webnovel

Selembar Surat Kontrak

Rara sangat putus asa mengenai masalah keuangannya. Demi kelangsungan hidupnya, Rara bersedia menjual Ginjalnya kepada Seorang Kakek yang kaya raya. Namun, bagaimana jika kakek tersebut meminta Rara untuk menikahi cucunya? Rey yang putus asa mencarikan donor ginjal untuk kakek mendapatkan sebuah harapan dari seorang wanita yang mau memberikan ginjalnya. Namun kakek meminta Rey untuk menikahi wanita itu sebagai permintaan terakhir dari kakek. Rey dan Rara pun setuju untuk menikah namun Rey sudah menggaris bawahi pernikahan ini. Bahwa pernikahan ini hanya Sebuah Kontrak. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta. Namun jauh dalam hati, Rey sudah memiliki cinta untuk Rara.

An_Autumn · Urbain
Pas assez d’évaluations
311 Chs

Aku Ingin

Alex tak tau kemana Rey membawanya untuk berbicara. Nampak jelas di wajah Rey raut kemarahan akan perlakuannya pada Rara. Padahal Alex hanya bermain-main saja, tak menyangka justru beginilah reaksi Rey. Lain kali, Alex tidak akan berani lagi berbuat seperti itu.

"Kita bicara disini saja, Alex." Rey tiba-tiba berhenti berjalan. Barulah Alex sadari jika Rey membawanya ke atap rumah sakit. Biasanya para pegawai rumah sakit akan pergi ke atap jika mereka ingin menghisap rokok. Begitu juga dengan Alex. Ketika pekerjaan membuatnya stress, Alex akan datang ke atap dan menghisap rokoknya. Namun tidak jarang juga, mereka datang hanya untuk melepas penat dan menghirup udara segar.

Mereka lalu memilih duduk di bangku yang tersedia disana. Tempat ini sangat dijaga dan dirawat dengan baik. Itu adalah salah satu alasan mengapa Alex sering mendatangi tempat ini.

"Berikan aku rokok mu. Kau membawanya bukan? Alex terkejut mendengar penuturan Rey. Rey tidak akan mengisap rokok jika tidak benar-benar mengalami stress yang berat.

"Apa kau sedang stress? Sangat jarang bukan kau merokok?" Alex mengeluarkan rokok dari saku celananya. Memberikan satu batang rokok pada Rey beserta pemantiknya.

"Tidak usah banyak bertanya" Lagi-lagi Alex hanya mendapatkan jawaban ketus dari bibir Rey.

"Jadi apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan?" Alex mengisap rokoknya dan menghembuskannnya perlahan. Rey pun juga begitu.

"Aku hanya ingin kau tidak terlalu dekat pada Rara." Alex menaikkan sebelah alisnya, merasa heran.

"Apa yang salah dengan kedekatan ku padanya? Hubungan kami juga sebatas dokter dan pasien." Alex menjawab singkat, tak mengerti mengapa Rey bertanya hal itu. Alex yakin bahwa Rey mengetahui jelas hubungan antara dirinya dengan Rara.

Rey diam, tak menjawab Alex. Alex kemudian melanjutkan perkataannya

"Kau tak perlu khawatir Rey. Aku tidak menyimpan rasa apapun pada Rara." penuturan Alex membuat Rey seketika membeku.

"Apa maksudmu?" Rey menghisap habis rokoknya dan melempar puntung rokok itu ke sembarang arah.

"Sudahlah, jangan berdalih. Kau yang tidak sadar atau kau yang menolak sadar akan perasaan mu. Kau yang lebih tau apa jawabannya Rey. Namun kurasa kau menolak menyadarinya." Alex kemudian berdiri dari duduknya, membuang puntung rokok itu di tempat sampah dan berjalan pergi. Namun Alex tiba-tiba membalikkan tubuhnya seraya berkata

"Kakek masih harus melakukan cuci darah karena ginjal barunya yang belum berfungsi dengan normal. Walaupun kita sudah melakukan terapi Imunosupresan, tapi tetap saja ada kemungkinan penolakan ginjal itu terjadi. Tentu semua itu dilakukan bersamaan dengan menjaga pola hidup dan yang terpenting tekanan darahnya. Jangan membuatnya menjadi stress Rey. Jika kakek memiliki keinginan yang kakek sangat ingin kau memenuhinya lebih baik kau lakukan saja." Setelah mengatakan itu, Alex segera berlalu dari pandangan Rey.

