webnovel

Kepergok

     Rere, Cleo, Daneo dan Satria baru saja pulang setelah menyelesaikan mata pelajaran terakhirnya di hari ini. Entah bagaimana tapi mereka bisa pulang secara bersamaan meskipun berbeda kelas dan mata pelajaran. Karena kadang Rere adalah orang yang selalu selesai terakhir setiap harinya. 

   "Gue denger katanya Jessi udah balik yah ke rumahnya?" Daneo bertanya untuk memulai percakapan di antara mereka. 

   Saat ini keempatnya sedang ada di sebuah cafe sederhana yang menjadi tempat favorit mereka untuk berkumpul. 

   "Iya, kemarin dia balik. Kenapa emangnya?" balas Rere sambil menyantap kentang goreng pesanannya. 

   "Jengukin yuk! Kemarin-kemarin kan kita mau jengukin gak pernah boleh sama pihak rumah sakit karena terlalu banyak, kalo di rumah kan gak akan ada yang larang!" ajak Daneo antusias. Menatap satu persatu sahabatnya meminta pendapat. 

   Rere dan Cleo langsung saling tatap mengerti. Bukannya mereka tidak mau untuk menjenguk Jessica, akan tetapi Jessi tidak pernah suka jika ada yang datang ke rumahnya tanpa izinnya terkecuali Fauzan. 

   Daneo celingukan memperhatikan mereka satu persatu karena tidak mendapat respon apa pun. Satria diam itu adalah hal yang biasa, tapi jika Rere dan Cleo yang diam itu berarti terjadi sesuatu. 

   "Kok pada diem? Lo gimana, Sat?" tanyanya meminta persetujuan dari Satria yang hanya menjadi patung daritadi. 

   "Gue ayo aja. Gak ada masalah apa pun," jawabnya kemudian menyerudup kopi coklat panas kesukaannya. 

   "Oke. Satria udah setuju, terus kalian gimana? Gak akan nolak, kan? Jessi sahabat kalian loh," katanya sedikit memberikan sindiran. Memojokkan mereka agar dirinya tidak menerima penolakan. 

    "Euhm… Bukannya gak mau, tapi gak ada satu pun dari kita yang pernah ke rumahnya Jessi. Emangnya ada yang tahu?" Cleo hati-hati bicara. Mencoba mencari celah untuk kekasihnya itu menyerah. 

   "Gampang lah. Gue tahu kok," jawabnya enteng. 

   "Kita kabarin Jessi dulu kali yah!" Rere dengan cepat meraih ponselnya di atas meja untuk menghubungi Jessi memberitahu jika yang lain ingin menjenguknya. 

   Namun, tangan Daneo menghentikan pergerakannya. Daneo mengambil ponsel Rere dari pemiliknya. 

   "Jangan dikasih tahu, biar surprise!" 

   Rere dan Cleo kembali berpandangan. Mencari alasan agar Daneo mau menyerah dan tidak terus memaksa untuk datang ke rumah Jessica. 

    Tapi otak mereka sama-sama buntu tak bisa berpikir. Dan akhirnya, Rere memilih untuk jujur dan tidak menyembunyikan apa pun. 

    "Oke jujur yah. Jessi gak suka kalo kita ke rumahnya apalagi gak ada bilang apa pun sama dia. Dia bisa marah lebih dari yang kalian bayangkan," kata Rere akhirnya. Malas mencari alasan, mengapa tidak langsung mengatakan saja hal yang sebenarnya. 

   Daneo dan Satria melongo. "Kenapa? Kita kan cuma mau jenguk dia. Gue gak suka ngeberantakin rumah orang kok," sahut Daneo cepat. Takut malah karena dirinya lah alasan utamanya. 

    "Bukan masalah itu. Kita aja gak tahu apa alasannya tapi kita gak mau buat dia marah lagi karena hal itu," jawab Cleo mencoba memberi paham. Membantu Rere untuk menjelaskan. 

