webnovel

Beruntung Ada Qania

Gusti, jeritnya dalam hati. Kalau memperturutkan amarah, ingin rasanya dia meneriaki mereka. Dua orang itu, pasangan kumpul kebo! Tidak, tak ada gunanya. Itu tindakan konyol. Lagi pula, dia tak sampai hati jika harus membeberkan kebobrokan ayah sendiri.

Mencelakai kakak kelas yang suka dengki itu? Tidak juga! Setidaknya kini dia mengetahui penyebab antipati Sintia terhadap dirinya.

"Ssst, astaghfirullahal'adzhiiim.... Ayo, istighfarlah!"

Garsini bagai baru tersadar dari mimpi buruk. Dilihatnya orang-orang merubungi dirinya tak jauh dari danau.

"Ikut Teteh dulu, ayo?" Qania menggandengnya.

Garsini mematuhinya, mengikuti gerakan seniornya.

Dari kejauhan Anwar berseru-seru. "Sori, Garsini, sori! Aku gak bermaksud menyakiti dirimu! Sumpah!"

"Ada apa ini, Teteh?"

Qania tak menyahut, terus menggandengnya. Gadis itu membawanya ke selasar masjid UI. Setelah duduk di teras samping tak jauh dari kamar mandi, Qania minta rekan-rekannya meninggalkan mereka berdua.

"Ayo, sebutlah asma Allah, Dik Sin! Istighfarlah!"

Garsini menurut. Terasa tangannya dipijiti. Qania mengeluarkan minyak telon dari tasnya. Tangan, kaki, dan dahi Garsini dibaluri minyak telon itu dengan rasa simpati mendalam.

"Barangkali kemasukan setan danau, ya, Teh... aku ini...."

Beberapa saat yang lalu mendadak dirinya histeris. Anwar diberingasi olehnya sambil teriak-teriak. Dia mengeluarkan jurus-jurus taekwondonya. Anwar sampai lari terbirit-birit ketakutan dibuatnya.

Alamak, kasihan banget tuh orang Medan!

"Yang sudah biarlah berlalu," bujuk Qania. "Gimana kalau sekarang ambil wudhu dulu?"

"Ya, ya, itu bagus. Biar minggat segala dedemit yang merasuki tubuhku tadi," katanya sambil tersenyum pahit.

Kemudian dia bergegas ke kamar wudhu. Saat kembali ke sisi Qania, tampaklah dua bungkus teh kotak dan beberapa potong roti. Qania memberinya pula handuk kecil. Garsini geleng kepala menyadari betapa lengkap isi tas kakak kelasnya. Selain mukena dan buku, ada juga Al-Qur'an mungil.

Sambil mengisi perutnya yang keroncongan, Garsini tak tahan lagi untuk mencurahkan isi hatinya. Tentang situasi di rumah yang berantakan, perkawinan orang tuanya yang tak harmonis. Tentang ayah yang temperamental, egois, pelit, dan selingkuh.

Ia pun menceritakan tentang ibunya yang masuk rumah sakit dini hari tadi, mengantre darah di PMI Pusat berjam-jam. Namun, ia bungkam perihal Sintia yang dipergokinya sedang menginap di rumah peristirahatan ayahnya.

"Kalau begitu, ayo kita ke RSCM sekarang!" ajak Qania saat menyatakan rasa simpati atas penderitaannya. Kemudian dia menelepon rumah dengan ponselnya, mengabarkan bahwa dirinya akan pulang terlambat.

Dari Stasiun Pocin, mereka naik KRL ke Cikini. Dari sana mereka naik bajaj, dan berhenti pas di depan UGD. Sepanjang jalan Garsini lebih banyak diam. Begitu pula Qania. Garsini tahu, diamnya gadis itu sambil berzikir. Ada tasbih mungil di antara jari-jarinya yang lentik. Diam-diam dia pun mengikuti jejaknya.

"Kita tanyakan ke informasi, apa Mama masih di sini atau sudah dipindahkan ke ruang perawatan," kata Garsini sesampai mereka di UGD.

