Desember, 2011
Rumah dengan bangunan sederhana itu terlihat ramai oleh orang-orang yang berpakaian hitam. Bising tangis yang terdengar dari orang-orang yang datang, tak membuat gadis dengan wajah manis yang duduk di kursi kayu pada sudut ruangan—ikut larung dalam duka yang mendominasi sekelilingnya. Meski kesedihan yang didengar bagai melodi menyayat hati dalam lagu-lagu pengantar tidurnya.
Pandangannya menatap kosong pada orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya. Pada mereka yang berpakaian serba hitam dengan raut wajah penuh kesedihan. Kemudian tatapannya beralih pada kakak perempuannya yang sedang menangis tersedu disamping tubuh yang sudah terbujur kaku dihadapannya. Ketika orang-orang mengangkat tubuh dalam balutan kain putih polos itu, ia masih tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Bahkan tak ada airmata yang menetes dari kedua sudut matanya. Hanya sebuah raut wajah yang sulit dijelaskan dengan tatapan kosong—memandangi lantai dibawah kakinya.
Dia tahu, dia cukup dewasa untuk mengerti apa yang hari ini terjadi pada orang tercintanya. Dia bukan anak kecil lagi yang tak bisa memahami arti dari kesedihan orang-orang terdekatnya. Dia cukup memahami bahwa saat ini ia telah ditinggalkan. Namun, di hari yang paling basah ini. Tak ada emosi tersirat dalam raut wajahnya.
Tak ada airmata yang mengalir dari kedua sudut matanya saat melihat tubuh seseorang yang dipanggilnya ibu selama lima belas tahun ini, dimasukkan ke dalam keranda oleh orang-orang. Bahkan ketika liang lahat menelan tubuh wanita yang paling dicintainya, dia masih bergeming dengan raut wajah yang sama.
Namun, disaat yang bersamaan pula. Ada sesuatu yang mencoba mendobrak keluar dalam dirinya, sesuatu itu seolah sedang mencengkram hatinya dengan sangat kuat, hingga membuatnya sesak napas. Dunia yang dia tempati seakan runtuh saat menyadari bahwa seseorang yang melahirkannya telah tiada. Tak lagi menghirup oksigen yang sama dengannya. Tak ada lagi dibawah langit ataupun berpijak diatas bumi yang sama. Dia baru menyadari, bahwa ia telah kehilangan. Kehilangan seseorang yang paling berharga.
Semua manusia sudah diberikan kesempatan yang sama perihal waktu. Namun, mereka tak pernah menggunakan waktu yang diberikan sebaik mungkin. Hingga pada akhirnya, saat segalanya telah menghilang dan pergi, yang tersisa hanyalah dinding dingin yang bernama penyesalan.
Sesekali otaknya sedang berusaha mencerna akan apa yang terjadi. Namun sekali lagi, dia tak menemukan ujung dari puluhan pertanyaan yang berlalu lalang dalam benaknya. Semuanya bagai benang kusut yang tak menemukan titik akhirnya. Ketika satu persatu orang-orang meninggalkan gundukan tanah didepannya. Dia masih bergeming tanpa melakukan apapun, bahkan suara orang-orang disekitarnya seakan hilang. Hanya keheningan yang kini mengelilinginya. Hingga pada akhirnya, kalimat seseorang disampingnya, seperti mengakhiri segalanya.
"Rin, ayo pulang." Panggilan lembut itu tak mampu menarik kesadarannya kembali. "Ibu sudah pergi, kita ikhlasin yaa." Riana berujar masih dengan bekas air mata di wajahnya. Ia berusaha menyadarkan kembali adiknya, namun gadis remaja itu masih bergeming di tempatnya.
Rinjani sebenarnya mendengarkan. Namun, ia menolak menerima apa yang ditangkap oleh indra pendengarnya. Menolak kenyataan yang terbentang dikedua matanya dengan begitu jelas. Bibirnya pun hanya bungkam seribu bahasa. Tubuhnya hanya diam tak bergerak sedikitpun.
Ketika ia menatap sekelilingnya, pandangannya mulai kabur. Entah karena airmata yang perlahan menggenangi pelupuk matanya, ataukah karena otaknya sedang tidak berjalan dengan semestinya, atau mungkin karena rasa sakit yang kini mencengkram kuat dadanya, membawa airmata turun membasahi pipinya. Bersamaan itu pula, kegelapan merengkuh penglihatannya. Menarik kesadarannya jauh hingga ke dasar, membawanya terombang-ambing dalam ketidakpastian.
