webnovel

Adik Sarinem Yang Julid

      "Jangan asal bicara Pak!" sergah Tanti, dalam hatinya sangat senang mendapat kiriman barang bagus, walaupun tak tahu siapa pengirimnya.

      "Siapa lagi kalau bukan cecunguk sok kaya itu!" cecar Tedi merasa yakin dugaannya benar.

      Tanti mengelus dan mengusap mesin cuci otomatis itu, matanya takzub menatap barang yang tak pernah diimpikan untuk bisa memilikinya.

       "Cepat kembalikan barang itu, aku nggak sudi barang pemberian dia ada di rumah ini!" titah Tedi yang merasa yakin bahwa mesin cuci itu kiriman dari Burhan.

      "Mau dikembalikan ke mana Pak, kita kan nggak tahu siapa pengirimnya!" tukas Tanti kesal.

      "Kalau begitu biarkan saja di situ, jangan mimpi kamu bisa mencuci dengan barang nggak jelas itu!" hardik Tedi dengan sengit, matanya nyalang ke arah Tanti yang tak bosan menatap mesin cuci itu.

      "Bapak ini gimana sih, dikasih enak kok ditolak, dengan mesin ini tanganku nggak lecet dan panas terkena sabun," sahut Tanti yang mulai membayangkan mencuci baju bisa sambil main game.

       "Kalau memang bapak nggak mau, mulai besok bapak nyuci baju sendiri, pakai tangan!" cecar Tanti sambil mendelik ke arah suaminya.

      "Haaarrrgghhh! Sialan!" bentak Tedi sambil menendang mesin cuci itu dengan kasar.

      "Paaakkk, jangan!" teriak Tanti kencang.

      Sarinem yang baru selesai mandi berjalan mendekati Tedi dan Tanti.

      "Pak, Bu, nggak usah berantem, mesin cuci itu ..."

      "Kamu nggak usah ikut campur urusan orang tua, cepat masak!" sergah Tanti memotong kalimat Sarinem.

      "Ya sudah kalau saya nggak boleh ikut campur, biar saya kembalikan mesin cuci ini ke toko," sahut Sarinem lalu bergegas pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

      "Apa maksudmu Nem? Jangan sok tahu kamu!" seru Tanti sambil melotot.

      "Saya yang beli mesin cuci ini, supaya Ibu dan Wanda nggak capek mencuci baju," sahut Sarinem.

      Tedi, Tanti dan Wanda terperanjat mendengar ucapan Sarinem.

      "Mimpi ya kamu Nem?" tanya Tanti sambil tertawa sinis.

       "Dapat uang dari mana kamu?" tanya Tedi dengan penuh selidik.

       Sarinem tak menanggapi ucapan dan pertanyaan Tedi dan Tanti, dia bergegas ke kamar dan bersiap untuk pergi.

      "Heh! Mau ke mana? Nggak sopan sama orang tua! Ditanya, ya dijawab! Kamu dapat uang dari mana?" sergah Tedi sambil menghalangi langkah Sarinem.

      "Saya kerja keras Pak, dan selama dua tahun saya nabung untuk beli mesin cuci ini," jawab Sarinem dengan nada santai.

       "Pasti masih ada kan sisa tabunganmu? Sini kasihkan Bapak!" Tedi menadahkan tangannya dengan penuh harap.

      "Sudah habis Pak, makanya ini mau kerja lagi," sahut Sarinem sambil melirik ke arah Tanti yang diam terpaku di tempatnya.

       Mendengar ucapan Sarinem Tedi diam, dalam lubuk hatinya dia merasa iba terhadap anak sulungnya, tapi sifat egois dan malasnya mengalahkan segalanya.

       "Buuu, lapar!" Wanda yang dari tadi sibuk dengan ponselnya berteriak nyaring.

       "Nem! Sebelum pergi masak dulu! Telingamu tuli? Nggak dengar Wanda dari tadi berteriak lapar?" Tanti membentak Sarinem dengan mata mendelik.

      "Pergi Nem, nggak usah dengar ucapan ibumu!" celetuk Tedi sambil mendorong tubuh Sarinem agar segera keluar dari rumah.

      Sarinem terkesima dan hampir tak percaya. Biasanya bapaknya akan mendukung apa saja yang dilakukan ibunya.

      "Bapak kenapa sih, aku lapar tahu nggak?" Wanda membentak Tedi dengan suara keras.

       "Kamu punya tangan kan? Kenapa nggak kamu gunakan? Apa susahnya masak, semua bahan sudah ada!" tukas Tedi kesal, matanya melotot ke arah anak bungsunya.

      "Enak saja nyuruh aku masak, aku nggak mau!" sahut Wanda dengan suara keras.