Tak ada petugas di bagian informasi. Mungkin belum balik Jumatan. Saat Garsini dan Qania kebingungan itulah tiba-tiba seorang koas muncul. Dia langsung memelototi Qania dengan galak.

"Qania? Ngapain di sini? Nanti Mami cari-cari kamu!"

Qania tertawa renyah. "Eh, Aa Zidan, Kakakku tersayang. Kamu yang lagi dicari-cari Mami. Sudah dua minggu, kan?"

"Ah, Mami berlebihan. Baru kemarin rasanya nengok...."

"Aa ganteng, kalau ngomong yang benar dong. Bukan kemarin, tapi dua minggu yang lalu!" tegas Qania balik memelototinya. "Lagi ngambek, ya?"

"Huss!" Zidan berlagak akan menjewer kupingnya. "Jadi ngapain kamu di sini? Bukan mau jemput aku, toh?"

"Iiih, kegeeran amat! Oya, ini Garsini, adik kelasku. Mamanya malam tadi dibawa ke sini. Siapa nama ibumu, Dek?"

Garsini senang melihat keakraban abang-adik itu.

"Ibu Aliet Sartika," sahut Garsini.

"Ibu Aliet itu, ya? Kebetulan sekali!" kata Zidan mendadak tampak dingin.

"Dari tadi kami cari-cari keluarganya. Dia butuh transfusi banyak. Persediaan darahnya hampir habis...."

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tukas Garsini.

Bukannya menjawab pertanyaan Garsini, koas berwajah bintang sinetron itu malah kembali menatapnya. He, gadis macam apa ini? Pakai celana jins belel, ada sedikit sobekan pula di bagian lututnya. Disengaja apa gak, sih? Adik kelas Qania, katanya? Ah, yang bener?

"Aa!" Qania memukul lengan kakaknya. "Ditanya kok malah bengong. Iiih, gak punya perasaan amat sih nih orang?"

Zidan geleng kepala. Ditariknya tangan Qania supaya ikut masuk ke balik pintu. "Ssstt, kalau ngomong yang bener, ya, Non!" katanya serius. "Coba bilang, nemu di mana anak macam begitu?"

Untuk sesaat Qania terperangah. "Iiih, si Aa ngomong apaan sih?"

"Kumelan begitu kamu bilang mahasiswi UI? Jujur sajalah. Dari rumah singgahmu itu kan? Kok pake bohong segala?"

"Iiih, si Aa mah!" gemas Qania dibuatnya. "Ngapain sih ngomong yang gak penting?"

Sementara itu dari balik pintu Garsini celingukan sendiri. Aneh, abang-adik itu, pikirnya. Tadi kelihatannya rukun, mengapa mendadak seperti berantem?

Qania akhirnya keluar lagi. Hups, hampir saja bertabrakan dengan Garsini yang penasaran dan berniat mengintip. Dilihatnya Qania mengiming-iming formulir darah.

"Biar Teteh saja yang ke PMI, ya? Kamu sebaiknya di sini, bisa nengok Mama lewat jendela samping," kata Qania, tegas dan berkarisma seperti biasa.

Zidan sudah berada di belakang Qania lagi. Sepasang matanya yang bagus kembali menatap tajam ke arah Garsini. Karuan saja Garsini jadi tak enak hati.

"Iiih, cowok dingin arogan, dan bersandal jepit warna biru ini ngapain sih? Jangan-jangan kemasukan setan sepertiku di tepi danau kampus?" pikirnya terheran-heran.

"Sori, ya, Aa!" pinta Qania. "Pinjam dulu kunci mobilnya...."

Zidan tak banyak bicara memberikan kunci mobilnya. "Jangan ngebut, ya!"

Melalui kaca jendela, Garsini bisa melihat ibunya. Tempat tidurnya kebetulan terletak di pinggir. Garsini bisa melihat jelas kondisi wanita itu, terbaring tak berdaya bagai tak bernapas.

Ah, tidak! Tentu Mama masih hidup. Buktinya, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi teratur. Transfusi darah, infus berwarna kuning, dan kabel-kabel yang disambung ke mesin penyambung kehidupan, bagai mengeroyok tubuh ibunya.

Air mata Garsini menitik. "Mama, kasihan sekali...."