    Rere yang duduk menghadap ke pintu cafe pun menyipitkan matanya karena melihat sesuatu yang mengganggu. Ia menulikan sebentar telinganya untuk mempertajam penglihatannya. Usahanya tidak perlu terlalu besar karena orang yang mengganggu penglihatan Rere masuk sendiri ke dalam cafe memperpendek jarak di antara mereka. Ia mengabaikan perdebatan tentang jenguk menjenguk Jessica. Fokusnya teralih oleh seseorang yang mengganggunya. 

    Bibir Rere tersungging karena penglihatannya tidak salah. Matanya menyipit tajam. Bukan salah dirinya jika tidak mudah memaafkan orang-orang ini. 

   "Sahabat lo pada keren banget yah? Suhu yang sesungguhnya," kata Rere tiba-tiba tanpa memutuskan kontak matanya. Menatap Daneo dan Satria dengan tajam. Memang bukan mereka berdua yang salah, tapi rasanya Rere jadi kesal pada mereka. 

   Cleo, Daneo dan Satria dibuat bingung atas pernyataan Rere barusan yang terdengar sarkas di telinga mereka. Terlebih tatapan Rere yang tidak bersahabat. 

   "Maksud lo apa, Re?" tanya Satria yang duduk di hadapannya. Ia jelas saja tersinggung dengan tatapan Rere yang seakan-akan menyalahkan dirinya. Kan ia tidak tahu apa pun. 

   "Enggak. Keren aja gitu, gue juga mau belajar deh sama dia," jawabnya lagi sambil kembali menatap ke arah mereka. 

   Sampai ketika semuanya mengalihkan pandangan mereka mengikuti arah mata Rere tertuju. Semuanya diam tak percaya. 

   "Itu Fauzan?" 

   "Itu Evelyn?" 

   Saat Cleo menyebut nama wanita itu, pandangan Rere menatap lurus pada Satria ingin melihat bagaimana reaksi pria itu. 

   "Mereka ngapain?" tanya Daneo lagi yang entah pada siapa. 

    "Ya ngapain lagi? Lo gak liat tangannya? Mesra banget, romantis banget, udah kayak pasangan beneran aja," sarkas Rere kembali menatap objek seru di depannya yang hanya terhalang empat sampai lima meja dari mereka. 

   Dengan inisiatif Rere meraih ponselnya yang ada di hadapan Daneo dan langsung mengarahkan kamera pada mereka berdua. 

   "Lo mau ngapain?" Satria yang masih terkejut lantas mencegah apa yang ingin Rere lakukan. 

   "Mau kasih bukti buat Jessi biar ada alasan lepas dari tuh cowok," jawabnya sambil mengambil beberapa gambar. 

    "Jangan, Re. Lo bisa ngancurin hubungan mereka berdua." Satria yang malah merasa panik atas kelakuan dua makhluk itu. Entah apa yang membuatnya panik, bukan maksud Satria juga untuk melindungi mereka. Itu semua hanya gerak refleksnya saja. 

   Rere terkekeh mendengarnya. Ia menghentikan kegiatannya untuk membalas tatapan Satria. "Gue ngancurin hubungan mereka? Tuh laki sendiri yang ngancurin hubungannya. Gue cuma mau nyelamatin sahabat gue yang gak bisa lepas dari tuh cowok aja kok." 

  Daneo dan Cleo hanya menjadi penonton atas perdebatan di depan matanya langsung itu. Mereka tidak tahu harus berbuat seperti apa. Memisahkan atau membiarkan saja. Membela siapa? Mereka tidak tahu. Masih terkejut akibat melihat aksi salah satu sahabatnya hingga Satria dan Rere bertengkar pun mereka tidak mau peduli. 

    Rere berdiri dari duduknya membuat ketiga yang lainnya terus memperhatikan dirinya. 