Rey menghembuskan napas panjang. Apakah dirinya benar-benar harus melakukan hal itu. Semua pikiran itu membuat kepalanya menjadi sakit. Rey memijat-mijat pelipisnya kemudian beranjak pergi menuju kamar rawat Rara.

****

"Syukurlah tak ada hal serius yang terjadi padamu, Rara." Bu Mirna dengan hebohnya datang ke kamar rawat Rara membawa banyak sekali makanan. Begitu juga dengan ibunya Lola.

"Kami tidak akan lama-lama berada disini. Kau harus cukup istirahat agar bisa kembali sehat." Ibu Lola menepuk pelan pundak Rara.

Rara mengangguk sebagai balasannya.

Lalu terdengar ketukan pintu kamar itu. Setelah Rara mempersilahkan si pengetuk pintu masuk, terlihatlah Rey yang tampak sangat menyedihkan. Mukanya sangat kusut, rambutnya acak-acakan. Sepertinya sedang banyak pikiran. Pikir Rara dalam hati.

Rey terkejut melihat Rara yang kedatangan tamu.

"Halo." Rey mengangguk kikuk memberi salam pada Bu Mirna dan Ibunya Lola.

Bu Mirna mencolek lengan Rara dan memberi isyarat "siapa dia". Rara yang mendapat isyarat itu segera mengerti apa yang harus dilakukannya.

"Rey, ini Bu Mirna, ibu pemilik rumah kontrakan ku dan Lola. Dan ini ibunya Lola."

"Bu, ini Rey. Teman Rara yang membantu Rara mengurus administrasi selama Rara di rumah sakit." Para ibu itu hanya ber-oh ria dan mengangguk sebagai tanda mengerti.

Entah mengapa, saat Rara menyebutkan kata 'teman' membuat dada Rey semakin sesak.

"Kalau begitu, kami tidak akan mengganggu lagi." Ibu Lola menarik tangan Bu Mirna dan memberi isyarat padanya agar mereka segera menjauh.

"Baiklah, selamat beristirahat Rara." Ujar Bu Mirna. Kemudian para ibu itu juga memberi salam pada Rey dan segera berlalu dari ruangan itu.

"Kau sudah selesai bicara dengan Dokter Alex?" Rara memecah keheningan yang melanda mereka berdua. Rey yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, langsung merebahkan dirinya di atas sofa panjang itu.

"Begitulah." Rey hanya menjawab singkat pertanyaan Rara tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

"Rey, kau bisa meninggalkan ku disini. Pergilah cari udara segar. Kau terlihat sangat kacau." Rara menggeleng-gelengkan kepalanya, Rara sejujurnya tak tega melihat Rey seperti ini.

"Tidak, aku baik-baik saja." Rey kemudian mengeluarkan Laptop dari tas ranselnya.

"Kau akan bekerja?" Rara menatapnya tak percaya, bagaimana mungkin Rey bisa bekerja sementara dirinya terlihat kacau.

"Tentu. Biasanya jika sedang banyak pikiran aku akan bekerja." Rey mengedikkan bahunya dan fokus mengerjakan sesuatu di laptopnya.

"Kalau begitu, silahkan kau lanjutkan." Rara lalu mengambil ponselnya dan mencari-cari dimana earphone miliknya. Hari ini siaran radio favoritnya akan tayang, Rara sudah tak sabar lagi mendengarkannya.

"Apa yang kau cari?" Rey melihat Rara grasak-grusuk mencari sesuatu. Entah benda apa yang sedang dicarinya.

"Earphone, Rey. Aku ingin mendengarkan siaran radio favoritku. Tapi aku sepertinya lupa membawa earphone, karena benda itu tidak ada di tas ransel ku." Rara masih berusaha mengobrak-abrik isi tasnya, namun tetap saja tidak menemukan benda yang dicari itu.

"Pakai saja punya ku." Rey berjalan mendekati Rara dan memberikan earphone miliknya.

"Terima kasih." Rara mengambil earphone itu dan berjalan kembali ke kasurnya. Begitu pun Rey, yang sudah kembali ke bekerja.

