"Aku akan mengembalikan saputangannya," ujarku pada Dara.
Aku segera beranjak dari kursi dan berjalan menuju meja Huddwake dan Martinez. Mata Martinez menangkapku ketika aku hampir tiba di meja mereka. Martinez berbisik-bisik kepada Huddwake sambil tertawa mengejek. Seketika Huddwake menoleh ke arahku, menatapku tajam dari atas ke bawah sempurna tanpa menggerakkan kepalanya sedikitpun, cukup gerakan mata. Aku tetap berjalan sambil melengos melihat tingkah mereka berdua yang menganggapku seperti alien.
"Ada apa?" Martinez bertingkah seperti resepsionis kantor direktur yang menghadapi tamu asing, dengan kalimat klise 'sudah buat janji atau belum?'
"Ini kukembalikan." Kuabaikan Martinez dan kuletakkan saputangan Huddwake di mejanya. Martinez mendelik.
"Bagaimana bisa ada padamu?" Martinez bertanya padaku dengan marah.
"Dia yang meminjamkannya padaku." Aku mengangkat bahu.
Martinez menatap Huddwake dengan penuh selidik.
"Ada insiden kecil sewaktu adu kekuatan di orientasi." Huddwake menjelaskan, "Lagipula itu bukan saputangan pemberianmu. Kau tidak perlu marah."
Martinez mendengus kesal kemudian kembali menonton Sergei.
"Baiklah, aku pergi dulu," kataku pamit.
"Hanya itu?"
Aku menoleh pada Huddwake. "Apa?"
"Setidaknya kau berterima kasih padaku." Huddwake mengangkat bahu.
Aku mengerang kesal sambil menjejak-jejakkan kakiku ke lantai Roxy Café. Beberapa murid di sekitar meja Huddwake menatapku keheranan.
"Untuk apa? Aku tak mau," ujarku kesal. Aku berbalik, tak memedulikan Huddwake yang memanggilku. Dia pasti akan membaca pikiranku, aku tak perlu repot-repot menjelaskan lagi.
Suasana hatiku langsung berubah seketika, menjadi benar-benar tidak enak setelah bertemu mereka berdua. Enak saja menyuruhku berterima kasih, apa aku harus berterima kasih karena Huddwake dan Martinez selalu mengangapku bulan-bulanan mereka? Siapa yang mau?
"Kau kenapa, Serina?" Dara menatapku kebingungan.
Aku tidak menjawab pertanyaan Dara. Segera kutenggak sisa jus stroberiku dan beranjak dari kursiku. "Maaf, Dara. Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan," aku beralasan. Padahal aku tahu pasti mukaku panas, terlihat merah karena menahan kekesalan. Dan aku tahu Dara yang sensitif kelihatannya bisa membaca gelagatku.
"Aku ikut kembali ke asrama." Dara meraih dompetnya dan ikut beranjak.
Clark terbengong menatap kami. "Oh, sayang sekali aku harus melanjutkan sendirian."
"Maafkan aku, Clark."
"Tak apa, Serina." Clark mengibaskan tangannya. "Kalian berhati-hatilah."
Sergei menatapku dari panggung. Aku hanya memberikan isyarat padanya bahwa aku akan kembali ke asrama. Setelah aku pastikan dia mengerti, aku baru meninggalkan Roxy Café bersama Dara.
Sepeninggal kami dari Roxy Café, jalan menuju ke asrama sangat sepi. Aku jadi merasa tidak enak sendiri jika mendiamkan Dara.
"Maaf, sebenarnya tak apa kalau kau masih ingin di Roxy Café," aku membuka pembicaraan.
"Tak apa, lagi pula aku sudah selesai makan. Aku tak terlalu tertarik pada Sergei Ivanov."
Aku tertawa.
"Huddwake dan ceweknya membuatku kesal."
"Aku tahu."
Aku menelengkan kepala.
"Ayolah, Serina. Ada apalagi selain itu. Jika ketika kau berangkat untuk mengembalikan saputangan wajahmu masih biasa saja, tetapi sekembalinya? Kau seperti mayat hidup." Dara bergidik. Aku tertawa. "Apa kau mau aku bilang bahwa kau cemburu pada Martinez?"
Aku melotot pada Dara.
"Ayolah, aku cuma bercanda."
"Oke, kurasa aku perlu sedikit mengendorkan sarafku yang tegang," kataku sambil mengibaskan lengan bajuku, udaranya sedikit gerah.
"Bagaimana kalau kita berkeliling?" Dara mengajukan usul.
"Ke mana?"
"Ayo kita ke ruang administrasi sekolah," ajak Dara. Ia menyeretku berbalik ke arah Roxy Café.
