webnovel

Suatu Petang di Rumah Singgah

Sejak peristiwa itu Garsini sering menghindari dokter Zidan. Ibunya merasa keheranan, lantas menanyakan perubahan sikapnya.

"Gak ada apa-apa, Mama. Sudahlah, Mama jangan memikirkan hal sepele begini."

"Lho, kok sepele, sih? Kita sudah banyak berhutang budi kepada dokter Zidan dan keluarganya. Tidak sepantasnya kamu bersikap seperti itu."

"Jangan diributkan Mama, malu, ah!"

"Kenapa malu?"

"Mama, mohon, dengar, ya?" ujar Garsini serius. "Penampilan orang itu suka mengecoh mata, Mama. Lagian, kita ini siapa dan mereka itu siapa, Ma?"

"Status sosial kita gak jauh beda dengan keluarga Qania. Bapaknya pensiunan kolonel. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Sementara ayahmu seorang dosen aktif. Mama begini-begini kan bisa cari nafkah sendiri. He, jangan merasa minder begitu, Sayang," hibur ibunya.

Garsini terdiam. Dia tak ingin mengungkapkan kenyataan di luar pengetahuan ibunya. Bahwa ayahnya tak seperti ayah teman-temannya. Ayahnya sangat pelit kepada anak dan istri. Seingatnya untuk mendapatkan barang yang diinginkan, dia cuma berani meminta kepada ibunya.

Seperti saat lulus SMU dia ingin sekali punya komputer. Mamalah yang sibuk siang dan malam begadang mengetik novel. Barulah kemudian membeli komputer dari honorarium novelnya itu.

"Selama ini," cetusnya selang kemudian. "Aku sering merasa paling miskin di antara teman-teman. Uang saku pas-pasan, baju bisa dihitung dengan jari, tas yang sudah bertahun-tahun, rombeng! Maaf, ya Mama, bukannya aku gak puas. Sungguh! Keadaan kita selama ini yang bikin hatiku merasa berbeda dengan keluarga Qania. Mohon Mama mengertilah…"

Begitu ditinggal sendirian, wanita itu menerawang ke langit-langit kamarnya. Ia sendiri lupa, sejak kapan ketidakharmonisan itu dimulai. Mungkin sejak ia melahirkan Garsini, sikap suaminya berubah. Apalagi setelah kelahiran adik-adiknya, begitu pilih kasih terhadap mereka. Begitu cemburu, curiga. Semuanya menjadi rumit.

"Aku tak bisa mengendalikan semuanya lagi," kesahnya pilu.

Karena Bang Tompel bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit, maka Qania memutuskan dia harus dirawat oleh seorang dokter. Zidan bersedia mengobatinya. Tapi karena kesibukannya di rumah sakit, dia hanya bisa mengunjunginya dua hari sekali.

Selanjutnya Garsini yang hampir saban hari telaten merawat lukanya. Hal itu membuat hubungannya dengan Bang Tompel menjadi akrab. Bang Tompel acapkali dengan bangga mengaku sebagai kakak Garsini.

Tak bisa disangkal, di tempat inilah Garsini merasa menemukan jati dirinya, tanpa harus memasang topeng pura-pura. Bukan sebagai seorang mahasiswi, orang terpelajar yang kaya prestasi. Melainkan sebagai seorang anak perempuan berumur tujuh belas yang tampil apa adanya.

Mereka menghargai dan menghormati Garsini tanpa memandang latar belakang kehidupan gadis itu.

Di sinilah dia merasakan sesuatu yang tak pernah dia alami sebelumnya. Ini sangat, sangat menyenangkan hati!

Dua minggu sejak peristiwa dicluritnya Bang Tompel oleh si Mas Sableng.

"Luar biasa! Bagaimana mungkin bisa secepat ini sembuhnya, Bang? Apa dikasih ramuan lain atau obat kampung barangkali?" tanya Zidan.

"Selain injeksi anti tetanus dan obat-obat antibiotik dari saya tentunya."

"Hehehe, penasaran kaaaan?" sahut Bang Tompel.

