webnovel

Chapter 7 : Rasa Pahit Dibalik Senyuman

Aku tengah berdiri ditemani Bibi disampingku.Ia tampak santai meskipun perjalanan tadi cukup melelahkan.

Begitu turun dari kereta,Bibi hanya terdiam saja.Memunculkan perasaan aneh dalam diriku.

Ekspresinya cenderung tenang,namun aura yang kurasakan didekatnya memiliki maksud yang berbeda.Aku tak bisa menebak isi dari pikirannya itu,namun semoga bukanlah sesuatu hal yang buruk.

Sebaiknya aku menanyakannya.

"Bi? Ada apa?"

Nada yang keluar dari mulutku tidak terdengar lancar,malah berbunyi dengan keraguan.

"Eh..ya..?"

Sepertinya Bibi memang memikirkan sesuatu.

"Apa Bibi baru saja melamun? Atau mengantuk?"

"Eh tidak,bukan apa-apa."

Dalam sekejap wajah serius itu berubah menjadi senyuman ringan.Akan tetapi gerak tubuhnya seolah terbaca dengan baik,kalau ia sedang memikirkan sesuatu.

"Sudahlah,ayo jalan."

Aku mengikutinya dari belakang sambil membawa koper di genggaman.

Sedikit kesal teringat item Rack yang dimiliki Bibi di tangannya itu,sementara aku harus kerepotan begini.

"Erm..."

Mengeluh juga tak ada gunanya.

Lagipula ada hal yang jauh lebih penting daripada itu.

Perhatianku tertuju pada sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di depanku.

Aku menyebutnya megah,namun tidak dibuat terlalu mewah.

Pada atapnya dipenuhi warna coklat tua yang sedikit kusam,mengindikasikan kalau ia sudah berumur lama.

Kemudian dinding yang ditempeli lima jendela itu bersih tanpa tersirat noda.Menyatukan nuansa klasik ketika orang melihat tempat ini dari kejauhan.

Pagar semak yang mengelilinginya memberikan kesan rapi dalam penampilan.Indah sekaligus nyaman bersanding dengan warna krem di bagian temboknya.

Begitu mendekati pintu masuk,aku disambut oleh sebuah ukiran eksotis disana.

Lekukannya terlihat sangat rumit dilengkapi dengan detail kecil yang banyak bernilai seni.

Lalu tampak sebuah ventilasi panjang yang ditembus cahaya matahari.

"Ayo masuk.."

Bibi memutar kenop pintu dipegangannya itu dengan sedikit tenaga.Terdengar bunyi decitan pendek ketika engsel itu bergerak,walaupun tidak terlalu jelas di telinga.

Kami masuk ke dalam rumah tersebut layaknya seorang pencuri.Entah apa yang sebenarnya kulakukan.

Namun begitu di dalam,ruangan yang pertama menyambutku adalah sebuah lorong kecil.Tak terlihat satupun benda-benda mahal yang tertata di lantai maupun dinding.

Hanya sebuah tangga keatas serta tiga pintu coklat berdampingan di setiap sisinya.

Dua pintu saling berhadapan dan satu lagi di samping anak tangga.Mereka tertutup rapat tanpa terlihat sedikitpun celah yang akan terbuka.

Aku merasakan ketentraman dan kenyamanan  ketika disini,seolah menyuruhku istirahat sejenak dari segala urusan yang menyibukkan diri.

"Hmm..."

Wanita anggun itu seperti menggumamkan sesuatu.

Tidak sepertiku,Bibi cenderung menunjukkan ekspresi seriusnya ke seluruh sudut ruangan.Ibarat mengamati setiap detil yang tergambar dalam tempat ini dengan ingatannya.

Ia lalu menoleh ke arah kanan dimana sebuah pintu tertutup dengan rapat,tetapi samar-samar terdengar suara orang di baliknya.

Tatapan dari kedua mata Bibi terlihat begitu dalam,membuat atmosfir disekitarku tiba-tiba terasa berat.

Aku mulai curiga bahwa di balik pintu itu adalah hal yang mengganggunya sejak tadi.

Karena telapak tangan Bibi turut merespon kebingungan yang terbias dari sedikit gerak tubuhnya.

"Arshen...."

"Y-ya..."

"Kuharap jangan membenciku setelah ini..."

Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar rapuh,cukup menjelaskan apa yang dirasakannya.

"T-tentu.."

