webnovel

Beban

Sasya sebisa mungkin berbalik sembari menetralkan ekspresinya. Gadis itu langsung menyengir lebar saat matanya bersitatap dengan sosok Arash yang tampak menatapnya curiga. Bagaimana pun juga, Arash yakin sekali kalau tabungan yang Sasya selama ini kumpulkan pun tak akan cukup untuk membeli jaket merek seperti ini. Lelaki itu menghela napasnya dengan penuh berat.

"Lo nggak nyolong, kan?" tanyanya dengan tatapan penuh ketajamannya.

Sasya menyengir lebar, lantas menggelengkan kepala kemudian, "Bukan, kok. Eung itu tuh sebenernya punya ... punya anu," ujarnya tergagu. Tolong, Sasya benar-benar bingung harus mengucapkan apalagi kali ini.

Dahi Arash berkerut, matanya semakin menatap Sasya dengan penuh kecurigaannya, "Kamu nggak mac--"

"Enggak!" Sasya buru-buru menyela, "Ini itu ... ini itu punyanya Sastra sebenernya, Bang. Aku beli lima puluh ribu. Maaf ya, Abang, Sasya ngasihnya bekasan." Sasya menundukkan kepalanya dalam dalam.

Arash menghela napasnya dengan berat. Lelaki itu menatap Sasya dalam.

"Sasya, duduk," ujar Arash memaksa gadis itu untuk segera duduk. Lelaki itu sama sekali tak khawatir Sasya akan memergoki nasi basinya, sebab lelaki itu merasa aman karena sudah menutupi nasi basi itu dengan tudung saji di atas meja.

Sasya sendiri menganggukkan kepala, dan segera mendudukkan diri di kursi makan. Ia menatap Arash dengan tatapan penuh kebingungannya.

"Lo tau sendiri kalau perekonomian keluarga kita lagi sulit. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Lain kali, nggak usah beli-beli barang kaya gini ya, Sya. Apalagi cuma buat ngasih ke abang. Abang sama sekali nggak butuh." Arash menurunkan nada suaranya agar tak terlalu kasar didengar oleh sang adik.

Sasya menggigit bibir bawahnya, "tapi itu barang gratis, Bang."

Tentunya, Sasya mengucapkan hal demikian dalam hati. Gadis itu menghela napasnya dengan penuh berat sebelum akhirnya mengulas senyumnya.

"Maaf, Bang. Lain kali nggak lagi. Tapi, Bang, tolong ini jangan dipake buat ke kampus ya."

Bodoh. Sasya sebal karena malah kalimat itu yang keluar dari mulutnya sendiri. Gadis itu menghela napasnya beberapa kali. Apalagi saat Arash menatapnya bingung penuh tanda tanya meminta kejelasan.

"Soalnya kenapa?" tanya Arash bingung.

Sasya terkekeh hambar, gadis itu lantas menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Ya enggak apa-apa, sih. Cuma kan ... pasti temen temen abang tau kita itu miskin. Nggak lucu kan mereka kaget liat abang ke kampus pake jaket itu?" tanya Sasya di akhir kalimat.

Syukurnya, Arash mengangguk anggukkan kepalanya percaya, "Iya juga, lagian temen abang juga pernah pake jaket kaya gini, kayanya nggak banget kalau tiba tiba kembaran."

Mampus, mampus. Sasya mengucapkan kalimat itu berulang kali dalam hati. Ia sudah mulai membuat dugaan jikalau ... yang Arash maksud adalah lelaki yang tadi ia tabrak motornya.

"Enggak, dunia nggak sesempit itu." Sasya menggeleng kuat, mencoba menepis praduga praduga sesat yang akan semakin membuatnya overthingking setiap saat.

Arash mengernyitkan dahi, "Kenapa lo?" tanyanya bingung.

Sasya tersadar, gadis itu terkekeh pelan dan menggeleng. Tak mau berlama lama di sana, ia segera pamit kembali ke kamar dengan dalih sudah benar-benar mengantuk sekali. Gadis itu melangkah tergesa menuju kamarnya. Ia menutup pintu dan mendudukkan diri di kasurnya. Ia usap kasar wajahnya itu.

"Positive thingking Sasya, jaket kaya gitu kan banyak. Walaupun mahal ya nggak cuma satu aja kan?" tanya Sasya bermonolog.

