webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · Urbain
Pas assez d’évaluations
371 Chs

Jangan Buat Aku Khawatir

Jam dua belas siang, sudah waktunya istirahat untuk Savira. Namun karena perutnya masih terasa perih akhirnya dia memutuskan untuk membeli roti yang ada di minimarket samping kantornya.

Dia masih belum bisa makan terlalu banyak karena bisa membuatnya bolak balik ke toilet puluhan kali. Mendadak ia menjadi menyesal karena sudah menuangkan banyak sambal ke dalam mangkuknya.

"Hei!" Rico menaikkan satu tangannya ketika keluar dari mobil. Ia tersenyum ketika melihat Savira baru saja keluar dari minimarket dengan satu tangan memegang plastik belanjaan.

Savira melengos, dia malas bertemu dengan Rico saat ini. Karena menurutnya dialah penyebab perutnya mules-mules seperti ini.

"Kok marah sih? Kan bukan aku Vir yang ninggalin kamu di sana," ucap Rico sambil menyejajari langkah Savira.

Mendadak langkah Savira terhenti, kemudian dia menatap sinis ke arah Rico.

"Kamu—ah! Kenapa sih gak liat dulu temen kamu kayak apa," gerutunya. "Aku mules gara-gara kamu," lanjutnya lagi.

Rico tidak tahu apa maksud Savira, mengapa bisa dirinya menyebabkan dirinya jadi mules-mules.

"Oke deh sorry, aku ganti deh sama traktiran makan malam di restoran bintang empat, mau gak?" tanya Rico.

Ia tahu kalau Savira menyukai makanan dari restoran berbintang seperti itu.

"Gimana? Mumpung aku baru dapet bonus dari perusahaan nih?"

"Dijemput kan?"

"Iya, jadi gimana? Udah maafin kan?"

"Liat aja nanti, aku gak janji maafin kamu."

**

Di ruang TV sore itu Dina dan Raga sedang duduk di atas sofa. Dina saat itu sedang membantu Raga mengobati luka yang ada di wajah Raga karena kejadian tadi siang.

Sesekali Raga mencicit kesakitan ketika Dina menotolkan betadine ke wajahnya. Meskipun sudah sepelan mungkin.

"Diem dulu, nanti ke mana-mana," desis Dina.

Jarak mereka berdua sangat dekat, bahkan lebih dekat dari yang semalam.

"Bilang aja sama Mbak Vira, biar dia tau. Daripada alesan jatuh, malah yang ada dia gak mau bantu."

Raga diam.

"Aku gak mau bikin masalah sama dia."

"Tapi kan tetep aja, itu bukan salah kamu. Salahnya mereka aja yang kurang ganteng," dengus Dina geram.

Beberapa waktu yang lalu, ketika Dina selesai mandi. Dia melihat Raga pulang dengan wajah babak belur seperti habis dipukuli oleh seseorang.

Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa dia hanya berjalan ke arah kulkas dan mengambil batu es di dalam sana.

"Sini aku obatin," kata Dina. Ia merebut batu es yang diletakkan di sebuah tempat oleh Raga. "Udah gak apa-apa, emangnya bisa ngobatin sendirian?" tanya Dina.

Raga pun memberikan es batu itu pada Dina.

Ia kemudian duduk di atas sofa dan diam saja ketika tangan Dina mulai menyentuh wajahnya.

"Berantem?" tanya Dina.

"Dipukul," jawab Raga. "Tapi jangan bilang sama dia."

"Dia siapa? Mbak Vira?"

"Iya, siapa lagi emangnya."

"Yang mukul siapa?"

"Anak senior, mereka gak suka sama aku. Katanya aku sombong, padahal—"

"Padahal iya."

Beberapa menit berlalu—Raga dan Dina akhirnya melanjutkan menonton televisi berdua saja. Raga sesekali melihat ke arah jam. Sudah pukul sembilan tapi Savira belum juga pulang.

"Nunggu Mbak Vira?" tanya Dina.

"Gak tuh."

Namun ketika terdengar suara pintu depan dibuka Raga buru-buru naik ke atas ke dalam kamarnya.

"Mau ke mana?" tanya Dina ia melirik ke arah pintu. Savira rupanya datang dengan Rico malam itu.

"Wah, abis makan malam bareng ya Mbak. Tumben pulang malem," tanya Dina.

