana jika kakek tersebut meminta Rara untuk menikahi cucunya? Rey yang putus asa mencarikan donor ginjal untuk kakek mendapatkan sebuah harapan dari seorang wanita yang mau memberikan ginjalnya. Namun kakek meminta Rey untuk menikahi wanita itu sebagai permintaan terakhir dari kakek. Rey dan Rara pun setuju untuk menikah namun Rey sudah menggaris bawahi pernikahan ini. Bahwa pernikahan ini hanya Sebuah Kontrak. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta. Namun jauh dalam hati, Rey sudah memiliki cinta untuk Rara.

An_Autumn · Urbain
Pas assez d’évaluations
311 Chs

Mimpi Buruk

Sayup-sayup aku mendengar suara seorang wanita memanggil ku.

"Rara, Rara, Rara, Rara"

Berulang kali wanita itu memanggil nama ku, namun tak tau mengapa aku tak bisa membuka mata ku untuk melihat siapakah gerangan itu.

"Rara, Rara"

Lagi dan lagi, suara itu menyebut nama ku. Kali ini suaranya terdengar lebih jelas. Namun berulang kali aku mencoba membuka mata tetap saja tak bisa. Seperti sesuatu yang berat menahan kelopak mataku.

Aku memejamkan mata dengan kuat mengumpulkan kekuatan agar aku bisa membukanya. Aku mengambil napas dalam-dalam, membuangnya perlahan dan dengan sekali hentakan aku memaksa mata ku untuk terbuka.

Rasanya dada ku naik turun, jantung ku berdebar-debar dan keringat mulai bermunculan di pelipis ku. Aku berhasil membuka kedua mata ku.

Namun aku hampir tak bisa melihat apapun, sekeliling ku gelap gulita. Bahkan seberkas cahaya pun tidak ada. Aku mengerutkan kening ku berpikir apa yang sedang terjadi. Situasi dan kondisi seperti apa saat ini. Aku juga tak lagi mendengar suara wanita itu memanggil nama ku.

Aku berusaha untuk menggerakkan tubuh ku, namun tubuh ku seperti mati rasa. Terbaring tanpa daya. Bahkan aku harus bersusah payah untuk menggerakkan jari-jari ku. Aku membuka mulutku hendak mengeluarkan suara, namun suara ku pun seperti hilang entah kemana. Aku mencoba berteriak namun tak ada suara apapun yang keluar. Hanya gerakan mulut saja yang bisa kulakukan.

Aku tak mengerti situasi ini. Aku tak tau berada dimana, aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku terbaring lemas tanpa bisa digerakkan, mulutku tak bisa berbicara. Aku pun mulai menangis. Bahkan saat menangis pun aku tak bersuara.

Tangisan ku semakin menjadi kala aku tak bisa memanggil Rey. Aku berteriak dalam hati memanggil namanya namun suara ku tak bisa keluar. Aku menggigit kuat-kuat bibir ku sampai kurasakan darah segar mengalir berharap aku bisa mengeluarkan suara ku.

Seketika atmosfir ruangan itu membuat dada ku sesak, aku tak bisa bernapas. Rasanya udara menjadi sangat berat untuk ku hirup. Jantung ku berdetak lebih cepat bahkan aku sampai takut jantung ku akan loncat keluar dari dalam tubuh ku karena kecepatan detakannya.

Tiba-tiba genangan air sudah memenuhi ruangan itu. Aku tak tau darimana datangnya genangan air itu, namun genangan air itu semakin tinggi dan tinggi bahkan sudah setinggi posisi tidur ku. Aku menggerakkan tubuh ku tanpa hasil, dan dalam sekejap saja ketinggian air itu sudah membuat ku tenggelam.

Aku menahan napas ku dan sekali lagi menggerakkan tubuh ku tapi tetap saja itu adalah hal yang sia-sia. Aku sudah tak kuat lagi menahan napas ku, dadak ku sakit sekali, aku memejamkan mata ku. Namun aku merasakan seperti ada magnet dari bawah ranjang yang menarik ku. Semua itu terjadi begitu cepat hingga aku tak bisa memproses apa yang terjadi. Tau-tau saja aku sudah terbaring di sebuah ranjang dengan tubuh yang kering tanpa air setetes pun. Seolah-olah aku tidak mengalami kejadian tenggelam itu.

