webnovel

Asal usul?

Maling? Tidak mungkin, kamar ini terlihat normal, tidak acak-acakan samasekali. Juga, biasanya maling pakai pakaian seperti ninja. Sementara laki-laki itu, hanya celana pendek saja.

Orang gila? RSJ begitu jauh dari sini. Lagi pun tubuh laki-laki ini begitu bersih, wangi pula. Apakah pelayanan RSJ sebaik itu? Ah, nyatanya Rosie tidak tahu pelayanan RSJ yang sebenarnya seperti apa.

Identitas laki-laki ini masih tanda tanya besar!

Selang beberapa saat, otak gadis kembali berputar, berpikir bagaimana bisa seorang laki-laki-tampan pula-memasuki kamarnya dengan mudah.

Rosie secepat kilat menuju jendela, kemudian terbuka tirai itu terlebih dulu, lalu memeriksanya.

Semua kunci jendela kamarnya tidak terbuka ataupun rusak. Sementara itu yang dia dapatkan.

Selanjutnya dia memeriksa jendela kecil di kamar mandi. Namun hasilnya tidaklah jauh berbeda, terkunci rapat.

Kamar Rosie benar-benar terisolasi!

Dari semua penyelidikan individual yang dilakukan gadis utu. Hasilnya sangatlah membingungkan untuk dijadikan kesimpulan.

"Ya sudahlah nanti saja!"gumam Rosie .

Tak lama mata gadis cantik memicing ke arah tempat tidur, memperhatikan pemandangan yang menurutnya cukup aneh di sana. Tampak sebuah aksesoris tergeletak di atas tempat tidurnya, seperti bando.

Dengan cepat diambil olehnya benda itu. Ternyata benda tersebut adalah bando berhiaskan telinga kelinci, yang keberadaannya tak jauh dari tempat bekas laki-laki itu sebelumnya.

Mungkinkah?! Batin Rosie mulai berpikir tentang asal-usul pria itu.

Satu hal lagi yang cukup aneh. Gadis itu tidak merasa pernah membeli bando dengan bentukan seperti itu, kecuali waktu kecil. Itu pun semua aksesoris nya sudah disalurkan ke panti asuhan lima tahun yang lalu.

Ada dua kemungkinan yang ada di otak Rosie.

Pertama, laki-laki itu pasien rumah sakit jiwa yang kabur.

Sebenarnya malu untuk mengakui praduga kedua yang ia buat. Rosie berpikir laki-laki itu adalah jelmaan kelinci yang ditemukannya.

Gadis itu menggeleng tak setuju dengan praduga terakhir. Hal yang benar-benar tidak masuk akal.

Agar hatinya tenang, dia pun mencari kelinci kemarin di setiap sudut kamar.

Benar saja, tidak ada tanda-tanda keberadaan hewan itu di sana. Bahkan jejak pun tidak ada, misalnya ada barang-barang yang jatuh karena lompatan hewan mamalia itu. Tempat ini benar-benar rapi, tidak berubah samasekali.

"Masa iya?!" gumamnya sembari menggaruk kecil kepala.

Rosie mengambil bando itu lagi kemudian memperhatikannya dengan lekat, nampak sama seperti bando yang dijual di online shop, hanya saja bando yang sedang dia pegang tampak begitu bersinar, seperti terdapat sihir didalamnya.

Rosie mulai tak habis pikir dengan kejadian aneh itu. Tanpa disadari dirinya mulai percaya bahwa laki-laki itu adalah jelmaan kelinci.

Dia memandang jendela terbuka, melihat cahaya oranye dari arah timur, sepertinya sebentar lagi matahari akan terbit. Hampir saja dirinya terlupa dengan alat-alat tulis yang belum ia siapkan. Fokusnya pun jadi teralihkan.

Gadis itu pun segera turun dari kasur dan menyiapkan segalanya dengan cepat, kemudian mandi lalu sarapan di bawah.

Biasanya pagi-pagi dia melihat Mang Kirman, sang supir, duduk di atas kursi samping pintu keluar dapur sambil minum kopi dan makan kudapan. Namun pagi itu suami Lia itu tak tampak batang hidungnya.

"Bi, Mang Kirman gak ada?!" tanyanya sambil celingukan. Tak lama, dia pun melahap nasi gorengnya kembali.