"Iya, abis ditraktir. Raga di mana?" tanya Savira.

"Udah tidur Mbak," jawab Dina.

"Masa sih, biasanya tidur malem-malem." Savira memberikan satu bungkus plastik berisi makanan yang sengaja ia bawa pulang untuk mereka berdua malam itu. Karena dia tak mau makan enak sendirian.

"Aku ke atas deh, makanannya gak enak kalau udah dingin." Tanpa memedulikan keberadaan Rico dan Dina akhirnya Savira naik ke atas.

"Temenin si Om Rico dulu ya Din."

"Iya Mbak." Dina menatap malas pada Rico, Rico yang ditatap seperti itu jadi salah tingkah dan memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di meja makan, sementara Dina duduk di ruang televisi.

Savira naik, dan pada saat itu dia mencium wangi parfum Raga yang menguar di atas atap. Sepertinya tak mungkin kalau Raga tidur, pikir Savira.

Wanita itu berdiri di depan kamar Raga dan mengetuk pintu kamar lelaki itu pelan.

"Ga, udah tidur belum? Aku bawa makanan nih," ucap Savira. Ia mendekatkan telinganya di dekat daun pintu. Namun tak ada suara apa-apa.

"Aku gantung di knop pintu ya, kalau kamu bangun makan aja." Savira menggantungkan plastik itu di knop pintu, lalu langsung pergi dari kamar Raga pada saat itu juga.

"Padahal gak enak kalau udah dingin," gumam Savira.

Namun ketika kakinya hendak melangkah ke tangga untuk turun. Savira mendengar suara pintu dibuka.

Savira langsung berjalan ke atas lagi, dan melihat Raga berdiri di depan kamarnya. Tetapi yang membuat Savira terkejut adalah ketika melihat wajah lelaki itu muncul dengan wajah lebam.

"Kamu kenapa?! Wajah kamu kenapa?!" tanya Savira panik.

Raga diam.

"Maafin aku tante," ucap Raga pelan. "Aku gak bisa jaga wajahku," gumamnya.

Savira menarik lengan Raga, kemudian ia bawa duduk di kursi yang ada di dekat sana. Ia memandang wajah itu kemudian menyentuhnya pelan.

"Agh! Sakit," desis Raga.

"Kamu dipukul? Sama siapa?" tanya Savira.

Raga diam.

"Kalau kamu gak bilang sama aku, besok aku yang ke tempat kamu training," ancam Savira. "Itu wajah kamu—aduh! Kamu kan ada pemotretan minggu depan, Raga?!" ujar Savira frustrasi.

"Kalau Miss Har tau kamu bisa diomelin."

"Siapa yang bikin kamu begini?" tanya Savira lagi.

"Andreas sama temen-temennya," jawab Raga pelan.

"Kamu dikeroyok?"

Raga mengangguk.

Tanpa menunggu lama, Savira mengambil ponselnya. Ia menekan nomor Andreas, tapi oleh Raga ponsel itu direbutnya.

"Jangan, Tan."

"Kenapa?" Savira terlihat sangat marah malam itu. Ekspresinya mengeras tiap kali melihat wajah Raga seperti itu.

"Jangan pakai cara ini Tan, mereka gak bakalan kapok. Kalau diizinin aku mau bales mereka—"

"Dan kamu tambah bonyok lagi?"

"Gak Tan, aku janji."

Savira mengamati wajah lelaki yang ada di depannya itu. Kemudian matanya menjadi basah karena merasa kasihan dengan Raga, ia merasa bersalah karena menurutnya itu semua penyebabnya adalah dirinya.

"Kok malah nangis sih?" Raga tersenyum tipis sebelum akhirnya mencicit kesakitan lagi.

"Lagian kenapa tadi gak langsung dibales lagi?!"

"Ya—kan—aku masih baru di sana dan—"

Savira memeluk Raga tiba-tiba membuat tubuh lelaki itu membeku seketika. "Kalau kamu diapa-apain lagi kamu boleh bales, jangan sampai wajah kamu kenapa-kenapa lagi, ngerti?!"

Raga masih membeku, dia hanya mengangguk pelan dan diam saja ketika Savira memeluknya.

Di sisi lain, Dina yang mendapati Savira tak kunjung turun akhirnya menyusulnya ke atas dan melihat pemandangan yang membuatnya muak tersebut.