Perutku sedikit bergolak ketika aku melewati Roxy Café, karena mengingatkanku pada pasangan menyebalkan yang masih duduk di kursi mereka. Aku masih bisa melihat Clark menonton penampilan grup Sergei, kelihatannya dia memesan makanan lagi untuk menemaninya di meja. Aku dan Dara segera melewati lorong bulat dan tiba di ruang administrasi Roxalen High.
Dara menyeretku ke salah satu lift di ruang administrasi.
Aku mengangkat alis. "Kita akan menggunakan lift?"
Dara mengangguk mantap. Lift berdenting dan pintunya terbuka. Kami masuk.
"Kita akan ke atas?" tanyaku lagi.
Dara menggeleng, ia menunjuk tombol lantai tujuan yang ada di depannya. "Tombol G menuju ke auditorium dan kelas, LG1 untuk asrama dan adminitrasi. Kau tidak penasaran apa yang ada di lantai LG2?" tanya Dara setengah berbisik. Sesekali ia mencuri pandang ke sudut atas lift, ke arah CCTV.
"Aku tak tahu kau punya jiwa petualang, Dara," ujarku sambil nyengir.
"Ayolah, kita baru berteman selama dua hari. Masih ada banyak hal lagi yang akan kau temukan pada diriku." Dara meringis.
"Apa ini aman?"
"Kalau ketahuan, kita pura-pura jadi murid baru yang tersesat."
Aku memutar bola mata, ternyata Dara konyol juga.
Lift berdenting dan kami pun tiba di lantai LG2.
"Pokoknya kita harus kembali sebelum jam malam, Dara," kataku sembari melirik jam tangan. Sekarang pukul setengah sebelas, masih ada satu setengah jam lagi sebelum lampu-lampu utama dipadamkan.
"Beres, ma'am." Dara kembali menyeretku menyusuri lorong bulat yang serupa dengan lorong dari ruang administrasi menuju Roxy Café. Benar-benar hening, hingga langkah Dara agak melambat, sepertinya ia mulai agak berhati-hati. Kini Dara berjalan beriringan denganku.
Ujung lorong terbagi ke dua arah koridor, dibuntu dengan ukiran logo Roxalen High dari perak. Ukurannya lebih besar daripada yang ada di ruang lift di balik panggung auditorium.
Aku dan Dara saling melirik.
"Ada usul?" Dara bertanya.
"Satu persatu, kita ke kiri dulu," aku asal bicara, hanya mengikuti naluriku yang mulai terbawa 'jiwa petualang' Dara.
"Oke."
"Apa kau ingat Titania teman sekelas kita?" aku mengoceh memecah keheningan. Kami berdua terus melangkah menyusuri koridor. Sisi-sisi koridor diberi tempat penyimpanan berupa cekungan dinding, untuk menyimpan berbagai medali, piala, dan sertifikat penghargaan yang diterima para murid.
"Yang dari Yunani itu?" Dara memastikan.
Aku mengangguk. "Yep, si peramal wanita. Aku membayangkan kalau dia sudah meramalkan kita bakal melakukan hal ini."
"Apa dia berbicara denganmu?"
"Tidak, hanya dia memandangiku lama sekali."
"Oh, Tuhan. Dia agak sedikit menakutkan."
Aku tertawa mendengus. Kami sudah berhadapan dengan tiga pintu besi yang berjajar. Begitu melihat mesin pemindai, aku langsung menepuk dahi.
"Ada apa?" tanya Dara kaget.
"Aku lupa. Aku tidak membawa kartu ID." Aku mendelik.
"Ya, ampun. Bagaimana kau bisa begitu ceroboh, Serina?" Dara menggelengkan kepalanya sambil mengeluarkan kartu ID dari dompetnya.
"Aku meletakkannya di dompetku."
Dara terdiam menatapku. "Lalu?"
"Aku bahkan tidak membawa dompetku," keluhku. "Oh, Tuhan…" Aku teringat sesuatu.
"Katakan padaku bagaimana kau membayar makanan di Roxy Café." Nada bicara Dara seperti sedang menahan tawa. "Kapan aku membayar? Kurasa aku juga belum bayar tadi." Dara mengangkat bahu sambil meringis.
"Kau juga ceroboh."
"Itu gara-gara kau, ratunya ceroboh."
"Oh, okelah. Kuharap Clark membayarkan tagihan kita." Aku menatap menerawang. Dara mendekatkan kartu IDnya ke depan sensor. "Besok kita harus menemuinya," tambahku.
AKSES DITERIMA.
Pintu bergerak perlahan.