webnovel

Sosok Bergelar Papa Itu: Galak Nian!

Anno,1995

Depok, awal Oktober yang gerah.

Bagai dikejar setan saat Garsini menyadari bangun kesiangan pagi itu. Dia berlari-lari menuju dapur, menyalakan kompor dan menaruh panci berisi air. Kemudian ia berlari-lari pula meronda kamar-kamar, kecuali kamar ayahnya, Sekali ini untuk mengangkuti pakaian kotor. Harus dicuci hari ini biar tidak terus menumpuk. Semoga nanti dia sempat memasak.

Gusreeekkk! Dicucinya baju kotor sebaskom penuh. Eh, ini bukan baskom biasa, tapi mega baskom. Kebanyakannya baju bapak dan adik laki-lakinya. Lihat, apa ini? Celana pendek bekas main bola si Ucok, ampun deh! Penuh dengan tanah, lumpur, dan entah noda apa lagi. Luar biasa susah dibersihkannya. Bohong nian itu iklan deterjen!

Terbayang oleh Garsini, ibunya bekerja begini setiap hari. Apalagi ibunya harus menyambi menulis novel, cerpen, artikel dan belakangan skenario sinetron. Dia sering memergoki ibunya berlari-lari dari ruang kerja menuju dapur atau sebaliknya. Tak jarang ibunya mengangkut mesin tik ke dapur.

"Teteeeh! Teteeeh!" suara si Butet, adik bungsunya. "Teteh… Ini si Bang Ucok nakal. "

"Ya Allah, Tet, Butet," gumam Garsini gemas. "Jangan teriak-teriak begitulah, Sayang. Papa lagi morang-maring, tahu!"

Tiba-tiba dilihatnya bayangan si Ucok berkelebat ke arah dapur. Garsini tak sempat menegurnya, karena anak itu sudah melesat kembali keluar melalui pintu samping. Dia jadi tak enak hati. Dia segera meninggalkan cuciannya, kemudian berlari-lari menuju kamar, tempat Butet tengah menangis. Sejak ibunya sakit, Butet tidur di kamar Garsini.

"He, Garsini!" Dia berpapasan dengan ayahnya di depan kamar. "Kalauadikmu teriak-teriak begitu, cepatlah datang… Monyeeet!"

Perawakan tinggi besar itu seolah-olah hendak menelan tubuhnya. Garsini terperangah. Dari dalam terdengar sayup tangis adiknya.

Sekonyong-konyong; Braak!

Dia membuka pintu kamar. Tampak adiknya yang berumur empat tahun, bertubuh kecil mungil, selalu tampak ringkih itu, sedang berguling-guling di lantai.

"Astaghfirullah!" Garsini memburu dan merangkul adiknya erat-erat. Butet menyembunyikan wajah dalam dekapan Garsini. "Mengapa, ada apa?"

"Dijepretin sama Papa, Teteh. Sakit, duh, sakit," tangisnya pecah di dada Garsini.

Garsini mengelus-ngelus punggung punggungnya, merabai tangan dan kaki-kakinya. "Duh, adik Teteh. Mana yang sakit? Coba Teteh obatin, ya?"

"Ini sakit sekali, Teteh...."

Butet memperlihatkan paha, betis juga tangan. Memang ada bilur-bilur bekas pukulan, tampak memerah dan memanjang. Bilur-bilur itu nyaris meratai tubuh mungilnya.

Ya Allah, kenapa Papa senang sekali menganiaya? Mama dan anak-anak perempuan sering diperlakukan kasar. Tapi Papa tidak pernah berlaku begini pada Ucok. Garsini sering mendengar ayahnya bicara soal pandangan orang Batak terhadap anak laki-laki menurut adat halak-hita, bahwa anak laki-laki kedudukannya lebih tinggi daripada anak perempuan. Anak laki-laki adalah penerus marga atau tarombo, sehingga begitu dihormati.

Pandangan seperti ini selalu ditanamkan Papa kepada keluarganya hingga Garsini hafal sekali sejak kecil. Jiwanya tentu saja memberontak dengan pandangan kacau macam itu. Garsini ingin membuktikan bahwa dirinya, walaupun anak perempuan, tapi memiliki potensi dan keunggulan yang sama dengan anak laki-laki. Inilah yang pertama Sekali memacu Garsini untuk meraih prestasi.

Namun kenyataannya, sampai dia lulus SMU, kemudian berhasil lulus UMPTN dan kuliah di UI sekali pun, Papa tetap saja tak pernah memujinya. Apalagi memberi penghargaan, bahkan sekadar kata-kata sekalipun, tak pernah!