Bukan karena kepo, sebelumnya Rosie berencana untuk memeriksa cctv rumah setelah itu, dengan batuan Mang Kirman.

Di sana Lia yang tengah sarapan pagi pun menjawab,"Mang Kirman lagi benerin cctv non! Kemarin koslet, kena petir!"

Rosie mengerutkan dagu, sepertinya dia tidak bisa mengandalkan cctv rumah untuk menemukan jawaban asal-usul kelinci itu.

"Non mau berangkat sekarang?" tanya Lia kerena gadis itu menanyakan sang suami yang bekerja sebagai sopir pribadi Keluarga Allen.

"Bentar lagi," jawab Rosie masih dengan raut wajahnya yang tengah berpikir, berpikir keras.

"Ya udah, Bibi panggil dulu Mang Kirman nya!" Gadis itu mengangguk seraya memperhatikan kepergian Lia sejenak. Pandangannya memberi sedikit penilaian pada pembantu baru di rumahnya yang baru itu.

Pukul 06:30 pagi, mobil mewah berwarna putih sampai di depan gerbang sekolah.

"Papa malam pulang gak mang!" tanya Rosie sambil memperhatikan beberapa murid yang berlalu lalang sejenak dari jendela kaca mobil.

"Pulang non, cuma hampir tengah malam."

Panggilan dariKirman memang berbeda, lebih khas bahasa Indonesia. Sedangkan Lia campur-campur, kadang 'Non' dengan aksen sunda atau panggilan khas sunda yaitu 'Neng'. Rosie cukup senang karena kepindahannya, dia bisa tahu satu suku dari ratusan suku di Indonesia.

"Berangkat nya pagi juga?" tanyanya lagi kembali ke topik utama.

"Iya non, jam tiga pagi!" jelas Kirman.

"Astaga. Papa kerjanya apa sih? jualan kembang tujuh rupa?!" Batin gadis itu kesal. Namun sampai sekarang dia belum berani memperlihatkan kekesalannya pada sang papa, dan memilih untuk dipendam sendiri saja.

"Pulang nya dijemput Non?!"

"Mmm, gak usah mang. Mau naik taxi online saja. Takutnya mang Kirman di panggil papa dari kantor!"

"Siap Non!" balas Kirman mantap.

***

Terduduk di ruang BK, pikiran Rosie  tidak lepas dari kejadian pagi hari tadi, dimana secara tidak terduga muncul seseorang laki-laki yang -ehem- tampan di kamarnya. Bahkan dia sampai melupakan tatapan murid-murid di sekolah barunya ketika dirinya lewat, berjalan menuju ruang BK, sesuai dengan arahan dari kantor.

Kini gadis itu tengah menunggu wali kelasnya yang kebetulan sedang berada di ruang BK.

Entah calon wali kelasnya itu adalah seorang BK, atau dia punya anak murid yang berurusan dengan BK, Rosie tidak menahu soal hal itu.

"Iya nanti saya nasehati anak-anak didik saya." Guru BK mengangguk.

"Kamu Rosie anaknya pak Allen kan?!" tanya Lira basi basi di sela langkahnya setelah keluar dari ruangan itu bersama dirinya.

Rosie berpikir, apa papanya menghubungi Bu Lira sebelumnya? Apa yang dikatakan papa mengenai dirinya? Dia cukup penasaranm Sebanyak apakah sang papa mengenal dirinya.

"Iya Bu," jawabnya merasa canggung.

Kelas MIPA 3 tampak cukup riuh dan tampak tidak kondusif. Tapi setelah Lira dan Rosie masuk, siswa-siswi langsung menghentikan aktivitasnya dan duduk dengan rapi secepat kilat.

Di sana beberapa murid khususnya siswa mulai berceloteh dengan mulut mereka, mungkin karena kedatangan murid baru.

"Wah, cantik euy," celetuk salah satu murid.

"Nambah bidadari nih."

"Dasar mata keranjang!" gertak salah satu siswi karena risih.

"Iri? Bilang!" balas salah satu siswa tidak diterima dengan gertakan itu.

"Sudah-sudah!" Lira memberikan instruksi dengan memukul-mukul meja didepan, dan hal itu membuat kondisi kelas hening seketika.

"Anak-anak hari ini kelas MIPA 3 kedatangan murid baru," info Lira kepada murid kelas MIPA 3.

"Silahkan perkenalkan dirimu." Wanita itu mempersilahkan sang murid baru.