Semenjak malam itu, Olivia tidak lagi ragu untuk memberikan segala informasi terkait masalahnya padaku, aku senang karena itu sangat membantu organisasiku dalam menyelidiki kasus tersebut. Kami membicarakan hal itu dari jam 10 malam sampai jam 2 dini hari, aku bahkan bisa melanjutkannya sampai pagi terang jika mami tidak menggedor-gedor pintu kamar menyuruh kami untuk segera tidur.
Aku tertidur di sofa ruang televisi, sementara Olivia terlelap di kasur kamarku.
Ketika cahaya matahari muncul, dengan rasa kantuk yang masih berat, aku memaksakan diri untuk bangun dan segera bersiap-siap untuk pergi sekolah. Kulihat, kamarku masih terkunci, sepertinya Olivia belum bangun. Aku mengabaikannya dan langsung berangkat setelah sarapan.
Di kelas, aku memutuskan untuk melanjutkan tidurku. Namun, baru saja kesadaranku hendak melayang ke alam mimpi, kupingku mendengar suara langkah kaki seseorang yang mendekati mejaku. Saat aku sedikit membuka kelopak mata untuk memastikan, aku kaget saat sosok tersebut ternyata Violetta Beganville, gadis lugu nan pemalu berambut ungu panjang, yang juga merupakan salah satu anggota dari organisasi rahasiaku.
Aku tidak menyangka hari ini dia berani mendekatiku secara langsung di kelas.
"Ada apa, Beganville?" tanyaku tanpa basa-basi, sambil menahan rasa kantukku yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Dengan suara yang sangat pelan, Violetta Beganville terlihat sedang berbicara, mulutnya bergerak tapi aku sama sekali tidak bisa mendengarnya karena suasana kelas yang cukup ramai.
"Bisakah kau keraskan sedikit suaramu? Aku tidak bisa mendengarnya."
Menyadari hal itu, gadis itu terdiam sambil menundukkan kepalanya, membuat untaian-untaian rambut ungunya berjatuhan dari pundak. Namun, dia kembali menegakkan kepala dan melangkahkan kakinya, semakin mendekatiku. Aku agak menjauh saat mukanya berada tepat di depan wajahku.
"Apa yang kau lakukan? Kau tidak perlu sedekat ini."
Violetta Beganville menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu dia memaksakan diri untuk terus mendekatkan wajahnya padaku, sampai akhirnya dia berada sangat-sangat-sangat dekat, bahkan sekarang aku bisa menghirup aroma parfum dari badannya dan wangi sampo dari rambutnya.
Dia segera mendekatkan mulutnya pada telingaku dan membisikkan sesuatu di sana. "Aku melihatmu kemarin dengan Olivia, keluar dari sekolah di sore hari, apakah ada sesuatu yang terjadi? Kenapa dia belum datang hari ini? Apakah dia baik-baik saja? Aku khawatir sesuatu yang—"
"Baik! Baik! Aku mengerti!" Aku langsung menjauhkan telingaku dari mulut Violetta Beganville, saat semua orang di kelas mulai memusatkan perhatiannya pada kami, mereka sepertinya menganggap aku dan gadis berambut ungu ini sedang melakukan hal mesum di sini. "Aku akan menjelaskannya nanti di grup, jadi tunggu saja dan kau bisa kembali ke kursimu, Beganville."
Senang mendengar responku, Violetta Beganville tersenyum simpul dan menganggukkan kepalanya, lalu dia membalikkan badan untuk kembali pulang ke tempat duduknya. Setelah dia sudah benar-benar duduk di kursinya, aku menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Aku tidak tahu kalau ternyata, dibalik keheningannya, Violetta Beganville sangat agresif dan cerewet.
Jika gadis itu punya suara yang sedikit lebih keras, mungkin dia akan jadi orang yang berisik dan menyebalkan. Sejujurnya aku masih kaget dengan kenyataan yang baru saja kulihat dari sisi lain Violetta Beganville, tapi aku segera melupakan hal sepele itu dan segera mengaktifkan ponselku untuk memberikan segala informasi yang kudapat dari Olivia pada seluruh anggota organisasiku di grup sosial media.
Aku juga mengirim beberapa informasi lain, seperti beberapa gambar berisi pesan-pesan ancaman via anonim, dan pesan-pesan pribadi dari Bobby, mantan pacar Olivia, agar Angela Ribella, si gadis hacker berambut pirang, bisa beraksi untuk menyelidiki lebih lanjut terkait siapa sebenarnya lelaki yang pernah berhubungan dengan ketua kelasku dan apakah itu ada kaitannya dengan pesan-pesan teror tersebut.
"Sekarang aku bisa istirahat dengan tenang." ucapku dengan menguap lebar lalu kembali melanjutkan tidurku yang sempat tertunda.
Hari ini aku tidak begitu fokus memperhatikan pelajaran karena rasa kantuk yang luar biasa, tapi saat waktu makan siang datang, aku tidak lagi mengantuk karena aku telah menerima beberapa pesan dari Angela Ribella di grup bahwa dia menemukan sesuatu yang penting. Saat aku dan anggotaku yang lain bertanya hal penting apa, Angela Ribella mengungkapkan di grup bahwa pelaku yang selama ini meneror Olivia, ternyata memang Bobby, mantan pacar dari ketua kelasku sendiri.
