webnovel

Hatimu Bagai Pualam

Sore hari, di Unit Gawat Darurat RSCM.

Garsini keluar dari ruang rawat intensif, ibunya belum dipindahkan ke IRNA, Instalasi Rawat Inap. Tadi ibunya setengah mengusir, menyuruh Garsini makan. Ia bukannya ke warung mencari makan, malah duduk melamun di ruang yang dipenuhi pembesuk.

Di sampingnya duduk seorang lelaki tua. Sementara di depan dan belakang berseliweran orang dengan beragam keluh kesah, rasa sakit, nestapa, dan derita.

"Siapa yang sakit, Neng?" usik lelaki tua.

"Ibu," sahutnya pendek.

"Apa sakit ibunya?"

"Kata dokter, sih, lever komplikasi dengan paru-paru."

"Waah? Kasihan amat! Harus bedrest total, ya, Neng?"

Garsini mengangguk, mengitarkan pandangan ke sekelilingnya. Pengunjung seolah takkan pernah berhenti berdatangan. Mungkin hanya ibunya yang tak pernah menerima kunjungan, selain Qania dan teman-temannya.

"Ibunya itu gak ada yang besuk, ya, Neng?" kejar lelaki tua itu pula.

Garsini hanya mengangguk lesu.

"Apa gak punya keluarga di Jakarta?"

"Iya, Pak. Keluarga kami jauh-jauh, permisi, ya, Pak!" sahutnya sambil bangkit berdiri, kemudian bergegas menjauhi lelaki tua yang banyak tanya itu.

Hanya Qania yang amat telaten membesuk. Bahkan Qania bersedia pula menengok adik-adiknya di Depok, membawakan pakaian ataupun makanan. Ia juga memberinya buku-buku, catatan-catatan kuliah, dan dispensasi praktikum segala. Garsini sampai berpikir, entah bagaimana jadinya keluarga ini kalau tak ada Qania.

Seketika ada yang berteriak-teriak jauh di dalam hati Garsini.

"Kasihan sekali Mama. Sudah dua minggu di ICU belum pernah dibesuk Papa," desahnya gundah.

Papa manusia apa bukan, sih? Mungkin sekarang dia sedang berduaan dengan Sintia!. Hiiih! Aku sumpahin biar kebakaran rumahnya. Biar digerebek massa, digiring rame-rame, ops!

"Astaghfirullahal'adzhim," lirh Garsini mengusap wajahnya.

"Kok masih di sini? Bukannya tadi disuruh ibunya cari makanan? Belum makan, kan?" pemilik suara bariton, pakai sandal jepit biru dan berbaju dokter itu, telah menjulang di belakangnya. Di dadanya ada pin bertuliskan: dr. Zidan!

"Iya betul, Neng. Makan dululah. Kelihatannya jarang makan si Neng ini, ya?" si bapak nyeletuk dari pojok kursinya.

Garsini membelalak ke arah lelaki itu. Mengapa ikut campur urusan orang? Dan koas arogan ini, berlagak perhatian segala. Eits, kapan sikapnya berubah menjadi tidak secuek dulu? Mungkin sejak melihat Garsini sering shalat, dilanjutkan mengaji, di koridor luar kamar ibunya.

"Kita makan di restoran langganan kami, ayo? Enak-enak makanannya," kata Zidan ramah dan sopan.

"Eh...," Garsini bimbang.

"Jangan sombong, ah!" Zidan menyambar tangannya seperti seorang abang memperlakukan adiknya.

Karena separuh diseret, Garsini terpaksa mengikutinya menuju restoran seberang.

Usai makan dengan Zidan, Garsini menceritakan hal itu kepada Qania.

Wajah di balik jilbab itu tampak kurang setuju dengan tingkah abangnya.

Garsini tahu, tentu saja sangat tak pantas membiarkan hati terbuka hijabnya. Pergaulan semacam itu lebih mengarah kepada khalwat, bersepi-sepi berdua.

"Tapi kami hampir gak ngomong selama makan!" ujar Garsini seperti mencari pembelaan. Perasaannya segera terhibur dengan senyum bersahabat gadis di hadapannya.

"Yang penting kamu harus pandai-pandai bersikap. Kalau kamu sudah tahu khalwat itu tidak diperbolehkan, maka jangan dilakukan. Hukum orang yang mengetahui sesuatu dengan yang tidak di hadapan Allah berbeda. Yang pertama dikenakan hukum, sedangkan yang kedua dimaafkan. Dosa karena tidak mengetahui itu dimaafkan oleh Allah," nasihatnya panjang lebar.

