"Aku tak menyalakannya." Martha mengangkat kedua tangannya seperti seorang kriminal yang menyerahkan diri setelah dikepung polisi.
Aku dan Dara juga serempak menggelengkan kepala. Televisi dalam keadaan stand by, tapi tak ada satu pun dari kami yang menyalakannya.
Seorang pria berumur empat puluh tahunan muncul di televisi. Kedua alisnya membentuk garis yang naik tajam, begitu pula dengan kumis hitamnya yang tebal—memnggurat garis kecil tajam dari bawah hidung sampai ke ujung-ujung bibirnya. Di bagian bawah layar televisi terdapat kolom persegi yang bertuliskan informasi tentang orang di layar televisi ini.
Prof. Pean Driey, Kepala Bagian Kesiswaan Roxalen High School.
Prof. Driey berdeham beberapa kali sebelum mulai berbicara.
"Apa dia tersedak sesuatu? Dia berdeham banyak sekali," komentar Martha sambil mengernyit.
Aku tertawa dalam satu dengusan.
"Perhatian untuk seluruh siswa Roxalen High School," Prof.Driey berkata dengan nada seperti pembicara di pusat informasi sebuah mal. "Selamat datang untuk para murid baru dan selamat datang kembali bagi murid lama. Tahun ini akan tetap menjadi tahun pembelajaran yang berharga bagi kalian, murid-murid dengan kemampuan spesial."
Prof. Driey mengambil jeda sejenak. Kumisnya bergerak-gerak aneh.
"Diinformasikan bahwa kegiatan sekolah akan dimulai besok pada jam delapan pagi. Seluruh siswa Roxalen High School tanpa terkecuali yang lama ataupun baru harus mengikuti pembukaan tahun ajaran baru di auditorium.
"Bagi siswa yang tidak mengikuti acara pembukaan, akan dimasukkan ke dalam pelanggaran level A. Untuk para pembimbing, diharapkan selalu mendampingi siswa baru selama masa orientasi. termasuk dalam acara pembukaan," Prof.Driey berbicara tanpa henti tanpa salah dengan cepat.
"Sekian dari saya, selamat menikmati malam kalian. Dan jangan lupa jam malam pukul dua belas tetap berlaku."
Logo Roxalen lengkap dengan lagunya muncul kembali sebagai penutup, dan televisi kembali mati ke posisi stand by.
"Oh, wow. Jadi televisinya bisa dibajak untuk kepentingan seperti ini," cicit Dara.
Sementara itu, aku melanjutkan menata baju-bajuku ke dalam lemari sambil melamun. Rasanya masih sangat aneh untuk menerima begitu banyak perubahan dalam satu hari. Begitu banyak hal luar biasa yang kutemui. Diam-diam aku tersenyum. Aku harus berterima kasih pada Tuhan untuk kehidupan yang luar biasa ini.
***
Sayup-sayup kudengar suara jam beker teddy bearku. Sekejap kedua mataku langsung terbuka. Dara menggeliat dari tidurnya, terganggu suara deringan yang nyaring. Martha refleks berdecak kesal dan menutupi kepala dengan selimut bulunya yang berwarna-warni pelangi. Aku hanya meringis sambil mematikan jam bekerku.
Pukul enam pagi.
Semalam aku tertidur sempurna setelah memindahkan semua isi koper ke dalam lemari. Bahkan aku belum sempat membuka hadiah dari Jake dan Allen, apalagi mencuci saputangan Huddwake yang berlumur darah. Martha menyarankan agar aku mencucikannya ke laundromat Roxalen High saja, namun aku berpikir rasanya tidak enak kalau mencucikan barang yang berdarah-darah seperti itu ke laundromat.
Setelah kurasa kesadaranku kembali seutuhnya, aku meloncat dari tempat tidur—menemukan sesuatu yang menarik minatku di pagi hari bahkan sebelum aku mandi. Aku duduk di lantai beralaskan karpet bulu di antara ranjangku dan ranjang Martha, menghadap dua bungkus hadiah dari dua kakakku.
Kurasa aku akan memulai dari bingkisan Allen. Kotaknya kecil dan simpel, terlihat mudah dibuka. Sesuai dengan Allen, ia orang yang simpel—tidak suka ribet. Ia pasti membungkuskan hadiahnya di kasir toko.
Seuntai kalung perak terlihat begitu kubuka tutup kotaknya. Liontin kecil dari permata berbentuk kepala kucing menggantung dengan manisnya, dengan paduan warna permata putih dan merah jambu.
Aku mendelik kegirangan, baru kali ini Allen memberiku barang yang begitu cantik. Senyum geliku tak bisa kutahan saat membayangkan seorang Allen, dengan sifat cuek dan menyebalkannya yang seperti itu, memasuki toko perhiasan dan memilih sebuah kalung untuk wanita. Aku harus mengiriminya e-mail setelah ini untuk mengucapkan terima kasih.