Rara langsung memasang earphone itu ke ponselnya dan dengan fokus mendengarkan siaran radio favoritnya. Sajak Sabtu. Siaran radio yang tayang setiap hari sabtu ini, berisi tentang sajak-sajak puisi. Baik itu puisi dari tanah air maupun mancanegara. Rara mulai mendengarkan siaran radio ini, ketika dirinya sedang iseng mencari-cari siaran yang bagus di radio ponselnya. Ketika menemukan siaran radio ini, Rara jadi sangat menyukai dan senantiasa menantikannya. Sejujurnya ada alasan lain mengapa Rara menyukai siaran ini, tak lain karena Rara juga menyukai puisi.

"Siaran radio apa yang sedang kau dengarkan?" Rey bertanya pada Rara, namun pertanyaan Rey itu tidak digubris Rara yang hanyut dalam kesendiriannya. Rey yang sejujurnya tak suka diabaikan pun menjadi kesal, dan untuk mencari perhatian Rara, Rey sudah menyiapkan rencana.

Rara yang sedang asyik mendengarkan radio itu, tersentak mendapat telepon dari Rey. Seketika dirinya melihat Rey yang memberi isyarat "angkat telepon dari ku". Rara pun mengangkat telepon itu sambil menggerutu kesal karena diganggu saat sedang asyik.

"Ada apa?" Rara memulai percakapan.

"Aku tadi bertanya padamu, namun kau tidak mendengarkannya karena kau terlalu hanyut." Rey menjawab namun matanya tidak melihat Rara justru menatap layar laptopnya.

"Benarkah, maafkan aku. Apa yang tadi kau tanyakan?" Rara merasa bersalah pada Rey karena sudah mengabaikannya.

"Siaran radio apa yang sedang kau dengarkan?" Rey mengulangi lagi pertanyaannya.

"Oh, aku sedang mendengarkan siaran radio Sajak Sabtu. Apa kau ingin mendengarkannya juga?" Rara menawarkan untuk mendengarkan siaran itu bersama.

Sajak Sabtu. Sepertinya Rey pernah mendengarnya. Entah dimana dan kapan, namun Rey yakin sudah pernah mendengar tentang siaran itu walaupun saat ini sudah lupa.

"Tentu." Rey memutus panggilan dan meletakkan kembali ponselnya di atas meja di samping laptopnya.

Rara juga melepaskan earphonenya, dan menekan menu loudspeaker pada radio ponselnya. Rara juga mengatur letak earphone nya untuk mendapatkan sinyal agar siarannya terdengar jelas.

Rey sudah ingat. Sajak Sabtu adalah siaran radio yang berisi tentang sajak puisi dari tanah air dan mancanegara. Rey tak menyangka Rara menyukai siaran radio itu. Tak dipungkiri, sejujurnya Rey juga menyukainya, namun itu sudah lama sekali sejak Rey terakhir mendengarkan siaran itu.

"Apa kau mengetahui tentang siaran radio ini?" Rara bertanya pada Rey yang diam saja. Walau matanya menatap layar didepannya namun Rey tidak melakukan gerakan apapun.

"Ya, aku juga menyukainya. Namun sudah lama aku tak mendengarkannya." Rey kembali lagi fokus pada pekerjaannya dan dengan tenang mendengarkan siaran radio itu.

"Kau sungguh penuh kejutan, Rey." Sejujurnya Rara tak menyangka jika Rey juga menyukai siaran radio ini. Bagaimana mungkin Rey yang terlihat dingin itu ternyata menyukai puisi.

Rey yang mendengar itupun merasakan telinganya panas. Mengapa Rara bisa mengatakan hal itu secara langsung. Itu membuatnya jadi salah tingkah namun juga senang.

"Aku sudah lama menyukai puisi. Hanya saja aku tidak menunjukkannya." Rey berkata singkat.

"Baiklah, terserah kau saja." Rara mengiyakan saja apa yang Rey katakan. Tapi mengapa Rara merasa begitu banyak persamaan antara dirinya dan Rey.