   "Samperin yuk! Siapa tahu mereka butuh temen." ajak Rere yang seakan tidak ada beban. Ia ingin melihat bagaimana reaksi kedua orang itu jika dipergoki seperti sekarang ini. 

    "Gak usah deh Re kayaknya. Kita juga kan gak tahu apa yang lagi mereka berdua obrolin," jawab Cleo menolak Rere. Entah kenapa tapi Cleo tidak mau melakukannya. Ia tidak tega membayangkan bagaimana perasaan Jessi jika mengetahui hal ini, pasti sakit sekali. Cleo tidak sanggup untuk mengetahui kebenarannya. 

    "Apa pun yang lagi mereka obrolin, gue rasa gak perlu ada kontak fisik apalagi mereka itu cuma mantan. Lo gak liat kan mereka pelukan? Lo pada gak liat kan tadi mereka cipika-cipiki? Tapi lo semua liat kan tangan mereka gak lepas gandengan? Apa masih bisa disebut wajar secara mereka cuma mantan?" cecar Rere sangat santai namun mengalahkan mereka secara telak. Menata setiap katanya agar keluar secara sempurna untuk mengalahkan lawannya, itulah Rere. 

    Wajahnya sudah tidak semerah tadi saat bicara pada Satria. Ia menatap Cleo dan Daneo secara bergantian. 

    "Cle, kalo misalkan Daneo ketemu sama mantannya dan ngelakuin hal yang gue sebutin barusan lo bisa terima?" tanyanya menatap Cleo, yang membuat Cleo langsung menatap Daneo secara tajam. Langsung membayangkan jika apa yang Rere katakan sungguhan terjadi. 

   "Daneo, kalo misalkan Cleo ketemu sama mantannya dan ngelakuin apa yang gue sebut barusan apa lo masih bisa santai?" Daneo langsung balas menatap Cleo juga secara tajam membayangkan hal itu terjadi pada mereka. 

   Rere kembali tersenyum miring mendapatkan kemenangan atas dirinya. 

   "Satu hal lagi yang harus lo pada inget, Jessi baru aja dirawat karena melakukan percobaan bunuh diri. Sehat lo pada ngebiarin cowoknya berbuat begitu di belakang dia? Kayaknya lo beneran mengharapkan acara tahlilan atas nama Jessica yah!" 

   ***

   "Aku udah gak masalah kok kalo emang kamu masih simpan perasaan sama aku, aku juga mau terima kamu meskipun harus jadi yang kedua," jawab Evelyn atas pertanyaan dan pernyataan Fauzan tentang perasaannya. 

    Fauzan bersorak senang meskipun dengan suara yang pelan takut mengganggu orang lain. Disaat seperti ini Fauzan yang lembut, perhatian dan penyayang juga posesif pada Jessi seakan menghilang begitu saja. Hanya nafsu semata atas wajah rupawan yang sudah Lyn rawat selama ini. Lebih cantik dari Evelyn yang dulu biasa saja. 

    Di saat seperti ini, tidak ada perasaan siapa pun yang mereka pikirkan. Hanya perasaan keduanya yang melambung tinggi hingga membuncah. Rasa rindu yang Lyn rasakan membuat dirinya menjadi wanita paling egois, membuat dirinya tidak peduli pada perasaan siapa pun. 

   "Aku akan berusaha membagi waktu aku untuk kamu kok. Kamu tenang aja," kata Fauzan menggenggam erat kedua tangan Lyn. Jiwa Argantara sepertinya sedang merasuk ke dalam jiwa Fauzan. Meskipun Fauzan selalu mengatakan membenci sifat ayahnya yang satu itu, tapi nyatanya sifat itu yang menurun kepadanya. 

   "Hai!" 

   Keduanya tiba-tiba saja terlonjak kaget karena mendengar sapaan yang sangat familiar di telinga keduanya. Mata mereka semakin membola saay melihat siapa yang ada di depan mereka sekarang ini. Genggamannya juga langsung terlepas dengan Fauzan yang sontak saja berdiri.