"Ya, iya, ini hebat sekali. Cepat sembuhnya nih." Zidan berdecak-decak takjub.

"Waah, itu sih rahasia perusahaan. Iya, kan, Neng Garsini?"

Bang Tompel terkekeh-kekeh sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Garsini. "Ada-ada saja Abang memuji orang kebangetan," tukas Garsini tersipu.,

"Serius kok, Neng! Berkat ketelatenan Neng Garsini. Terima kasih banyak, ya, Neng? Semoga Allah membalas segala kebaikan Neng ini."

"Amiiin," sambut Zidan dan Komeng, kompak.

Garsini hanya mesem-mesem. Wajahnya merona, kelihatan semakin cantik saja.

"Iye, nih, Neng. Kite cuman ngerepotin Neng aje," ucap Mpok Rinah.

"Saya suka melakukannya, Mpok," kata Garsini jujur.

"Mulai ini hari, Neng kagak usah saban hari lagi datangnye. Neng udeh banyak kesibukannye...."

Garsini mendadak merasa seperti tak disukai lagi.

"Iye kan, yeee? Belum lagi ngurusin ibunya nyang sakit, adik-adiknye, kuliahnye…."

"Masih boleh mampir ke sini kan, Mpok, Bang?" pinta Garsini terdengar serius.

"Aku suka main di sini, gaul dengan semuanya...."

"Ooh, ya tentu aje boleh, boleeeh!" sambut Bang Tompel dan Mpok Rinah serempak.

Selain dengan keduanya Garsini juga sudah akrab dengan para penghuni lain.

Asep sering minta diajari membaca, menulis dan metematika.

Komeng suka minta dilatih taekwondo. Seperti yang terjadi petang itu, Komeng melongok ke kios Bang Tompel.

"Kebetulan ada Teh Garsini. Mumpung kelihatannya lagi nyantey, kita latihan jurus baru yang kemarin itu, bagaimana?" pintanya.

Tanpa mengingat keberadaan Zidan, gadis tomboy itu langsung saja menyanggupinya.

"Ayolah!" katanya sambil meloncat dari kios dengan penuh energik.

Tentu saja gerak-geriknya yang serba ringkas dan praktis itu membuat Zidan tercengang-cengang.

"Begitulah dia, dokter!" kata Bang Tompel, melihat keheranan dokter muda itu.

"Kita tonton mereka dari pinggir lapangan itu, yuuk?" ajaknya pula. Zidan mengiyakan.

Tak berapa lama kemudian di tanah kosong pinggir rel kereta. Garsini memperagakan jurus-jurus taekwondonya kepada Komeng.

Pemuda tanggung itu memperhatikan dengan sangat serius.

Sementara dari arah seberang rel kereta, tempat para tukang sate dan bekas teman-teman si Mas Sableng. Tampak beberapa lelaki dan perempuan ikut nonton pertunjukan gratis itu.

Para perempuan segera riuh menyemangati Garsini. Sedangkan dari arah rumah singgah ada Bang Tompel, Mpok Rinah, Asep dan anak-anak lainnya.

Tak ketinggalan Zidan yang nongkrong di sebelah Bang Tompel.

"Apa gak bakalan dianggap pamer kekuatan sama mereka di seberang sana, Bang?" tanya Zidan khawatir.

"Maksud dokter?" Bang Tompel meliriknya tak paham.

"Yah, tempohari kan ada insiden Kalian dengan mereka. Bagaimana perkembangannya? Apa mereka sudah menemukan Mas Sableng yang terkenal itu?"

Bang Tompel lagi-lagi tergelak senang.

"Jangan takut, dokter. Mereka sudah minta maaf, ganti rugi segala. Lumayan buat nombok makan anak-anak."

"Begitu, ya, syukurlah...."

"Oya, si Mas Sablengnya buron. Tahu ke mana tuh!"

"Alhamdulillah," ucap Zidan merasa lega. "Jadi kita damai-damai saja ceritanya, ya?"