"Sama ini dijepretinnya, Teteh," telunjuk adiknya menuding ke arah kabel radio yang tergeletak di ubin. Heeekk! Ulu hati Garsini sekonyong bagai tersayat sembilu pedih, nyeri sekali.

"Duh, adik Teteh, kasihan sekali."

Air matanya tak bisa dibendung lagi. Bercucuran membasahi pipi, kemudian menuruni ke kepala adiknya yang masih sesenggukan dalam dekapannya. Butet belum lama terkena flek di paru-parunya. Selama berbulan-bulan Mama bolak-balik membawanya ke rumah sakit. Mengapa Papa sampai hati melakukan Carmillarasan terhadap si kecil ringkih ini?

Kepala Ucok muncul di ambang pintu. Garsini melirik anak kelas enam SD itu dengan sebal. Anak kesayangan, anak emas Papa, dimanja bukan main. Ucok rada telmi alias telat mikir. Kerjanya main melulu, playstation melulu!

"Hei, kamu ke sini!" Garsini bangkit dan melepaskan Butet dari pelukannya. Ditariknya tangan Ucok, kemudian menutup pintu kamar. "Kamu apakan adikmu, hah?"

"Gak kok…," sahutnya mencoba mengelak.

"Gara-gara kamu, adikmu dipukuli Papa. Iiih, gemes aku!" dijewernya kuping kiri Ucok. Anak laki-laki itu malah cengengesan. Pasti karena ada yang diinginkannya. Mama sedang sakit, uang belanja dipegang oleh kakak sulungnya. Pasti karena itu Ucok tak menunjukkan sikap melawan.

"Takut gak dikasih jajan, ya? Sana, gih…minta saja sama Papa!"

"Ah, Teteh jangan gitu dong," katanya sambil nyengir dan mengusap-usap kupingnya yang memerah.

"Pokoknya Kalaumasih ganggu adikmu, Teteh gak sudi kasih kamu uang saku!" ancam Garsini gemas.

"Tolong, Teh, Papa, gak bakalan ngasih lagi. Kemarin sore kan Ucok sudah dikasih…"

"Tapi dipakai main pe-es, ya?"

"Hehehe…" Ucok menunduk malu-malu.

"Bilang dulu, diapakan adikmu tadi?" desak Garsini.

"Alaaah, dasar saja anak cengeng! Cuma ditutupin mukanya sama bantal saja," cetusnya enteng.

"Bohong!" bantah Butet. "Dibekep kenceng. Napas Utet jadi gak ada. Utet kan jadi takut mati. Kalaugak ada napasnya kita bakal mati. Buktinya Ompung gitu…"

Ompung, sebutan untuk nenek perempuan mereka yang meninggal di rumah ini beberapa bulan silam.

"Diiih, bego si Butet, mah!" seru Ucok mencibiri adiknya. "Ompung itu bukan karena gak ada napas meninggalnya. Karena setruk, tahu?"

"Gak ada napasnya, Abang, gak ada napasnya!" Butet bersikeras sampai lupa dengan rasa sakitnya. "Coba saja Abang, Kalaugak ada napasnya pasti mati!"

"Iiiih, iya, sih begitu, " Ucok jadi garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Ini mau ngomongin soal dibekep atau penyebab Ompung meninggal sih?"

Garsini geleng-geleng kepala, dasar anak-anak! Malah jadi berbantahan soal Ompung, pakai tak ada napasnya segala? Kepingin ketawa juga jadinya.

"Hmm, anak-anak," gumamnya. "Hatinya masih bening, suci dan tanpa dendam. Sebentar saja mereka sudah melupakan penyebab keributan."

Saat ia meninggalkan Butet dan Ucok, sayup-sayup mereka telah ngobrol kembali dengan akrab.

"Mana yang sakit, Tet?" tanya Ucok.

"Nah yang ini nih, Bang.... beneran, sakiiit!"

"Coba sini jampe dulu sama Bang Ucok atau diurut pelan, ya?"

"Memangnya Abang bisa ngejampe?"

"Bisa dong kan pernah diajari Teteh…"

"Begitu ya? KalauTeteh tahu dari mana?"

"Dari gurunya, namanya sabam, taekwondonya di dojo."

"Apa itu dojo?"

"Markasnya taekwondo, gitulah."

"Abang bisa taekwondo juga?"

"Bisa dong! Mau lihat jurus-jurus baru Abang? Nih…lihat, ya! Ciii-aaaaat!"

"Hihihi… Itu mah silat atuh, Bang! Siii-laaat!"