Kali ini aku berada di sebuah ruangan yang keadaannya berbanding terbalik dengan ruangan ditempat aku tenggelam. Aku menyadari bahwa ruangan ini adalah kamar ku sewaktu dulu masih tinggal bersama ayah dan ibu. Aku masih mengingat dengan jelas setiap sudut kamar itu. Bahkan aku masih bisa merasakan aroma vanilla kesukaan ku.

Tiba-tiba pintu diketuk dan terlihat seorang wanita masuk namun anehnya aku tak bisa melihat wajah wanita itu. Aku tak mengenali siapa dia. Seolah-olah sesuatu telah menutup wajahnya.

"Siapa kau?" tanya ku pada wanita itu. Aku pun menjadi ketakutan melihatnya, bahkan aku sampai tidak sadar lagi bahwa suara ku telah kembali.

"Apa yang kau maksud nak? Aku ini ibu mu?" ujar wanita itu. Aku tersentak mendengar jawaban wanita itu. Ibu mu. Kata wanita itu.

Apa aku tidak salah dengar. Jika memang itu ibu ku bagaimana mungkin aku tak bisa mengenali wajahnya. Bagaimana mungkin aku tak mengenali dia yang telah membesarkan ku.

"Tapi mengapa aku tidak bisa melihat wajah ibu?" suara ku serak menahan tangis. Sebenarnya apa maksud dari semua ini. Aku sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin kembali. Aku ingin kembali. Aku tidak ingin berada disini. Ini sangat membuatku takut. Rey. Tanpa sadar aku memanggil namanya. Tapi itu usaha yang sia-sia karena Rey tak akan mungkin bisa menemukan ku.

Wanita itu berjalan mendekat pada ku. Dia duduk di tepian ranjang, tangan halusnya yang mulai keriput menyentuh wajah ku.

"Apa maksudmu kau tidak bisa melihat wajah ibu? Padahal ibu sangat jelas melihat mu." wanita itu masih mengelus lembut wajah ku. Aku merasa sangat ketakukan. Seluruh tubuhku bergetar hebat, kurasakan keringat mulai mengucur di kening ku.

Aku diam tak sanggup berbicara, ketakutan ku mengalahkan segalanya. Aku ingin melarikan diri dari tempat ini, tapi badan ku tak bisa bergerak. Aku menahan napas ku saat tangan wanita-yang-menyebut-dirinya-ibuku turun ke leher ku. Namun entah mengapa tiba-tiba saja aku teringat akan wajah ibu ku di foto keluarga yang telah dicabik-cabik itu. Di foto itu wajah ayah dan ibu ku sudah tak bisa dilihat lagi. Bagian wajahnya juga tercabik dengan sangat parah.

Mungkin karena itulah aku tak bisa melihat bagaimana wajah ibu ku. Aku tak bisa memastikan jika wanita yang berada di depan ku ini benar ibu ku. Trauma akan malam itu kembali memenuhi ingatan ku. Sebelum aku sempat teringat lebih jauh akan malam itu, tangan wanita-yang-menyebut-dirinya-ibuku itu sudah mencekik kuat leher ku. Aku berusaha untuk mendorongnya namun tenaga ku kalah jauh darinya.

Aku mencoba berbicara padanya namun sepertinya dia sudah tak mendengar ku.

"I...bu... to..long...lepas..kan... a.. aku" aku berbicara putus-putus karena sudah kehabisan napas namun lagi-lagi sebelum aku benar-benar kehilangan napas ku. Sebuah tarikan magnet dari bawah ranjang menarik ku dengan sangat kuat. Bahkan membuat cengkeraman tangan wanita itu terlepas dari leher ku, dan sebelum sempat kusadari aku sudah berada di depan kamar orang tua ku.

Aku pun memutar kenop pintu dan seperti yang sudah ku lihat dulu. Ayah dan Ibu ku berlumuran darah. Namun kejadian berikutnya membuat ku bergidik takut. Aku melihat ayah dan ibu ku bangun dengan pisau yang masih menempel ditubuh mereka, sekuat tenaga mereka mencoba untuk berdiri, saling berpegangan satu sama lain. Aku ingin berlari tapi kaki ku tak bisa bekerja sama.

Perlahan-lahan mereka berjalan mendekat ke arah ku. Aku menahan napas, mengatupkan rapat-rapat bibir ku dan mengepalkan kuat-kuat kesepuluh jari ku. Harusnya otak ku bisa membantu ku untuk memberikan perintah agar aku bisa lari. Namun ternyata otak ku sama lumpuhnya dengan kaki ku.