"Hahaha…, iya lah! Kite mah wong cilik, maunye damai-damai aje! Emangnya para elit politik di atas sane kerjaannya ribut melulu!"

Bang Tompel seperti ada jalan untuk meletupkan uneg-uneg hatinya.

Kalau sudah begitu biasanya keluarlah logat Betawi yang kental.

"Padahal nyang suseh mah kite-kite, nih, wong cilik nyang di akar rumput. Bilangin ngape, dok, ame orang-orang di atas sane jangan ribut melulu gituh. Urusin kepentingan rakyat banyak. Ini mah ape, coba?""

"Rusuh melulu, gak aman melulu. Harga-harga naek melulu. Kalau dipikir-pikir mendingan juga balikin lagi kayak dulu. Eeh, tapi entar dibilangin anti reformasi, ye, dok? Suseh deh, suseeeh!"

Zidan cuma mesem-mesem mendengarnya. Bang Tompel mewakili sebagian besar rakyat kecil. Omongannya banyak benarnya. Kerusuhan di mana-mana, suhu politik terus membara.

Gonjang-ganjing tak karuan. Sementara ekonomi rakyat semakin terpuruk, carut-marut. Harga-harga terus melangit. Obat generik ikut-ikutan naik harganya.

Tiba-tiba dari arah jalan raya tampak rombongan Qania. Mereka berpenampilan hampir mirip. Busana muslimah, gamis longgar dan jilbab lebar polos. Mereka baru pulang bakti sosial di kawasan Kober.

Masih mujur mereka tak memakai jaket almamater. Kalau pakai jaket kuning tentu orang mengira mereka baru pulang demonstrasi.

"Wah, dokter Zidan udeh ade nyang jemput, tuuuh!" Mpok Rinah menyindir dalam kiosnya.

"Adik saya mah, bukan mau jemput abangnya, Mpok. Kunjungan rutin. Nengokin anak, kan?" balas Zidan.

"Jeeeh, siape lagi nyang bilang adiknye? Pacarnye tuh, dok, pacarnye, tuuuh!"

"Siapa, Bang?" tanya Zidan melirik lelaki yang sedang asyik merokok di sampingnya.

"Mbak Sintia lah, dok, emang sape lagi? Iyeh, kalian aje, nih. Ape bener die itu pacarnye dokter? Padahal menurut aye, mah, mendingan juge ame Neng Garsini, dokter!"

"Ho-oh, dok. Neng Garsini orangnye baik banget. Gak kayak Mbak Tia. Galak, judes. Mulutnya ember banget deh, ah!" sambar Mpok Rinah seketika menghampiri keduanya.

"Mbak Tia suka ngaku-ngaku terus kalau dokter Zidan tunangannye," cetus Asep yang suka menguping pembicaraan orang dewasa, mendadak nimbrung.

Zidan seperti sudah tak mendengar omongan mereka lagi.

Dia memandang tajam ke arah Garsini yang semakin lincah memperlihatkan jurus-jurus taekwondonya.

Gadis bercelana jins belel dan kemeja gombrang itu seolah-olah telah menghipnotis dirinya dengan keluguan, kebugaran dan kekanak-kanakannya.

"Mana sih tuh cowok idamanku?" cetus Sintia.

"Memangnya niatmu ke sini mau ngapain sih? Mau mengunjungi rumah singgah atau si Aa?" Ejek Watiek yang memperhatikan kelakuannya.

"He-eh. Jangan suka ngejar orang yang ogah sama kamu dong!" Tatiek mengingatkan. "Malu-maluin!"

"Ssst, lihat abangmu itu, Qania," komentar Dita kepada sang ketua rombongan. "Kayaknya abangmu naksir Garsini!"

"Garsini memang gadis luar biasa! Selain ramah dan otaknya brilian dia juga berkarakter. Dia pantas jadi Presiden BEM UI mendatang. Iya, kan?" puji Qania habis-habisan.

"Memangnya boleh Presiden BEM UI dipegang cewek?"

"Yeeh, boleh aja! Coba nanti tanyain sama Taufik."

Bersambung