Kemudian penyiar radio itu membacakan sebuah puisi yang sangat Rara sukai. Puisi yang mengajarkan padanya bahwa kadangkala meski kita mencintai seseorang belum tentu kita bisa memilikinya namun disatu sisi mengajarkannya tentang seberapa sederhana dan tulusnya dalam mencintai.

Puisi karya Sapardi Djoko Damono. Aku ingin.

Penyiar itu mulai membacakan puisi yang sarat makna dengan penuh penghayatan.

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"

Setelah selesai membacakan puisi itu, sebuah lagu diputar. Rara kemudian mematikan radio itu dan menghembuskan napas kasar. Dadanya terasa sesak hingga menghirup oksigen sebanyak apapun sama sekali tak berpengaruh.

"Apa kau menyukai puisi itu?" Rey melihat Rara yang menghela napas, dari situ saja Rey sudah tau bahwa Rara menyukainya, namun Rey tetap saja bertanya.

"Puisi ini membuat dada ku sangat sesak, Rey. Tapi aku juga menyukainya." Rara memegang dadanya yang masih terasa sakit.

"Apa alasan mu menyukainya?" Rey bertanya lagi. Sejujurnya Rey sudah berhenti menyukai puisi yang satu ini. Memang benar seperti yang Rara katakan, entah mengapa puisi ini membuat dadanya terasa sesak dan itulah yang membuat Rey berhenti menyukainya.

"Dari puisi ini, aku tau bahwa walaupun kita mencintai seseorang, belum tentu aku dan dia akan berakhir bersama-sama. Jadi anggap saja, aku mencintainya dengan penuh ketulusan dan kesederhanaan walaupun kami mungkin tidak bisa bersama. Namun puisi ini juga mengajarkan ku bahwa kita bisa mencintai seseorang dengan sederhana dan tanpa syarat dengan pengorbanan yang tiada tara."

Rey terkesan dengan bagaimana Rara menafsirkan puisi ini. Penafsiran Rey terhadap puisi ini sangat berbanding terbalik dengan Rara. Rey berpikir bahwa puisi ini sebatas cinta yang tak pernah diungkapkan dan berakhir dengan penyesalan.

"Apa kau menyukai puisi ini Rey?" Rara bertanya pada Rey. Rara juga ingin mengetahui pandangan Rey terhadap puisi ini. Namun sepertinya Rey tidak terlalu menyukainya.

"Tidak. Aku sudah berhenti menyukai puisi ini karena seperti yang kau katakan membuat dada menjadi sesak." Rara hanya menganggukkan kepalanya.

"Namun jika berbicara tentang karya Sapardi Djoko Damono yang lain aku akan mengatakan bahwa aku menyukai yang berjudul Hanya." Rey tersenyum menatap Rara. Rara tak mengerti arti senyuman itu. Sepertinya ada alasan khusus mengapa Rey menyukai puisi itu.

"Hanya suara burung yang kau dengar

dan tak pernah kau lihat burung itu" Rey berhenti sejenak, dirinya seketika lupa penggalan sajak berikutnya.

"tapi tahu burung itu ada disana

Hanya desir angin yang kau rasa

dan tak pernah kau lihat angin itu

tapi percaya angin itu disekitar mu

Hanya doa ku yang bergetar malam ini

dan tak pernah kau lihat siapa aku

tapi yakin aku ada dalam dirimu"

Rara melanjutkan penggalan sajak yang terhenti itu. Dirinya juga menyukai puisi yang satu ini. Makna yang terkandung di dalam puisi ini sangat dalam.

Rey tersenyum melihat Rara yang melanjutkan penggalan sajak itu. Baik puisi Aku Ingin dan Hanya, kedua puisi ini mengingatkannya akan Zoya. Namun Rey pikir, sekarang puisi itu akan mengingatkannya pada Rara.

Puisi yang berjudul Aku Ingin merupakan Ciptaan Sapardi Djoko Damono yang pada tahun 1989 dinyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo dalam bentuk musikalisasi puisi dan juga menjadi Original Soundtrack pada Film Cinta Sepotong Roti yang dinyanyikan oleh Ratna Oktaviani.

Sedangkan untuk puisi yang berjudul Hanya dapat ditemukan bersama 74 sajak lainnya dalam buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Melipat Jarak.

Lalu, Apa kalian juga menyukai puisi tersebut?

Salam Hangat

An_Autumncreators' thoughts