Setelah memakai kalung dari Allen dan puas memandanginya di depan cermin, segera kubuka bingkisan dari Jake. Aku membukanya perlahan-lahan, mengusahakan agar tidak ada sedikit pun bagian yang robek—mengingat Jake berusaha keras untuk membungkus hadiah ini dengan tangannya sendiri, walaupun sebenarnya aku agak tidak sabar untuk membukanya. Jake menempelkan terlalu banyak selotip hingga hampir tak ada celah antar kertas.
Setelah sekitar lima menit aku baru berhasil membukanya dengan rapi. Jake memberiku sebuah kamera polaroid berwarna putih, lengkap dengan album foto bergaya vintage dengan sampul hitam. Aku mendelik lagi, dua kakakku menghadiahkan barang-barang yang tidak murah. Aku berani bertaruh pasti Allen mengumpulkan tabungan dan Jake menggunakan uang gaji kerja sambilannya.
Aku menemukan secarik kertas catatan kecil di dalam kotak kamera. Rupanya Jake meninggalkan sebuah pesan.
SEMOGA BARANG INI TIDAK TERLARANG (AKU LUPA TANYA PADAMU). FOTOLAH SEPUASNYA, TEMAN-TEMANMU, ATAU APAPUN YANG BAGUS. GUNAKAN ALBUM FOTO UNTUK MENGUMPULKAN KENANGANMU DI SEKOLAH AGAR AKU, AYAH, IBU, DAN ALLEN JUGA BISA MELIHATNYA SAAT KAU PULANG.
-JAKE-
Aku mengangguk-angguk senang membaca pesan dari Jake. Idenya sungguh cemerlang. Aku mulai membayang-bayangkan dengan penuh semangat apa saja yang akan kupotret untuk mengisi album kosong itu.
"Apa kamera polaroid diperbolehkan, Serina?" tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangku, membuatku berjengit kaget. Ternyata Dara. Ia baru bangun, mengusap-usap mata sambil menatapku yang sedang mengutak-atik kamera polaroid pemberian Jake. "Bagusnya... warna putih."
"Err…" aku memikirkan jawaban yang tepat. "Aku tidak tahu. Aku belum mengeceknya di buku panduan Roxalen High."
"Hadiah?"
"Ya, dari kakakku."
"Oh…" Dara menatap bungkusan kado yang berserakan di sekitarku dengan tatapan ingin. "Kakakku satu-satunya bertugas di angkatan udara. Ia sedang dalam tugas waktu aku berangkat kesini."
"Kalian tidak bertemu?"
"Begitulah, Serina."
"Tenanglah, kalian bisa tetap saling memberi kabar, bukan?"
Dara mengangguk sambil tersenyum. Ia berjalan menuju rak buku kecil di samping ranjangnya, mencari sesuatu.
"Tidak ada, Serina," ujarnya tiba-tiba.
"Apa?"
"Larangan membawa kamera polaroid." Dara menunjukkan buku panduannya padaku.
Aku berjingkrak senang.
"Tentu saja. Roxalen High punya proteksi yang amat ketat untuk menjaga keberadaan kita. Jaringan internet terus diawasi secara ketat. Apa yang kau kirim, kepada siapa. Dan asal kau tahu, tak ada satupun jejaring sosial yang bisa dibuka di lingkungan Roxalen High."
Aku dan Dara menoleh.
Ternyata Martha juga sudah terbangun dan langsung menyerocos panjang.
"Bagaimana dengan aplikasi panggilan video?" tanya Dara dengan tatapan yang seakan menyorotkan keinginan untuk segera menghubungi kakaknya.
"Sama saja," jawaban singkat Martha seketika membuatku menyesal telah menghibur Ibu dengan janji akan melakukan panggilan video selama aku tinggal di asrama. "Satu-satunya jalan adalah e-mail, itu pun kau harus menggunakan e-mail sekolah akun kesiswaan Roxalen High.
"Kawasan internal Roxalen High diawasi dengan CCTV, tentunya jaringan CCTV Roxalen diproteksi dari jangkauan pihak luar. Jika kita sedang berada di luar lingkungan Roxalen, hingga jangkauan yang ditentukan, akan ada yang mengawasi dan melindungi kita jika ada bahaya," Martha menambahkan penjelasannya.
"Keren," Dara mendesis penuh antusias.
"Lalu kenapa kita tidak boleh membawa telepon seluler?" tanyaku. "Kau bilang Roxalen memproteksi jaringan internet, kurasa Roxalen bisa melakukan yang sama pada jaringan komunikasi yang lainnya."
"Ya, kau benar, Serina." Martha mengangguk sambil menggaruk-garuk pinggangnya. "Tapi radiasi dan gelombangnya terlalu besar. Itu dapat mengganggu salah satu sistem penting di Roxalen High."