Garsini mengangguk-angguk. Ia tersenyum samar. Bila mengingat kelakuan ayahnya terhadap anak-istri, dia merasa alergi kepada makhluk bernama lelaki.

Ia sampai berpikir, termasuk dalam kelompok manakah ayahnya di hadapan Allah? Termasuk yang terkena hukum ataukah yang dimaafkan dosanya? Belum lagi bila teringat penderitaan Mama semasa ibu mertuanya masih hidup. Ibu mertua, ya, itu juga merupakan momok menakutkan bagi Mama dan anak-anak.

Betapa sering ia menyaksikan Mama dicaci maki dan disumpah serapahi oleh neneknya.

"Mami kami wanita baik-baik. Sabar dan pengertian. Suatu hari kamu harus berkenalan dengan Mami," kata Qania suatu saat.

Entahlah, tiba-tiba Qania bercerita tanpa diminta.

"Memang dulu Mami non-Muslim. Trahnya Keraton Ngayogyakarta. Sekarang Mami sudah jadi pemeluk Islam yang taat," lanjut Qania lagi.

Garsini senang sekali ketika Qania membawa adik-adiknya ke rumah sakit. Mereka tampak bahagia walau tak bisa melihat Mama secara langsung, melainkan dari kaca jendela.

"Aku tak menemukan sosok yang bisa disebut ayah di rumahmu. Mereka berduaan saja, lagi sedih," lapor Qania membuat hati Garsini serasa tersayat sembilu.

"Mama gak sadar, ya, Teh?" tanya Ucok muram.

"Sadar, hanya sekarang Mama lagi tidur."

"Utet kepingin masuk, Teteh," rengek Butet.

Susah payah Garsini memberi pengertian kepada si kecil. Qania dan Zidan sampai turun tangan membujuk anak itu dengan es krim, barulah Butet tenang. Untuk sementara dia melupakan keinginannya mendekati Mama.

"Ucok sekarang gak nakal sama Butet lagi, Teteh," lapor Ucok. "Gak suka main pe-es lagi. Sumpah deh!"

"Betul begitu, Tet?" Garsini menatap adik bungsunya yang sibuk meleletkan lidahnya ke permukaan es krim.

"Hmmm, hmm," sahut anak perempuan itu lucu.

Dari kejauhan Zidan dan Qania memperhatikan mereka.

Qania berkata serius, "Kalau aku yang mengalami kehidupan seperti Garsini, entahlah!

"Baru mendengar Papi bentak Mami saja, hati ini rasanya meleleh hancur. Lemas sekujur tubuhku!"

"Hatimu bagai pualam, Dek," kata abangnya sambil mengusap-usap punggung Qania. "Kamu ini gadis yang lembut, baik hati. Jangankan sama adik kelas, apalagi teman, sama anak-anak jalanan pun selalu perhatian."

"Ah, Aa jangan begitu," ujar Qania berusaha mengalihkan percakapan. "Cantik mana dengan Carolina?"

"Siapa?" sentak abangnya.

"Pura-pura lagi!"

"Jangan sebut nama itu di depanku kalau gak mau dijitak nanti!" ancam Zidan.

"Duileeeh!" Qania memonyongkan bibirnya. "Sudah lima tahun ditinggalkan ke London masih patah hati juga?"

Zidan memelototinya. "Qania!" sergahnya.

"Memang perempuan macam Carolina begitu gak pantas jadi kakak ipar Qania Sholihat!" Qania cemberut.

Zidan balik menggodanya. "Ehem, ehem.... Ketua kelompok studi, pimpinan Canopy, perintis proyek rumah singgah, dan apalagi, ya? Oya, ketua keputrian Rohis FMIPA dua periode. Eh, belakangan malah jadi Nyonya Gilang Permana! Apa gak salah tuh pilih si kutu buku?"

"Iiih, si Aa mah!" Qania gencar memukuli punggung kakaknya. Heboh! Rekan-rekan Zidan berdatangan.

"Abang-adik!" seru koas Pramita. "Ada apa, nih? Kok heboh?"

Simbolon pun nimbrung dengan logat Bataknya yang kental. "Aku ikutanlah heboh atau h-e-u-r-e-u-y-nya urang Sunda tea?"