      "Kalau nggak mau ya sudah, nggak ada yang maksa!" tukas Tedi ketus, kemudian bergegas pergi keluar meninggalkan Wanda dan Tanti.

       Tanti menatap punggung suaminya yang semakin menjauh dengan perasaan kesal. Setelah suaminya hilang dari pandangan, Tanti mengalihkan pandangannya ke arah Wanda yang berwajah masam.

      "Ibu masakkan mie sama telur ya?" tawar Tanti dengan nada datar.

      "Nggak! Enak saja makan mie, aku mau ayam kecap!" Wanda menolak tawaran Tanti dengan keras dan tegas.

       "Katanya lapar, ya sudah seadanya dulu buat ganjal perut!" Tanti berusaha membujuk Wanda.

      "Ibu tuli ya? Aku bilang nggak ya nggak! Jadi orang bebal banget sih, nggak ngerti-ngerti!" Wanda semakin kalap dan mencaci maki Tanti.

      Tanti mendengus kesal, dia hanya bisa menangis dalam hati menghadapi sikap Wanda yang semakin kurang ajar.

      Dengan perasaan malas Tanti mulai memotong ayam dan menyiapkan bumbunya.

      "Lelet banget sih Bu? Sudah nggak tahan nih, sampai melilit perutku Buuu!" ucap Wanda sambil meringis kesakitan dan memegangi perutnya.

      Tanti tak menanggapi ucapan Wanda, walau hatinya sakit dan kesal, wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu tetap saja menuruti permintaan Wanda.

     Dengan cekatan Tanti memindahkan beberapa potong ayam ke dalam mangkok berukuran sedang.

      "Huuueekkk, brrrrhhh!" Buuu, ini masakan apa sih? Rasanya nggak jelas gini?" Wanda berteriak keras memanggil Tanti yang sedang menyendok nasi dari mejicom.

       "Katanya tadi minta ayam kecap, itu sudah Ibu masukkan buat kamu, tinggal makan saja kok protes!" celetuk Tanti dengan wajah masam.

      "Siapa yang mau makan masakan seperti ini Bu? Ibu makan sendiri saja!" Wanda berkata dengan sengit sambil menuang air minum lalu diteguknya sampai habis.

       "Wanda! Mau ke mana?" teriak Tanti keras, Wanda yang sudah berada di halaman rumahnya sengaja mengabaikannya.

       "Wanda, kenapa sih Nak, makin hari sikapmu makin keterlaluan begini? Ibu capek Nak, mana sekarang kakakmu itu mulai berani membantah," Tanti mengeluh dan merintih dalam hati.

       Saat hati Tanti sedang kesal, datang suaminya dengan nafas terengah-engah

      "Lho, kok pulang lagi Pak? Katanya mau cari kerjaan?" Tanti menegur suaminya dengan tatapan heran.

      Tedi mengabaikan teguran istrinya, dibukanya kulkas dan diraihnya sebuah botol minuman dingin lalu diteguknya sampai hampir habis.

       "Bapak belum sempat sampai ke rumah Ujang Bu ..."

       Tedi sengaja menggantung kalimatnya, diambilnya botol minuman tadi lalu diteguknya sampai habis.

     "Lho, kenapa Pak? Katanya Ujang yang mau mengajak Bapak kerja? Jangan disia-siakan Pak, mumpung ada kesempatan!" ucap Tanti panjang lebar sambil menyendok nasi untuk suaminya.

      "Tadi lewat warung Bu Uni, dia marah-marah karena Bapak belum bayar utang," Tedi tak menanggapi ucapan Tanti dan justru bercerita masalah lain.

      "Makanya cari kerja dulu baru nanti bayar utang, Bapak gimana sih?" Tanti menanggapi ucapan Tedi dengan kesal dan sewot.

     "Sudahlah, malas ngomong sama orang yang nggak ngerti, Bapak tadi di kejar-kejar Bu Uni, makanya Bapak pulang lagi Buuu!" Tedi berkata dengan kesal, diambilnya sepiring nasi yang sudah disiapkan oleh Tanti.

      "Huuueek, ini masakan apa sih Bu? Kok rasanya aneh begini?" celetuk Tedi sambil memuntahkan ayam yang sudah berada dalam mulutnya.

      "Masak kecap itu Pak, tadi Wanda yang minta," jawab Tanti sambil menyendok sedikit kuah yang berwarna kehitam-hitaman lalu disuapkan ke dalam mulutnya.

      "Gimana? Enak nggak?" tanya Tedi sambil mengejek istrinya yang sedang berkumur-kumur di westafel.

      "Pak Tedi ...Bu Tanti!"