Aku dan Dara menyorongkan badan. Menatap Martha dengan pandangan 'lanjutkan penjelasanmu!'
"Kalian mendengarku berbicara dengan bahasa Arab, tapi otak kalian menerima dengan bahasa masing-masing bukan?" Martha benar-benar bertanya dengan bahasa Arabnya. Aku dan Dara mengangguk-angguk mengiyakan.
"Oh, jadi sistem itu yang kau maksud, Martha?" Dara mengangguk-angguk.
"Apa itu?" aku bertanya seperti orang bloon.
"Apa pembimbingmu tidak menjelaskannya padamu, Serina?"
Aku menggeleng setengah malu. "Aku lupa menanyakannya."
"Tanpa kau bertanya, seharusnya itu sudah menjadi salah satu penjelasan dasar yang harus diberikan para pembimbing," Dara memberitahu. "Aku membaca poin-poin yang harus dijelaskan pembimbing, di lembar data orientasi siswa."
Aku menghela napas kesal. Huddwake berengsek.
"Baiklah, tolong jelaskan padaku."
Martha berdeham untuk menyiapkan suaranya.
"Jadi, sistem ini hanya bisa bekerja pada orang-orang berkemampuan spesial, dan hanya di dalam lingkungan Roxalen High. Diluar gerbang, sistem sudah tidak berfungsi."
Aku langsung teringat Fei Yang—cewek teman Anderson yang berambut bob kemarin. Ia berusaha berbicara bahasa Inggris padaku. Kami ada diluar gerbang saat itu. Andai sudah di dalam, pasti Fei Yang tidak perlu repot-repot menyapaku dalam bahasa Inggris.
"Cara kerjanya menggunakan alat khusus yang memancarkan gelombang halus yang frekuensinya sesuai dengan otak kita, para orang spesial. Pembicaraan yang kita tangkap akan langsung diterjemahkan ke dalam bahasa masing-masing hanya dalam waktu sepersekian detik."
Aku membelalak. "Tak sampai satu detik?"
Martha mengangguk mantap. "Dan perlu kau tahu mengapa hanya orang-orang spesial yang bisa menerima sistem ini."
"Karena saraf-saraf dan kapasitas otak kita berbeda dari orang biasa," Dara menyahut. Martha mengacungkan jempol.
"Baiklah…" Aku mengangguk-angguk seperti orang bego. "Begitu banyak yang kulewatkan. Kurasa aku perlu menuntut pembimbingku." Aku merengut sambil memunguti bungkus hadiah yang berserakan di karpet.
Martha dan Dara tertawa.
"Bisakah aku mengambil foto pertama dengan kalian?" pintaku.
"Yeah. Berilah judul: Bangun Tidur Kami Tetap Cantik." Martha meloncat dari tempat tidurnya dan mendekatiku, bersiap-siap untuk berfoto.
Aku tertawa dan segera mengambil foto kami bertiga. Kuposisikan diri di tengah-tengah. Aku menjerit ngeri ketika mendapati hasil fotonya, mataku setengah tertutup. Dara dan Martha tertawa terpingkal-pingkal melihat wajahku di foto. Jelek sekali kuakui, tapi ini akan jadi foto pertama yang kutempelkan di album pemberian Jake.
***
JANGAN BANYAK BERHARAP, AKU HANYA MINTA PRAMUNIAGA TOKO UNTUK MEMILIHKAN KALUNG TERCANTIK UNTUK GADIS SEUSIAMU.
-ALLEN-
Aku bersungut-sungut membaca balasan dari Allen. Rupanya aku sudah terlalu berbaik sangka padanya hingga berpikir bahwa ia sendiri yang bersusah payah memilihkan kalung itu untukku. Aku mengetik e-mail balasan untuk Allen sambil meneguk segelas susu vanilla hangat dari jatah sarapan pagi yang diantar ke kamar kami.
TETAP SAJA SEPERTINYA INI MAHAL, PASTI KAMU GAGAL MEMBELI LAPTOP IDAMANMU LAGI KARENA AKU. AKU SANGAT MENCINTAIMU. XOXO.
-SERINA-
Aku meng-klik tombol kirim sambil tertawa puas membayangkan Allen yang menjerit ngeri saat membaca balasanku yang seperti itu. Itulah trikku, melawan api dengan api.
"Astaga, kau masih juga di depan laptop?" Martha berkacak pinggang di sampingku. "Segera gantilah bajumu dengan seragam. Sudah jam delapan kurang dua puluh."
Aku mendelik. Masih ada dua puluh menit lagi dan aku hanya tinggal memakai seragam. Dara segera tanggap memberikan isyarat agar aku mengikuti perintah Martha sebelum aku membuka mulut untuk mengatakan apa yang baru saja aku pikirkan. Kelihatannya Dara sedang tidak ingin ada keributan sepagi ini dan aku pun berpikir demikian, jadi kuikuti saja isyarat Dara.