Dengan langkah panjang Viona berjalan menuju ruang meeting. Ketukan heels-nya terdengar mantap dan penuh percaya diri.
Begitu ia sampai dua orang bodyguard berjas hitam menunduk kepadanya lalu membukakan pintu ruangan. Viona memasuki ruangan menuju seorang pria tua yang duduk dikursi roda seberang meja meeting. Viona berdiri tegak selayaknya berdiri dihadapan atasannya.
Rambut dikepala pria tua itu sudah memutih semua. Walaupun dia duduk dikursi roda tetapi aura dominasi yang ada pada dirinya sangat kuat hingga membuat siapapun yang berada disekitarnya gemetar.
Krashhhh....
Tiba-tiba pria tua itu melemparkan berkas ke arah Viona hingga kertas-kertas yang berada didalamnya terbang berhamburan. Viona tak bergeming hanya memejamkan mata sebentar demi menghindari kertas-kertas yang mengarah kepadanya.
"Aku tidak pernah melihat laporan yang sekacau ini!!!!" ah...suara ini.
"Ini pertama kalinya aku dipermalukan di depan para saingan Bisnisku. Annual Anniversary Museum adalah acara inti diperusahaan ini. Bagaimana kamu bisa sangat ceroboh? Pergantian pembicara utama disaat-saat terakhir. Jika tidak karena tantemu sangat terampil berbicara dengan para mitra kerja bagaimana kita bisa tetap mengangkat kepala dihadapan mereka?"
Viona menunduk, "Ini kesalahan saya, Presdir karena tidak berhati-hati dalam mengambil keputusan. Saya memohon maaf, tolong beri saya kesempatan sekali lagi,"
"
Pria itu menatap Viona,
"Bagaimana kamu akan memperbaiki rasa malu yang terlanjur aku rasakan? Ini pertama kalinya aku melihat seseorang sebodoh dirimu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada museum ini jika aku mempercayakannya kepadamu..."
"Tolong jangan patah semangat terlebih dahulu, Presdir. Aku berjanji akan memprioritaskan museum ini lebih dari apapun, aku tidak akan membiarkan Anda merasa malu seperti ini lagi."
Pria tua itu terdiam beberapa saat.
"Baiklah, ini kesempatan terakhir yang kuberikan untukmu."
"Terimakasih, Presdir!" wajah Viona merekah karena bahagia.
"Kau boleh pergi,"
"Baik, Presdir." Ia menatap pria tua itu dengan sedikit keraguan, "Jaga kesehatan anda!" katanya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
Pria itu menyuruh pria berjas disampingnya mendorong kursi roda ke sudut ruangan. Memandang foto seorang pria gagah yang terpajang disana.
"Kau melihatnya sendiri, anak bodoh itu! Bagaimana dia bisa sangat keras kepala seperti dirimu? Kau membesarkannya tanpa masalah bukan? Sekarang katakan padaku... bagaimana caraku melindunginya tanpa menyakiti hatinya?"
Cucuku yang malang...Pria tua itu menatap sendu pada foto putranya yang telah lama pergi meninggalkannya. Pahlawan kecilnya, kebanggaannya
"Aku sudah sangat ingin bersamamu hu hu hu hu..." Pria tua itu menangis, "Tapi bagaimana aku meninggalkan gadis kecil itu bertarung sendirian saat aku melihatmu berada dimatanya? Adik-adikmu akan menghancurkannya setelah kepergianku...Anak itu tidak tahu bagaimana dunia ini bekerja, dia hanya bisa keras kepala..."
Pria itu mengusap airmata dipipinya setelah cukup lama mengeluh kepada putranya. Ia melirik pria berjas dibelakangnya. "Abhie, kau tahu apa yang harus kau lakukan?"
"Saya mengerti tuan, berita anda datang sendiri kemari untuk menegur manager museum akan segera tersebar diantara pegawai dan para pemegang saham."
Pria itu mengangguk.
"Dan pengacara berandalan itu?"
"Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini, saya rasa dia benar-benar tulus terhadap cucu anda."
"Terlalu dini untuk mengatakan itu, Abhie. Terus awasi apa yang anak itu lakukan. Jangan sampai dia menyakiti cucuku."
"Baik, tuan!"
Abhie mendorong pria tua itu keluar dari museum dan membantunya memasuki mobil. Mesin mobil mulai menyala.
"Kau tahu anak nakal itu memintaku menjaga kesehatanku hahaha..."
"Iya, tuan!"
"Dia mengatakan itu tapi selalu terlambat mengirimkan ramuan herbal dirumah. Anak nakal itu hahaha,"
"Iya, tuan..."
Mobil melaju cepat meninggalkan lokasi itu. Pria tua mengeluarkan ponselnya.
"Aku harus menyuruh mamanya mengingatkannya untuk mengirimkan ramuan herbal atau dia akan lupa lagi. Mana nomor ibunya..."
Awan berarak dan langit biru cerah menaungi kota dibawahnya. Terik mentari mengabarkan bahwa siang segera datang. Rutinitas kembali seperti biasa. Bus-bus besar dari berbagai kota berdatangan untuk berkunjung di museum besar itu. dan Viona bersama Sekar, asistennya berkeliling untuk melakukan tinjauan atau sekedar pemeriksaan rutin. Bersiap untuk program kerja selanjutnya.
Hingga langit berubah kemerahan. Hingga burung-burung yang tampak kehitaman beterbangan pulang menembus cakrawala.
***