***RINJANI***
Rinjani terbangun ketika matahari mulai tenggelam ke dalam peraduannya. Namun, ia merasa terbangun dari tidur yang panjang dan berkeliaran ditengah mimpi buruk yang menyeramkan. Memikirkan akan hal itu, Rinjani segera beranjak menuju ruang tamu, tempat biasa seseorang yang ada dalam pikirannya duduk menghabiskan sebagian waktunya dengan memandangi layar persegi yang menampilkan berbagai macam potongan gambar dan adegan.
Menurut Rinjani, tidak ada acara yang cukup menarik perhatiannya dalam tampilan layar tersebut. Hanya menyajikan acara-acara rendah kualitas, gosip murahan para publik figur, dan lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas siaran, hanya demi meningkatkan keuntungan komersial semata, tanpa memperhitungkan kualitas yang disajikan untuk masyarakat.
Rinjani menghentikan langkahnya, ia seolah sedang menyadari sesuatu. Ketika ia benar-benar mengingat apa yang terjadi, dia tersenyum pedih dalam hati.
Rinjani menghembuskan napas panjang, berusaha menjernihkan pikiran dan menenangkan kemelut hatinya—ia kembali berjalan.
Pandangannya teralih pada pria tua yang sejak tadi duduk tak jauh dari tempatnya berdiri—membuat pusat perhatiannya kini terfokus sepenuhnya pada apa yang dilakukan pria tua itu. Raut wajah yang terlihat tegar, senyum palsu yang terlukis di sepasang bibir pucatnya, serta kalimat penenang yang terlontar dengan nada sumbang, tak membuat dirinya tertipu pada topeng yang dipasang dengan sempurna oleh pria tua itu.
"Rin, sudah bangun?" Pertanyaan dari pria dewasa yang berdiri di sampingnya tak membuat kesadarannya kembali berpijak pada nyata. Saat ini yang ada dalam dunianya hanya bayangan sebuah senyuman hangat seorang wanita dengan tutur kata lembutnya. Bayangan itu menari-nari dalam benaknya, seakan hal itu sedang terjadi di depan matanya.
Melihat tak ada tanggapan dari adik perempuannya, Raka menepuk pelan pundak Rinjani. Menyadarkan gadis itu.
"Kamu mau makan?" Gadis berusia lima belas tahun itu berjengit. "Kamu belum makan sama sekali sejak pagi." Pria itu menatap Rinjani sembari menunjukkan senyum terbaiknya, berharap adik perempuannya itu pun ikut tersenyum tanpa beban.
"Makan nanti saja, kak." Rinjani menatap Raka sekilas lalu berpaling ke arah lain. Perhatiannya kembali tertuju pada pria tua yang kini sedang berbincang dengan salah satu anggota keluarga mereka yang datang dari luar kota.
Menyadari tatapan sayu Rinjani. Raka menghembuskan napas panjang. "Ibu udah tenang disana, jangan khawatir. Rinjani masih punya kita," bisik kakaknya dengan suara lembut menenangkan.
Namun, kata-kata itu justru menohok ulu hatinya. Menyentak lamunan panjangnya. Menciptakan lubang menganga lebar dalam rongga dadanya. Dia seakan ditarik paksa untuk menyadari realita yang sudah terbentang jelas di depan matanya.
Sebuah realita yang menyadarkan dia bahwa kehilangan adalah salah satu fase yang paling menyakitkan. Fase dimana manusia harus menyadari bahwa setiap kehidupan pasti akan ada kematian, dan setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Ini adalah saat dimana hati harus dituntut untuk bisa menerima garis takdir Tuhan, tanpa sebuah cacian melainkan dengan penuh keikhlasan.
"Rin nggak apa-apa kok." Gadis itu berusaha mendapatkan seulas senyum riangnya kembali, meski itu artinya, dia sedang meremas hatinya sendiri. "Aku belum lapar, kak. Rinjani kembali ke kamar saja." Gadis beriris hitam bening itu berbalik, berjalan pelan menuju kamarnya. Raka hanya bisa memandang punggung adiknya sembari menghembuskan napas berat.