Garsini ikut merasa geli mendengar suara Butet terkikik-kikik. Ucok sampai mesti berbohong demi menyenangkan adiknya. Kapan Ucok minta dilatih taekwondo? Dia seorang anak penakut dan cengeng. Entah berapa Sekali Garsini membujuk-bujuk Ucok agar mau ikut bersamanya ke dojo, berlatih taekwondo. Hal ini sempat membuat Garsini mesti berhadapan dengan ayahnya.

"Jangan paksa dia!" hardik ayahnya suatu Sekali. "Biar saja apa maunya si Ucok! Kamu tak berhak mengatur-atur hidup si Ucok, tahu?!"

Di depan kamar ibunya Garsini merandek. Samar-samar terdengar suara dari dalam. Ia menghela napas dengan masygul. Papanya tak pernah mau menyadari keadaan orang lain.

Beberapa saat kemudian malah ia melihat lelaki itu membanting pintu dengan kasar. Polah macam itu sering dilakukannya. Entah berapa Sekali ia melihat Mama harus menyuruh orang untuk memperbaiki pintu-pintu di rumah mereka.

Papa mudah sekali meradang, bagai sebuah bom waktu yang setiap saat siap meledak.

"Mama, kasihan sekali," desah batin Garsini.

Ia tahu semalaman Mama hampir tak bisa tidur. Ia melihat jelas. Mama kesakitan. Kok Papa tega-teganya begitu. Garsini mengelus dadanya. Pediiih nian!

Pukul sembilan akhirnya pekerjaan rumah itu selesai.

Mencuci, memasak, dan menyapu, tapi mengepel lantai tak keburu. Sudahlah, setidaknya ada makanan buat orang rumah. Buat ibunya, Garsini khusus memasak bubur ayam. Setelah rapi berpakaian, dia pun menghampiri ibunya di kamar. Tampak wanita itu masih berbaringan tak berdaya. Dia menolak saat Garsini hendak membukakan gorden jendela.

Garsini melirik bubur buatannya, kelihatannya masih utuh. "Buburnya belum dimakan, Ma?"

"Nanti saja," sahut ibunya lesu.

Garsini merasa seketika ibunya mencermati penampilannya.

"Masih suka pakai jins belel itu, Neng? Kenapa dengan rokmu?"

"Eh, ngng…" Tak urung Garsini tersipu malu. "Roknya kan gak seberapa, Ma. Lagian hari ini semuanya dicuci. Suatu saat aku mau pakai rok orang dewasa. Sekarang aku ada ujian, mohon doa Mama, ya."

Garsini mengambil tangan ibunya, lalu diciumnya dengan sayang. Dipandanginya wajah ibunya dengan cermat.

"Ya Allah, kenapa wajah Mama menguning begitu?" Garsini berseru kaget.

"Gak apa-apa. Mungkin pengaruh obat-obatan…"

"Mama berobat ke RSCM, ya?"

"Ya, ya.... sudahlah, pergi cepat! Nanti kamu telat."

Hati Garsini bagai tersayat sembilu melihat keadaan ibu yang dikasihinya. Sudah seminggu sakit baru berobat sekali. Itu pun cuma ke Puskesmas. Yang mengesalkan adalah sikap ayahnya. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada Mama. Kasihan sekali Mama, punya suami tak pedulian, egois dan kasar.

"Jangan lupa berdoa sebelum mengerjakan soalnya, ya Nak," ibunya mengingatkan.

"Iya, Mama cinta, terima kasih diingatkan." Garsini menutup pintu kamar pelan-pelan.

Saat melintasi kamar ayahnya, tahulah dia bahwa lelaki itu sudah pergi. Pintu kamar digembok dari luar. Demikian kebiasaan Papa. Jika lagi morang-maring jangan harap Papa bisa secepatnya pulang. Entah ke kantor, entah ke rumah peristirahatannya di Bogor.

Di teras dilihatnya Butet tengah asyik bermain dengan Juni, sahabatnya. Juni anak Mpok Nyai, tetangga terdekat mereka.

"Teteh mau kuliah, ya?" tanya Butet.

"Iya. Mainnya di sini saja, ya, cantik? Jangan jauh-jauh mendingan jaga Mama, ya? Kasihan kan Mama lagi sakit."

"Iya, Teh," sahut Butet sambil melanjutkan main.

"Sakit apa Mama Butet, Teteh?" Juni bertanya.

"Sakit apa, ya? Eh, lemas… Teteh pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum…" Dikecupnya pipi Butet. Anak-anak itu membalas salamnya dengan kompak.

Dari jauh masih terdengar suara Butet yang lantang. "Jangan lama-lama kuliahnya, ya, Teteh!"

Bersambung