Tentu saja dia tidak sekedar memberitahu saja, Angela Ribella juga memberikan sejumlah bukti seperti gambar lokasi yang menemukan bahwa pesan-pesan ancaman itu berasal dari lokasi yang sama dengan beberapa pesan yang dikirim oleh Bobby. Ia juga menunjukkan riwayat hidup dari Bobby, dari kartu identitasnya, kartu keluarganya, hingga ke hal-hal penting lainnya.
Bisa disimpulkan bahwa mantan pacar Olivia berusia 21 tahun dengan nama lengkap Bobby Finn, tinggal sendirian di sebuah apartemen lantai 3 di tepi pantai selatan San Fransisco. Bobby diketahui pernah bekerja di toko kue 3 tahun yang lalu, tapi sekarang dia tidak jelas bekerja sebagai apa.
Anggota-anggotaku banyak yang tercengang saat menerima informasi itu, tapi aku tidak begitu kaget karena aku sudah menduganya sejak awal, tepatnya saat Olivia mulai bercerita soal mantan pacarnya yang beracun itu. Tapi serius, aku sangat kagum pada cepatnya Angela Ribella mendapatkan bukti-bukti tersebut, padahal kami masih berada di jam sekolah.
Saat aku sedang serius membaca pesan-pesan dari grup, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku tersentak saat mengetahui Olivia-lah yang melakukannya, dia kini sedang berdiri di belakang kursiku dan memasang wajah cemberut.
"Apa?" tanyaku dengan kesal, dia mengganggu waktu seriusku.
"Beraninya kau, Crowder," ucap Olivia dengan memicingkan matanya padaku. "Kau meninggalkanku tadi pagi, aku jadi berangkat siang dan dihukum oleh OSIS, padahal aku sendiri anggota OSIS! Ah, itu memalukan!"
"Kau bukan tanggung jawabku, belajarlah mandiri di rumah orang lain." Tegasku tanpa basa-basi.
"Kau kejam sekali, ya." Olivia sedikit tertawa mendengarnya. "Tapi sekali lagi, terima kasih banyak, Crowder. Karena telah memperbolehkanku menginap di rumahmu. Kau adalah pahlawanku." Saat mengatakan itu, Olivia mencubit bagian belakang leherku dan berlalu begitu saja dari mejaku tanpa permisi. Dasar pengganggu.
Baru saja perhatianku teralihkan sebentar, mataku terbelalak saat membaca pesan-pesan baru yang dikirim oleh Angela Ribella di grup. Gadis itu menjelaskan bahwa laptopnya, yang merupakan alat yang dia gunakan barusan untuk meretas identitas asli dari Bobby, layarnya jadi merah total, ia juga mengirim bukti foto layar laptopnya. Aku tidak mengerti mengapa bisa begitu. Angela menduga kalau laptopnya telah terkena virus kiriman dari seseorang, dan dia bilang dirinya sedang berusaha mencari cara untuk memulihkannya lewat alat-alat lain.
Aku berseru di grup, melarang Angela untuk tidak bertindak lebih jauh karena itu bisa berakibat fatal, tapi sayangnya dia sudah tidak membalas lagi, yang ada hanyalah respon dari beberapa anggotaku yang lain, sekarang kami semua khawatir pada keadaan si gadis pirang itu.
Eleanor Romanes, si gadis berambut merah, yang sekelas dengan Angela Ribella, menerangkan bahwa saat ini si gadis hacker sedang pergi keluar kelas, berniat meminta bantuan pada orang-orang yang juga ahli teknologi di sekolah. Saat ditanya kira-kira Angela pergi kemana, Eleanor menjawab bahwa dia tidak tahu.
Apa yang terjadi pada Angela Ribella, salah satu anggota organisasiku, membuat kami semua panik. Aku tidak begitu pandai soal teknologi, tapi aku tahu persis resiko yang terjadi jika komputer, laptop, atau ponsel kita terkena virus, itu bisa menyebabkan sesuatu yang mengerikan. Terutama jika virus itu berasal dari kiriman orang lain.
Violetta Beganville memandangiku dari tempat duduknya, dan aku berusaha mengabaikan tatapan matanya. Pandanganku saat ini sedang kualihkan ke aktivitas teman-temanku yang ada di kelas, mereka sedang mengobrol dan tertawa. Aku melakukan itu agar pikiranku tetap tenang.
Namun, ternyata itu salah. Ketika perhatianku terfokus pada orang-orang di kelas, aku mengabaikan sesuatu yang sedang terjadi pada ponselku. Saat pandanganku dikembalikan ke layar ponsel, mataku membelalak karena semuanya jadi merah total.
Itu persis seperti apa yang terjadi pada laptopnya Angela Ribella.
Dari posisi duduknya, Violetta Beganville tiba-tiba melemparkan ponselnya ke meja dan menjerit, membuat seisi kelas kaget, sementara napasku jadi terengah-engah sebab aku yakin gadis itu juga mengalami hal yang sama denganku.
Tidak, mungkin bukan cuma kami berdua. Semua anggota organisasiku pasti juga mengalami hal yang sama sekarang.
Pada akhirnya, bukan hanya Angela Ribella saja yang kena, tapi satu grup diserang.