Seno yang melihat keduanya, berjalan menghampiri Raka yang masih berdiri ditempatnya.
"Adikmu sudah bangun?" tanyanya yang dibalas dengan anggukan lemah dari Raka.
"Rinjani sepertinya masih terguncang karena kepergian ibu." Raka menatap sedih pada pintu kamar Rinjani yang tertutup rapat.
Seno menghembuskan napas panjang. "Biar bapak yang bicara sama dia." Seno menepuk pelan pundak putranya lalu berjalan menuju kamar Rinjani.
"Rinjani?" Dengan gerakan pelan, Seno membuka pintu kamar putri bungsunya dengan hati-hati.
Rinjani yang menyadari kedatanganya, menghapus sisa airmata yang mengalir di wajahnya. Dia meletakkan bingkai foto ibunya kembali ke atas meja dengan cepat.
"Bapak tahu Rinjani masih sedih. Nggak apa-apa kalau Rinjani menangis." Seno mendudukkan tubuhnya di sisi Rinjani.
Pandangannya tertuju pada bingkai foto mendiang istrinya. Ada sesak yang kembali menghampirinya, menyadari wanita yang telah lama mendampinginya itu telah tiada.
"Rinjani," panggil Seno. Dia meraih tangan Rinjani dan menggenggamnya erat. "Bapak tahu kamu anak yang kuat. Ibu pasti tidak ingin Rinjani terus bersedih seperti ini."
Rinjani yang sedari tadi menunduk, perlahan mendongak, menatap pria yang telah memasuki usia senja itu dengan nanar.
"Semua orang nanti juga akan pergi, Rinjani. Tidak ada yang akan tinggal selamanya. Karena begitulah roda kehidupan ini berputar." Seno membelai puncak kepala Rinjani dengan lembut. Dari ketiga anaknya, Rinjani adalah sumber kekuatan terbesarnya.
"Rinjani tidak berani menangis, karena Rinjani tahu, bapak yang lebih merasa kehilangan dan bersedih. Karena itu, Rinjani seharusnya bisa menjadi sumber kekuatan untuk bapak. Maafkan Rinjani, pak.."
Mendengar kalimat itu, hati Seno tersentuh. Ditatapnya dengan lekat putri bungsunya untuk beberapa lama.
"Rinjani kembali tersenyum dan ceria lagi itu sudah menjadi sumber kekuatan dan semangat untuk bapak." Seno tersenyum lebar, ia mengacak gemas rambut Rinjani hingga berantakan.
"Berantakan, bapak," seru Rinjani dengan nada protes.
Seno tertawa pelan. "Naahh, kalau Rinjani tersenyum seperti ini 'kan bapak senang," ujarnya kemudian memeluk putri bungsunya dengan erat.
Untuk saat ini, dia akan menekan semua kesedihannya atas kehilangan, karena ada hal yang jauh lebih penting dari perasaan kehilangannya, adalah senyum di wajah putri bungsunya. Senyuman itu harus tetap terbit secerah matahari.
***RINJANI***
"Mbak Riana hari ini mau pulang?" Rinjani yang baru pulang sekolah, mendapati kakak tertuanya sedang membereskan barang-barangnya. Ia sedikit melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Lalu, mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tamu yang berdekatan dengan kamar Riana, sehingga Rinjani bisa melihat apa yang sedang dilakukan oleh kakak perempuannya.
"Iya, mbak Riana udah menginap satu minggu disini. Kasihan anak-anak kalau ditinggal lama-lama." Riana mengecek kembali barang-barangnya. "Raka juga besok udah mau balik lagi ke luar kota." Riana berpaling memandang Rinjani sejenak. "Mbak ataupun mas Raka, sudah memutuskan supaya mulai besok, kamu akan tinggal di rumah mbak."
Kalimat itu membuat Rinjani yang sedang melepas sepatunya, terhenti. Dia sejenak tertegun mendengar kalimat Riana.
"Rin?" Hening. Tak ada jawaban.
"Rinjani?" Panggil Riana untuk yang kedua kalinya.
"Gimana kalau Rinjani nggak mau? Rinjani mau tetap dirumah ini," sahutnya pelan dari ruang tamu. Airmukanya kini perlahan berubah keruh.