"Qaniaku sayang," kata Pius, si Papua. "Makin cantik jelita saja kau sejak jadi Nyonya Gilang Permana!"

"Betul apa kata si Pius itu," kata Simbolon. "Cuma kami masih tak percayalah itu! Masa aktivis supersibuk macam kau ini mau pula sama dia.... Menjadi bininya si kutu buku?"

"Memangnya ada apa dengan kutu buku? Dengar, ya, dokter-dokterku yang mulia. Dia sebentar lagi melanjutkan S2 ke Wisconsin, tahu! Kalian semua kalah sama akangku tercinta itu!" Qania jadi sewot.

"Duh, yang mau ikutan ke Amriiik!" ledek mereka seraya tertawa riuh.

Datang ikut bergabung Berty yang Ambon manise, langsung saja nimbrung, "Jangan dengerin mereka, Sel. Lagi pada kumat betenya, jadi suka ngacow! Oya, kapan resepsinya? Jangan mau disuruh nunggu abangmu yang patah hati begitu!"

"Eh, resepsi...," Qania gelagapan.

"Kalian ini betah amat kalau ganggu adikku," Zidan tak urung merasa kasihan juga melihat adiknya dikeroyok.

"Sudah, Qania, jangan ladeni!"

Sebelum ditinggalkan oleh kakaknya untuk kembali bertugas di dalam, Qania berhasil membujuknya. "Aa, berikan kunci mobil dan apartemennya, pliiiis...."

"Buat apa?"

"Daripada adik-adik Garsini pulang kemalaman, pasti ribet! Kan mendingan menginap di tempatmu saja. Setuju?"

Zidan berusaha menahan senyumnya. "Setuju saja. Memangnya apartemen milikku? Itu kan apartemen keluarga. Jadi kau juga berhak menentukan. Bukan begitu?"

"Terima kasih, Aa mau mengerti."

Zidan geleng-geleng kepala. "Ya sudah, hati-hati, ya? Belakangan sering disatroni maling, tuh!"

"Ngacooo, ah! Gak kena tuh nakutin orang baik-baik!"

Garsini dan adik-adiknya senang sekali ditawari menginap di apartemen keluarga Qania. Kegirangan mereka bertambah, saat ibu mereka sudah diperbolehkan pindah ke ruang rawat biasa.

Apalagi melihat ibu tercinta mulai tersenyum dan bicara dengan jelas. Cemas dan ketakutan yang selama ini menguntit Garsini seolah sirna tanpa bekas.

"Kami sudah mengurus dokumennya," kata Qania. "Ayo, kita antar Mama ke IRNA B lantai enam."

Garsini merasa amat terharu akan ketulusan Qania dan abangnya dalam membantu mereka. Dia tak bisa mengandalkan keluarga besar ayahnya yang sebenarnya berserakan di Jabotabek. Seingatnya mereka hanya satu-dua kali saja mampir ke rumah.

Saat Ucok dilahirkan, mereka menyelenggarakan sebuah acara. Namanya mangalehen paroppa, upacara menjamu kelahiran anak. Menurut cerita ibunya, saat anak laki-lakinya itu dilahirkan, mereka masih dikucilkan, karena perkawinan mereka tak direstui oleh keluarga besar ayahnya. Jika mengingat semua yang pernah diperjuangkan oleh Mama dan Papa, ah!

Garsini jadi tak habis pikir. Mengapa kini mereka mengabaikan hal itu? Bukan keduanya tentu saja, ini cuma Papa. Ya, cuma Papa yang bersikap tak adil terhadap Mama.

Mama pernah bilang, "Dalam perkawinan dibutuhkan dua orang untuk menguatkannya. Tapi untuk menghancurkannya, cukuplah oleh satu orang saja."

Mama, Mama!

"Diantarkan sendiri ke sini, Dokter? Siapa nih?" seorang perawat di IRNA B menanyai Zidan, sekaligus membangunkan Garsini dari lamunannya.

Qania cepat menjawab, "Famili kami, Suster!"

"Oh, begitu, ya? Famili atau calon famili?"

Zidan merengut. Qania sampai berusaha meluruskan kesalahpahaman dalam gurauan itu. Kalau sampai mendudukkan Garsini pacar Zidan, sama saja ia membenarkan pacaran di hadapan semua paramedis itu.

"Saudara nih, Sus! Saudara seiman. Bukan begitu, Aa?"

Bersambung