Selama ini Mama sudah kerap mengeluh sakit pada dada, ulu hati, dan sekujur tubuhnya. Bila Mama diingatkan agar ke dokter, Mama cuma bilang, "Ah, biar saja. Nanti juga sembuh."

Sekarang adalah puncak penderitaan itu!

Garsini tiba-tiba merasakan tubuhnya menggigil hebat. Duh, bagaimana kalau Mama tak tertolong lagi?

"Ya Allah..., kuatkan, sehatkanlah ibuku!" jeritnya dalam hati.

Dari dalam, Zidan memberi isyarat kepadanya. Karena Garsini tampak tak menggubrisnya, hanya menangis, dan menangis tanpa menghiraukan siapa pun, sang koas membuka kaca sedikit.

"Ssst," katanya serius. "Kalau mau masuk, kamu harus memutar lewat pintu depan. Sana, cepat ya!"

"Ooh, begitu, ya? Terima kasih, Dokter!"

Garsini girang sekali. Dia berlari cepat menuju pintu depan. Di sana Zidan sudah menanti. Pemuda tampan itu membukakan pintu seraya memberi baju khusus. Garsini menerimanya tanpa banyak bicara.

"Siapa tuh, Dan?" seorang koas perempuan bertanya saat berpapasan dengan mereka.

"Adik gue nih!" sahut Zidan cuek sambil mempercepat jalannya.

Garsini mengikuti dengan gaya yang sama, tak pedulian.

"Wow! Cantiknya!" seru rekannya yang lain, muncul dari belakang mereka.

"Adik apa adik, tuh!"

"Kacau tuh, tata bahasamu!" gerutu Zidan. "Bikin gatal kuping aja!"

"Bohong tuh Zidan. Setahu gue adiknya berjilbab, kan?"

"Biasalah, adik ketemu gede, tuuh!"

Ada yang terasa hangat menyusupi dada Garsini. Namun, melihat ketidakacuhan dan kebekuan sikap pemuda itu, hatinya jadi mengkeret.

Iih, amit-amit! Sombong banget dia! Kalo gak butuh, huh, Garsini ngedumel dalam hatinya.

"Ingat, jangan pake lama. Lagian jangan sekali-kali mengajak ngomong. Gawat banget kondisi Mama kamu!" Zidan mewanti-wanti setiba mereka di kamar pasiennya.

Garsini tak menyahut. Hatinya makin kesal, sebal, dan... entahlah!

Aneh sekali, pikirnya. Mengapa makhluk begini bisa-bisanya lulus UMPTN? Diterima di Fakultas Kedokteran pula? Fakultas yang pernah diidamkan oleh Garsini sejak SD. Entah apes atau memang salah jawabannya, sekarang dia malah nyangkut di Biologi.

"Aa Zidan jadi begitu sejak putus dengan Carolina," jelas Qania tanpa diminta, saat Garsini mempertanyakan sikapnya itu.

"Carolina Hutauruk yang foto model itu? Sekarang ada di London, melanjutkan sekolahnya, kan?"

"Nah, ketahuan, ya! Suka baca tabloid gosip juga rupanya dirimu!"

Garsini tersenyum samar. "Kenapa sampai putus?"

"Mereka pacaran ketika kelas tiga SMA. Putusnya karena beda keyakinan...."

"Oooo!" Mulut Garsini membentuk bulatan. "Patah hati ceritanya?"

"Begitulah. Habis itu Aa jadi suka ngebut-ngebutan, bahkan pindah ke apartemen keluarga kami, dan tinggal di sana tanpa mau diganggu siapa pun."

"Iiiih, amit-amiiit!" gumam Garsini membatin. Tak enaklah kalau diungkapkan di depan adiknya.

Qania sudah banyak membantunya. Entah bagaimana dia bisa membalas budi baiknya itu.

"Akhirnya dia sadar dan kembali serius ikut UMPTN, berhasil...."

"Maaf!"

"Ada apa?" Qania menatapnya keheranan.

"Ngng, iya, maksudku beruntunglah, kalau begitu!" Garsini tersipu malu, seketika menyadari sirinya sempat mencemooh si Aa.

Bersambung