Riana menghela napas panjang. Ia menutup kopernya, lalu berjalan menghampiri Rinjani diruang tamu. "Mbak nggak bisa ninggalin kamu sendirian di rumah ini. Siapa yang bakal merawat kamu dirumah?" Riana menatap adik perempuan satu-satunya dengan khawatir.
"Rinjani sudah besar, mbak!" Rinjani sedikit mengeraskan nada suaranya. Ada perih menjalari hatinya saat Riana memintanya untuk tinggal bersamanya. Ada terlalu banyak hal yang tak bisa ia tinggalkan di rumah ini. Rinjani tidak sanggup melakukannya.
"Rinjani," panggil Riana dengan lembut. "Mbak Riana, mas Raka ataupun bapak, hanya ingin kamu kembali melanjutkan hidup. Kita semua harus melanjutkan hidup, Rinjani."
Rinjani menatap Riana dengan kedua mata berkaca-kaca. "Tapi, Rinjani nggak mau ninggalin rumah ini. Rinjani nggak mau kemana-mana." Gadis lima belas tahun itu berujar tegas. "Kalau mbak Riana minta pada Rinjani untuk melanjutkan hidup, Rinjani sedang melakukannya, mbak. Tapi jangan minta Rinjani untuk meninggalkan rumah ini. Rinjani nggak mau!" Rinjani menghapus kasar airmata yang entah sejak kapan sudah membasahi kedua pipinya.
"Rin..." Panggilan dengan nada lembut itu seakan membuat ketegangan antara Rinjani dan Riana sedikit mengendur. "Lanjutkan beres-beres kamu, Dani sebentar lagi akan menjemputmu," ujar Seno pada Riana dengan pembawaannya yang tenang.
"Baik, pak." Riana berbalik pergi, berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Rinjani dan Seno berdua di ruang tamu.
"Bapak akan kembali ke Surabaya. Mas Raka juga, dan bapak nggak bisa biarkan kamu tinggal di rumah sendirian. Kalau kamu di rumah mbak Riana, bapak bisa tenang, setidaknya ada yang menjaga kamu saat bapak diluar kota."
Rinjani terdiam, kedua tangannya yang saling tertaut, meremas dengan kuat. Menahan sesak yang perlahan menghimpit dadanya.
"Rinjani masih ingin tinggal di rumah, bapak. Rinjani nggak mau kemana-mana," bisiknya dengan suara parau, ia menatap Seno dengan sendu.
"Bapak tidak mengizinkan, begitu pula dengan kakak-kakakmu yang lain. Siapa yang akan menjagamu disini?" tanya Seno lagi dengan tatapan lembut.
"Ada bibi Retno. Rinjani nggak sendirian kok disini." Rinjani membalas dengan nada membujuk.
Seno menghembuskan napas panjang menghadapi kekerasan hati putri bungsunya. "Bibi Retno juga punya keluarga sendiri, yang pastinya, tidak bisa selalu menjaga Rinjani terus-menerus."
Rinjani menunduk dengan wajah menahan tangis. Dia memilih diam dengan pikiran dan hati berkecambuk.
"Nenek dan ibu sudah tidak ada. Tidak ada yang merawat Rinjani di sini. Akan lebih baik Rinjani ikut bersama mbak Riana. Kamu juga akan punya teman, ada Risa dan keponakanmu yang lain." Kata-kata Seno hanya terdengar samar dalam telinganya. Indra pendengarnya tiba-tiba tak berfungsi dengan baik.
"Rinjani bisa 'kan memenuhi permintaan bapak ini?" Rinjani mendongak, menatap wajah yang dipenuhi keriput itu dengan hati sedih. "Baik, pak." Gadis itu kemudian mengangguk dengan berat hati.
Rinjani berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Dia tidak ingin membuat Seno mencemaskannya, dia akan bersedia tinggal bersama kakak perempuannya. Dan memulai hidup dari awal lagi. Ya, mungkin dia bisa melakukannya dengan tinggal bersama kakak perempuannya.
****RINJANI****
Satu pesan yang ingin saya sampaikan dichapter satu ini.
"Kesedihan itu nggak akan bertahan lama, jadi jangan khawatir. Begitu pula dengan kebahagiaan, nggak bakalan tinggal selamanya. Jadi, untuk kita, tetap bersyukur dengan apapun yang kita miliki saat ini.."
Salam sayang
-RYN-