Sebelum matahari terbit dan ayam berkokok. Liora terbangun memilih berkutat di dapur yang sudah penuh itu. Tangannya cekatan mengolah berbagai bahan-bahan di atas meja. Satu masakan berkuah kesukaan suaminya juga sudah hampir matang. Sop wortel bakso sapi yang sudah susah payah ia masak.
"Astaga, Nyonya Liora."
Si empu menoleh lalu tersenyum mendapati Grizel berlari menghampiri dengan raut terkejut.
"Grizel, jangan panggil aku seperti itu." Sembari mengaduk lagi sop dalam panci.
Grizel tersenyum malu. "Baiklah."
Merasa sudah sangat dekat dengan Grizel, Liora tidak malu untuk bercerita banyak hal. Meskipun pertemuan mereka baru beberapa kali, tapi Liora merasa nyaman jika bercerita dengan Grizel. Dia juga sangat ceria dan ramah.
"Nona, sedang memasak untuk tuan Liam?" Yang di tanya mengangguk pelan.
Merasa malu di tatap menggoda oleh Grizel sebab menyiapkan makanan untuk suami.
"Apa dia akan suka?"
Grizel mengangguk-anggukkan kepala penuh semangat. "Tentu saja, Tuan Liam suka dengan sop wortel."
Gadis bermata bulat itu langsung sumringah. "Semoga saja."
"Nona, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Boleh, tentang apa?"
"Eum, jika boleh saya tahu ... dimana keluargamu?"
Liora berhenti melayangkan kedua tangan guna mengambil panci di atas kompor. Tatapan seketika sendu, kedua matanya nampak berkaca-kaca, kediaman terjadi hingga Grizel yang mengalihkan pandang langsung menyapa.
"Nona, Nona Liora." Ia mencoba memanggil.
Gadis itu tersentak kaget, tetapi kedua tangan sudah terlanjut jatuh pada kulit panci di luar hingga rasa panas terasa.
"Akh! Panas!" pekiknya.
"Nona Liora, kau baik-baik saja?" Grizel terburu-buru membawa kedua tangan itu menuju wastafel.
Membasuh lembut tangan Liora hingga menimbulkan warna merah di telapak tangan.
"Nona, kau tidak apa-apa?"
"Perih," lirihnya seraya meniup-niup telapak tangannya.
Liora tidak suka terluka, ia benci merasa sakit. Maka dari itu ingatan penuh peristiwa menyakitkan yang membuat hatinya perih tidak kuat ia mengingatnya lagi.
Rasanya ingin melupakan itu, tetapi tidak bisa. Secara tidak sadar sebuah paksaan ingin hilang membuat Liora seolah tidak memiliki orang-orang tersayang.
"Tidak apa Grizel, mungkin di oleskan salep akan sembuh."
"Nona, maafkan saya. Seharusnya saya tidak bertanya macam-macam." Pelayan itu menunduk penuh rasa menyesal.
Liora tersenyum simpul dan menggeleng. "Bukan salahmu. Itu semua karena aku tidak berhati-hati."
Si pelayan masih menundukkan kepala, ia merasa perlakuannya sangat salah. Pertanyaan yang seharusnya tidak boleh ia tanyakan begitu saja.
"Lebih baik, kau angkat panci sop itu untuk di bawa ke meja makan."
"Baik, Nona." Dengan cekatan Grizel mematuhi perintah.
Tidak lama dua menu masakan selesai, Liam menuruni tangga dengan tergesa. Meletakkan tas hitamnya di atas kursi.
"Wyman! Cepat, siapkan mobil!" Ia memanggil Wyman yang belum berada di tempat.
Segera Wyman berlari dan berdiri di dekat meja makan. "Baik, Tuan." Kemudian berlalu pergi melaksanakan perintah.
Sudah ada beberapa pelayan di sekitar ruangan tersebut. Sehingga sosok Liora hadir membawa semangkuk tumis wortel dan di letakkan di atas meja diikuti Diomira di belakang.
Ada dua jenis masakan di sana, terlihat Liora sangat berharap suaminya mencicipi semuanya. Meskipun rasa gugup menguasai, tapi Liora tetap berharap lebih mendapat respon.
Ia segera mengambil sebuah piring lalu menyendok nasi dan menuangkan sop di mangkuk kecil. Langsung di berikan tepat di hadapan Liam yang tengah mengancingkan lengan kemeja.
Tanpa peduli apapun pria itu menyantap makanannya dalam diam. Namun, hanya beberapa suap saja bahkan nasi dan lauk masih belum ada setengah tersisa.
"Wyman, ambilkan dokumen di meja kerjaku." Sembari berdiri dan merapikan jasnya.
Mendapati hal yang tidak di harapan membuat Liora kecewa, raut wajahnya berubah sedih. Namun, masih ada kesempatan dengan membawa tas kerja suaminya.
Ingin tangannya meraih, tapi kalah cepat dengan Liam yang sudah mendapatkan lebih dulu. Pria itu bahkan tidak meliriknya sedikitpun. Membelakangi Liora seolah tidak ada di sana.
Liora hanya bisa diam tanpa suara. Pandangannya sendu seketika menatap punggung suami yang sudah berlalu menghilang. Para pelayan hanya bisa melihat dengan iba dan kasihan. Gadis itu tidak mendapatkan hasil pendapat suami atas perjuangan bangun paginya.
"Nona, mungkin saja Tuan Liam sedang terburu-buru."
Diomira yang sejak tadi hadir dan mengerti. Ia mendekati Liora yang masih diam membeku, mengelus pelan bahunya. Pelayan Grizel juga mendekati dan mengelus lengannya. Semua pelayan di sana peduli kepada istri majikannya itu.
