Hari Kamis itu terasa semakin horror dengan diadakannya ujian matematika dadakan oleh guru, cerahnya pagi itu seolah sirna sebab suasana muram yang dipancarkan anak-anak kelas XII IPA B, terutama Reva yang sangat membenci matematika dan memasak, dia akan terserang alergi akut jika bertemu dengan keduanya.
Di sisi meja lainnya ada Lara yang sangat menikmati ujian itu, dia dapat menjawab satu per satu soalan tanpa perlu menghitungnya lebih dulu di atas kertas, hingga kelima puluh soal mampu ia selesaikan dalam waktu lima belas menit saja, namun dia belum boleh beranjak dari kursinya sebab dia tak mau orang-orang menaruh curiga padanya, jadi dia tetap berdiam di situ sampai satu jam ke depan.
Bagi Lara, soal ujian yang baru saja dikerjakan sudah serupa kawan sedari kecil, Lara akrab dengan matematika, fisika dan kimia sejak menginjak umur lima tahun, karena dia hanya seorang manusia biasa dia terus berusaha agar bisa menyimbangi anak-anak lain di lingkungannya dengan caranya sendiri.
Namun Lara tidak memamerkan kejeniusan otaknya tersebut, dia justru sengaja memasang wajah lugu dan bertingkah seolah tidak tahu apapun sebab prioritas utamanya bukanlah untuk terlihat pintar, namun menjaring banyak orang untuk masuk ke dalam lingkaran pertemanannya.
"Reva, aku keluar lebih dulu ya," Lara sedikit berbisik pada kawan sebangku yang sudah terlelap dalam ujian, bisikannya sontak menyadarkan sang kawan.
"Hah?" Sebagian dari Reva yang masih berada di alam mimpi memberinya halusinasi. "Kau sudah selesai? Bukankah ujian ini baru lima menit berjalan?"
"Itulah sebabnya kalau kau tidur saat ujian. Halu," Lara tertawa kecil kemudian bangkit dari kursinya dan menyerahkan kertas hasil ujian ke guru yang tampak angkuh di kursinya, Lara menjadi murid ketiga yang menyelesaikan ujian dadakan di jam pertama.
Lara menunggui Reva di depan pintu kelas, sesekali ia menengok ke dalam lewat jendela dan memberi isyarat pada kawannya itu agar cepat mengerjakan ujiannya, namun Reva yang lelet pasti akan menjadi orang terakhir yang mengumpulkan hasil ujian. Terpaksa Lara menahan lapar di sana, bahkan sampai lima menit berlalu setelah bel istirahat sekolah berbunyi Reva belum juga keluar dari kelas.
"Apa dia tertidur lagi?" Lara kembali menengok ke dalam kelas lewat jendela dan kali ini dia tidak menemukan orang yang dicarinya di sana, "hei, kemana dia?"
"DOOR!!"
"Astaga!" Jantung Lara terasa hampir meledak sebab suara itu dan wajah Reva yang tiba-tiba muncul dari bawah jendela mengejutkannya, sementara si pelaku justru tertawa girang, "eh sialan kau ya, aku sudah lama menungguimu sampai perutku keroncongan!"
"Iya, maaf, maaf. Ha ha ha," Reva membalas dengan tawa yang masih tertinggal, dia segera berjalan keluar kelas untuk menghampiri korban kejahilannya tadi. "Ayo, aku sedang ngidam untuk makan bakso pedas saat ini."
Lara bernafas lega karena dia tidak perlu menahan lapar lebih lama lagi, sudah banyak jenis makanan yang bermunculan di kepalanya kala ia dan Reva berjalan menuju kantin yang terletak di belakang gedung sekolah bagian timur, namun bayangan indah Lara mendadak hilang begitu dia melihat kantin yang sudah penuh diserbu anak-anak kelaparan layaknya serangan zombie.
"Ini gegara kau yang terlalu lama mengerjakan soal ujian," langsung saja Lara menyalahkan Reva, kali ini dia tidak bisa menerima kenyataan yang sedang menari-nari di depan matanya.
"Kau 'kan tahu aku memiliki alergi akut terhadap matematika," balas Reva tak mau disalahkan, "lagipula mengapa kau tidak membantuku tadi?"
"Nanti kau jadi kebiasaan dan tidak mampu mengerjakan sendiri," Lara semakin ketus, "sudahlah, kau cari saja tempat duduk untuk kita, aku akan membeli bakso."
"Oke," Reva mengacungkan jempol kemudian keduanya berpisah.
Sejurus kemudian Lara melangkah menuju gerobak bakso yang diapit oleh gerobak cilok dan gerobak batagor, tampak dari arahnya berjalan sebuah antrean kecil sudah mulai terbentuk, Lara mempercepat langkah dan langsung menyerobot ke antrean paling depan.
"Hei!" Lara menyapa pengantre paling depan sambil menepuk keras bahunya, membuat si laki-laki terfokus padanya. "Sedang apa?"
"Membeli bakso," si laki-laki menjawab, tatapannya kosong menatap Lara.
"Apa aku boleh membeli lebih dulu?"
"Silakan."
Dengan mudahnya ia menjadi pengantre paling depan, dia sedikit terdiam untuk mengumpulkan tenaga lebih dulu.
"Abang!" Panggil Lara dengan mejentikkan jarinya di depan wajah tukang bakso, "aku pesan dua mangkuk, yang satu ekstra pedas."
"Siap Yang Mulia!" Bagai terhipnotis abang tukang bakso segera membuat pesanan yang dipesan Lara.