Ayah dan ibu ku terseok-seok berjalan mendekati ku. Aku sempat merasa takjub melihat mereka yang masih bisa berjalan dengan banyak tusukan pada tubuhnya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi mereka sampai ditempat ku berdiri.

Aku benar-benar ketakutan saat mereka berdiri tepat di depan ku namun sebelum aku sempat bertindak, leher ku sudah dicengkeram dengan kuat oleh tangan ayah dan ibu ku. Mereka bahkan menyeringai di depan ku membuat ku menjadi semakin ketakukan.

"A..yah...i...bu...apa...ya...ng..ka..lian..la.laku.kan." aku berbicara putus-putus dan hal itu adalah hal terakhir yang kukatakan pada mereka sebelum aku kehilangan kesadaran ku.

Aku tersentak. Ternyata itu semua hanyalah mimpi buruk. Namun mengapa aku belum bangun juga di dunia ini, mengapa aku masih tertidur. Mata ku tak mau terbuka. Apa sebenarnya ini. Aku masih hidup atau aku sudah mati. Mengapa, mengapa aku tak bisa membuka mata ku.

Padahal aku bisa mendengar sekitar ku. Tapi aku seperti tak mau bangun dan membuka mata. Mengapa ini harus terjadi. Aku sudah berjanji pada Lola, aku akan kembali untuknya, untuk ibu Lola dan bahkan untuk Rey.

Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang seperti ingin berteriak. Apa itu suara Rey. Apa Rey ada disini. Apa Rey mengkhawatirkan aku. Sebelum aku sempat mendengarnya lebih jelas, aku sudah kehilangan kesadaran ku lagi.

****

"Alex, ini sudah tiga hari berlalu, mengapa Kazura belum sadar juga." Rey mengerang frustasi. Tak tau lagi harus bagaimana menghadapi situasi ini. Memang operasi transplantasinya berjalan dengan lancar, namun dari saat setelah operasi sampai detik ini Rara belum juga sadar. Dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Rey berteriak dalam hatinya.

"Rey, aku tau kau sekarang sedang panik. Tapi aku mohon kau mengertilah. Apa kau tau bahwa Rara memiliki Post Traumatic Stress Disorder yang disebabkan oleh kematian kedua orangtuanya. Mungkin trauma itulah yang membuatnya belum sadar juga. Rey mungkin saat ini Rara di dalam pikirannya tengah melawan traumanya. Kau harus sabar menunggu Rey. Aku yakin dia akan bangun jika sudah saatnya." Alex menepuk-nepuk pundak Rey untuk menguatkan pria itu. Lalu berjalan pergi meninggalkan Rey.

Rey tertunduk lesu seraya memegangi kepalanya yang seperti ingin meledak. Apa tadi kata Alex. Post Traumatic Stress Disorder. Rara memilikinya yang disebabkan karena kematian kedua orang tua nya. Apa yang terjadi padanya. Memang saat Rey melihat Rara terduduk lemas di teras rumah malam itu dengan perasaan ketakutan yang sangat jelas di wajahnya. Rey sama sekali tak terpikirkan tentang Rara yang memiliki PTSD.

Pasti Rara telah mengalami banyak masa sulit. Untuk menyembuhkan PTSD tidaklah sebentar, dibutuhkan waktu yang lama agar bisa sembuh dan itu juga harus didukung oleh orang yang menderita PTSD tersebut. Jika penderita tidak ingin menyembuhkan PTSD-nya maka mustahil itu bisa sembuh.

Rey menjadi semakin penasaran. Karena di dokumen yang diberikan Raditya tidak tertulis bahwa Rara memiliki PTSD. Rey akan memastikannya dengan menanyakannya pada Lola.

Entah mengapa hatinya tak tenang, Rey juga tak mengerti. Rey sejujurnya tak ingin Rara jatuh cinta padanya. Segala sesuatu yang berada di dekatnya akan pergi menjauh. Dan itulah yang Rey juga takutkan. Jika Rara terus menerus berada di dekatnya, Rey jutsru takut wanita itu akan pergi meninggalkannya.

Dan untuk yang kesekian kalinya, Rey tak ingin hal itu terjadi lagi. Cukup sudah baginya ditinggalkan oleh ayah, ibu dan adiknya serta teman masa kecil yang sangat dicintainya. Kini Ia tak ingin kehilangan Rara juga. Hanya satu cara yang bisa Rey lakukan. Rey harus mencegah dirinya jatuh cinta pada Rara.