"Nanti, bisa Nona coba lagi." Grizel berbicara.
Liora menghela nafas, lalu menganggukkan kepala. "Tapi, apakah dia akan pulang lebih awal?"
Pertanyaan itu membuat semua diam, pasalnya Liam tidak pernah pulang lebih awal. Hanya kemarin saja pria itu pulang cepat, mungkin sebab pernikahan yang baru saja terjadi. Selain itu, biasanya Liam tidak pulang selama dua hari dan yang paling lama selama seminggu.
•••
"Bibi, aku ingin bertanya."
Liora berlari kecil menghampiri Diomira yang tengah menyiram tanaman di belakang rumah. Ia menyetujui pertanyaan dari sang Nyonya.
"Boleh aku tahu dia kerja apa?"
"Tuan Liam adalah CEO Perusahaan Lory, Nona."
"Apa? CEO?"
Ia terkejut kedua alisnya menaik tinggi, tidak pernah tahu bahwa Liam adalah CEO Perusahaan. Pantas saja rumahnya seperti kerajaan dan juga sangat kaya. Pelayan rumah lebih dari 10 orang.
"Dia pemiliknya?" Diomira mengangguk.
"Tuan Liam sudah merintis selama bertahun-tahun perusahaan itu. Tuan besar Elard memiliki perusahaan bernama Mallo, tapi Tuan muda Liam tidak ingin meneruskannya."
"Kenapa, Bi?"
Penuh penasaran ia mengikuti Diomira duduk di sebuah kursi dengan pot kecil berisi pohon kaktus di atas meja. Liora duduk di seberang, berharap mendengar cerita lebih lanjut.
"Tuan muda sangat pekerja keras, dia ingin perusahaan atas usahanya sendiri dari nol. Bukan dari perusahaan Ayahnya yang sudah sukses."
Liora mengangguk paham, semakin berpikir bahwa Liam sangat sempurna. Merintis perusahaan dari nol hingga sukses seperti ini.
"Lalu ... rumah ini?"
"Sebenarnya rumah ini adalah rumah impian Ibunya. Meskipun begitu, Tuan muda tetap membangun rumah ini demi mengingat kembali mendiang Nyonya besar Rosalind."
Gadis itu terdiam, tangannya saling menggenggam. Menatap pada tanah yang di tumbuhi rumput hijau di depannya. Selain memiliki sifat yang dingin, Liam juga bisa menjadi hangat secara diam-diam.
"Bibi, apakah karena Ibu mertua tiada membuat dia menjadi pendiam dan dingin?"
Diomira langsung mengangguk. "Tepat sekali. Sejak saat itu, Tuan muda sulit untuk berbicara. Hingga dewasa menjadi dingin dan sedikit pemarah. Beruntung, dia menjadi dewasa sekian umur bertambah."
"Bibi, dimana aku bisa bertemu Ibu mertua?"
Diomira terdiam sebentar lalu menggeleng pelan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu, yang tahu hanya Tuan muda dan Tuan besar Elard."
"Ah, begitu, ya. Baiklah, tidak masalah." Liora mencoba tersenyum tipis.
"Nona bisa tanyakan pada Tuan Liam."
"Dia saja tidak ingin bicara padaku. Bagaimana bisa aku bertanya padanya?"
Diomira terkekeh. "Tuan Liam perlu di dekati secara perlahan. Sulit jika dengan rayuan menggoda, dia akan langsung pergi."
"Benarkah?" Kepala pelayan mengangguk yakin.
"Tuan Liam suka dengan gadis yang mengerti dan selalu ada untuknya."
Liora menunduk, mengingat bahwa ia hanya pengantin pengganti. Meskipun pernikahan yang sah, tapi atas dasar agar keluarga Liam tidak di permalukan.
Hanya karena Liam ingin semuanya berjalan sempurna. Liora jadi merasa tidak pantas, pria itu pasti masih kecewa dengan kepergian mantan kekasihnya.
Perihal hubungan pengantin baru tidak harmonis membuat Liora melupakan bahwa ia masih asing di keluarga itu. Bukan hanya ia yang merasakan, Liam pasti lebih merasakan sebab di tinggal begitu saja di hari pernikahan. Liora mengetahui semuanya dari Grizel yang bercerita sebelum acara pernikahan dimulai.
Ia mendongak dengan senyuman simpul. "Bi, aku yang menyiram bunganya, ya."
Segera berdiri dan meraih pot siram tanaman. Diomira merasa heran dengan menyipitkan kedua mata. Sejak tadi berbicara mengenai Liam, tapi tiba-tiba gadis itu mengalihkan pembicaraan.
Segera Diomira menghampiri dan mengatakan, "Nona Liora, biar saya saja yang menyiram. Ini semua sudah tugas saya."
Gadis itu tersenyum simpul seraya fokus menyiram tanaman bunga di halaman belakang tersebut.
"Tidak masalah, Bibi. Aku suka menyiram tanaman dan aku juga suka bunga."
"Tapi, tangan ..."
"Sudah sembuh, Bi. Grizel mengoleskan obat di telapak tanganku."
Menjelaskan bahwa telapak tangannya sudah lumayan membaik di sebabkan terkena panci panas tadi pagi.
Suara mobil di kawasan depan rumah mengalihkan pandang mereka berdua. Terdengar lebih dari satu mobil yang datang. Liora meletakkan pot siram tanaman lalu berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Diomira.
Melihat dari jendela mendapati beberapa mobil bertengger di barengi orang-orang yang semakin banyak.
"Bibi, kenapa banyak orang di luar?" tanyanya dengan pandangan tidak lepas dari jendela.
Diomira yang mengerti itu mengangguk. "Mereka para pengawal, Nona. Itu berarti ... Tuan Liam tidak pulang hari ini."