Si gadis itu sendiri terdiam sambil bersedekap, menunggu pesanannya selesai dibuat. Ya, dia hanyalah manusia biasa, seorang anak tanpa figur ayah dalam hidupnya, di pikirannya dia hanya terfokus untuk membahagiakan sang ibu meski ibunya sendiri tidak pernah meminta, salah satu cara itu seperti apa yang akan dia lakukan sekarang.
Dua mangkuk bakso sudah terhidang persis seperti pesanan Lara, sebelum gadis itu membawa dua mangkuk tersebut ke mejanya, ia lebih dulu merogoh sakunya, mengambil sebuah tabung kaca kecil dan menabur sebagian isinya ke satu mangkuk bakso ekstra pedas, baru kemudian ia bawa kedua mangkuk setelah membayar baksonya.
Reva melambaikan tangannya begitu mendapati Lara sedang berjalan dengan dua mangkuk di kedua tangannya, sang kawan melihat ke arahnya lalu segera mendekat dan menghidangkan semangkuk bakso ekstra pedas ke hadapannya.
"Wah, terima kasih Lara," Reva menambahkan cuka ke dalam baksonya.
"Ya, sama-sama," sementara Lara mengadu-aduk isi mangkuk dan mulai melahap, "cepat dimakan sebelum dingin."
"Tunggu, baksonya harus kuaduk dulu," tak lama kemudian Reva menyuap potongan bakso beserta bihun dan kuah ke mulutnya, "mm, rasanya sesuai seperti yang kubayangkan."
Lara tersenyum dan kembali menjejalkan bakso ke dalam mulutnya, di satu sisi dia terpaku memandangi Reva yang lahap memakan bakso dan menunggu.
Senyuman di wajah Reva perlahan memudar, kesenangan yang sedari tadi ia rasakan tergantikan oleh rasa janggal, pandangan matanya mulai mengabur dan tumbuh sensasi panas serta nyeri dari dalam tubuhnya.
"Reva, ada apa?" Lara bertanya, memastikan kondisi gadis itu.
Namun bukannya menjawab, Reva justru bangkit dari kursinya dan berlari cepat meninggalkan kawasan kantin, tak ia hiraukan suara Lara yang lantang memanggil namanya, dia terus berlari menuju toilet yang berada tidak jauh dari jalan menuju kantin.
Hampir tak ada yang mengacuhkan kejadian tersebut kecuali satu orang lelaki, dia mendekati meja makan Lara dan Reva yang sudah tak berpenghuni kemudian mengaduk isi mangkuk bakso Reva dan menghirup aromanya, sontak hidungnya menyerngit menerima bau tersebut, segera dia berjalan menuju sisi gelap kantin dan menghilang ke dalam kegelapan tersebut.
Di satu sisi Reva sudah menggigil di pinggir closet setelah mengeluarkan semua isi perutnya ke sana. Pikirannya tak habis bertanya-tanya namun ia tidak sanggup berbuat banyak kecuali meringkuk di lantai toilet yang dingin, sampai seseorang membuka bilik WC tempat Reva terkapar dan membawanya pergi.
Lara tiba di sana beberapa saat setelah Reva dibawa pergi, kepanikan melanda dirinya tatkala ia tak menemukan gadis incarannya tersebut di manapun, dengan kencang ia berlari menuju UKS dan menemukan Reva yang baru saja dibawa ke situ oleh Tobias.
"Apa?" Lara tak mempercayai apa yang dilihatnya, namun sebelum gadis itu mendapatkan jawaban apapun Tobias sudah lebih dulu menarik tangan gadis itu dan membawanya ke tempat yang jauh.
"Apa kau gila!?" Tobias keras membentak Lara setelah keduanya berada di atap sekolah, hanya ada keduanya di sana. "Apa kau mau menghancurkan misi kita!?"
"Hei, lihatlah dirimu sendiri, justru kau yang menghancurkan misi kita!" Lara tak kalah keras membentak, mempertahankan martabatnya yang tak mau mengalah. "Aku baru saja hampir berhasil membawa gadis itu sebelum kau membawanya ke UKS."
"Ya membawanya dengan kondisi sakit seperti itu. Apa kau pikir Sang Pemimpin akan bangga terhadapmu? Salut terhadap kerja keras kita?"
Lara tak sanggup membalas, dia hanya membuang muka dan mendengus keras. Tobias memegang kedua pundak gadis itu dan lekat menatap matanya.
"Lepas lensa matamu," pinta Tobias dengan lembut.
"Apa? Siapa kau—"
"Lepas saja! Astaga, kau ini keras kepala sekali."
Dengan berat hati Lara menuruti apa yang lelaki itu pinta, dia lepas dua lensa mata berwarna cokelat tua dan memperlihatkan warna mata aslinya yaitu biru cerah, mata yang jarang dimiliki oleh orang Asia. Tobias merenggut kedua lensa itu dan menginjaknya ke atas tanah.
"Aku tak butuh kamera untuk memberi pengertian padamu," ujar Tobias menjelaskan perbuatannya, dia kembali memegang kedua pundak Lara dan lurus menatapnya. "Dengar, aku tahu kau ingin segera menuntaskan misi ini, begitu pula aku, tapi kita harus melakukannya dengan rapi, oke?" Tobias sedikit terdiam, dia jarang menatap mata gadis manis itu dengan warna aslinya. "Apa kau berhasil membangun Dwara Dhis?"
Lara menggeleng pelan, merasa seperti sedang terisap sebuah pusaran di mata Tobias, dia pun bertanya apakah ini yang dirasakan oleh Reva. "Aku kekurangan bahan," ucap Lara sedikit melirih.
"Kalau begitu, biar kuambil alih dari sini."