"Argh sial, tapi kan mereka sekampus!" raungnya sebal.

***

Sasya benar-benar tak bisa berhenti untuk mencemaskan hal yang sejak tadi malam ia cemaskan. Pasalnya, ia benar-benar cemas kalau sampai Arash tahu kalau jaket itu ... tidak. Arash tak akan tahu.

Naka sendiri yang sejak tadi duduk di samping Sasya menolehkan kepala. Kini keduanya sedang duduk di salah satu bangku kantin, menanti Sastra yang sedang membeli pesanan mereka.

"Ngapa lo? Ngehela napas mulu kaya beban idupnya berat banget," ujar Naka berkomentar.

Sasya menghela napasnya sekali lagi. Gadis itu menepuk pelan bahu Naka yang lebar, "Berat banget kali ini, Ka, beneran," jawabnya dengan penuh lesunya.

Naka geleng geleng kepala, "Apalagi? Berantem sama Bang Arash atau ... lo bohongin Bunda lo?" tanyanya menduga duga.

Sasya menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Lantas gadis itu menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Enggak, ini perkara jaket kemarin," ucapnya membuat Naka menoleh sepenuhnya ke arah Sasya. Lelaki itu menatap penuh rasa penasaran ke arah sang sahabat.

"Kenapa? Bang Arash nggak percaya lo bisa beli jaket semahal itu?" tanya Naka kembali menebak nebak.

Sasya mengusap wajahnya dengan penuh kasar, "Masalahnya, gue baru inget kalau cowok yang punya jaket itu satu kampus sama Abang! Sialan, nggak? Itu jadi beban pikiran gue paling berat."

Naka tertawa sepuasnya, sampai beberapa pasang mata menatap ke arah keduanya. Sasya sendiri mendelik kesal, ia menoyor pelan kepala Naka.

"Lo jahat karena ngetawain gue yang lagi punya beban berat ini," ujarnya dengan sebal.

Naka menyelesaikan tawanya, lelaki itu menarik napas panjang sebentar sebelum akhirnya kembali bersuara, "Bodoh lo, udah ya, nikmati aja segenap penderitaan lo itu," ujarnya dengan penuh sebal.

Sasya mendengus sebal dan memilih untuk memainkan game di ponselnya sendiri.

"Gimana ini?" tanyanya dengan penuh kebingungan.

Naka hanya mengedikkan bahunya acuh tak peduli. Sahabat yang tak ada gunanya ya macam Naka begitu. Sudah menyebalkan, tak membantu sama sekali.

"Apa sih? Ketawanya keras banget sampe kedengar sampe sana. Lo ngetawain apa, Ka?" Tanya Sastra yang tiba tiba datang dengan penuh rasa kebingungan.

Lelaki itu sendiri tampak menaruh nampan berisi pesanan mereka ke atas meja, lantas mendudukkan diri tepat di depan Sasya sendiri.

"Kenapa, Sya? Diapain Naka?" Tanya Sastra pada Sasya yang tampak begitu cemberut.

Sasya mencebikkan bibirnya dengan penuh sebal. Lantas menceritakan apa kegusarannya yang tadi ia ceritakan pada Naka. Respon Sastra tidak seperti Naka tentunya. Lelaki itu menatap Sasya lembut dan menawarkan bantuan.

"Jadi apa yang bisa gue bantu untuk itu?" Tanya Sastra lembut, membuat Naka menyinyir di tempatnya.

Sasya menggeleng dengan lesu, "Lo ada ide emangnya?" tanyanya pada sang sahabat.

Namun gelengan Sastra membuat bahu gadis itu merosot turun. Ia menopang dagunya sendiri lantas menatap Naka yang spontan menggelengkan pelan tanda bahwa lelaku itu tak ada ide.

"Lagian lo aneh aneh aja sih jadi orang. Jaket punya orang lo kasih jadi kado buat abang lo. Ini nih yang dinamakan lebih baik modal daripada menyesal di belakang." Naka menasehati Sasya panjang lebar.

Gadis itu sendiri mendengus sebal dan memilih menyantap mie ayamnya tanpa menghiraukan Naka yang cerewetnya minta ampun.

Ting.

Sasya menoleh, ia meraih ponselnya di atas meja. Matanya membola sesaat.

Unknown

Oh, lo adik temen gue ternyata.

"Siapa?" Sastra bertanya.