Ia merunduk tanpa mengucapkan balasan.

Kemudian perlahan dirinya mendekati pintu yang kaku itu secara pelan,mengenggam kenopnya dengan cengkeraman yang tidak berdaya.

Pintu terbuka dengan sebuah deritan pendek, memperlihatkan ruang yang seolah membeku dalam waktu.

Seorang gadis berdiri dari kursinya,tepat setelah kami masuk dan penglihatanku menyapu ruangan.

Udara seakan berbisik halus tentang situasi yang terjadi,lalu berkata melalui emosi manusia.

Bibi mengangkat wajahnya yang tertunduk,dan memandangi sesosok gadis muda yang tampak terkejut dalam situasi ini.

Pupil matanya mengecil walaupun mereka saling bertukar pandangan.Sementara tangan Bibi bergemetar memaksakan diri untuk menggenggam sebuah kepalan erat.

Dan ekspresi kuat yang tergambar di wajahnya itu ialah..

Guratan penyesalan..

Sekilas terasa emosi yang menggantung di udara,meskipun aku tak memahami maksud dari perasaan itu.

Namun dua orang yang mencerminkan keterkejutan di sana seperti memiliki keterikatan.Ikatan yang jauh lebih erat dari yang aku ketahui.

"Mirabell..."

Wanita dengan rambut putih memanggilnya dalam intonasi yang lirih.

Ia seolah diselimuti perasaan kuat yang membuatnya tak mampu berkata-kata.Dan hanya diam membisu melihat Bibi berdiri diantara keheningan.

Bahkan sepasang kacamata yang dipakainya itu tak mampu menyembunyikan ekspresi sedihnya.

Menimbulkan simfoni sunyi beralunan melankolis.

Tapi diantara semua keraguan yang menerpaku disaat yang bersamaan.

Tak sebanding dengan raut emosional gadis muda yang terbelalak heran memandangi kehadiran Bibi.

Ibarat telah menyaksikan momen yang tidak ia harapkan dalam seluruh hidupnya.

"Mama...."

Seutas kata sederhana terlontar dari bibir yang kecil itu.

Dengan air mata yang seolah tertahan oleh tebalnya bendungan amarah.

Semua semakin jelas,dan pertanyaan yang kusimpan selama ini berujung pada satu kesimpulan nyata.

Bibi Mirabell,memiliki seorang putri.

Dan hubungannya bukanlah sesuatu yang baik.

Lalu dugaan yang selalu aku percayai,ternyata adalah realita pahit yang berusaha ia sembunyikan.

Baik Bibi,Gadis itu,dan wanita tua yang melihat kami dengan keheranan.Pastinya memiliki latar belakang yang saling berkaitan.

Entah apa penyebabnya,namun situasi ini terasa dipenuhi tekanan yang membuatku seperti menahan napas.

Sementara gadis itu melirikku tajam lakunya mengacungkan belati ke arahku.

Kemudian menatap kembali Bibi yang berusaha mengendalikan emosi.

Namun apa yang keluar setelahnya,benar-benar menusuk bagaikan rasa sakit di ulu hati Bibi.

"Aku tidak membutuhkanmu...."

Dalam satu kalimat singkat itu,seluruh keberaniannya serasa hancur ibarat cermin yang tak tersisa.

Meninggalkan ia terjebak di tengah badai kesedihan yang menerpa hebat.

Gadis itu tak acuh dengan ekspresi yang disembunyikan Bibi,Malahan dirinya memalingkan wajah sebagai tanda penolakan.

Lalu ia meninggalkan ruangan dengan langkah kaki yang disengaja,mempertegas amarah tak terucapkan pada dirinya.

Di sisi lain,Bibi tidak merespon ucapan pedih tersebut dan hanya bertahan dikala terbentur oleh tekanan batin.

Namun aku tahu,kata-kata dari gadis itu cukup menyakitinya.Walaupun semua latar belakang  peristiwa ini masih menimbulkan tanda tanya bagiku.

Bibi Mirabell memiliki seorang anak,dan sepertinya wanita itu adalah ibunya.

Mereka tinggal berdua di rumah ini selama bertahun-tahun untuk melindungi satu sama lain.

Serta kehidupan yang dinamis itu sudah seperti keseharian apa adanya,hanya bersama sang nenek dan sang cucu perempuan.

"Anak muda...siapa namamu?"

Wanita tua itu bertanya dengan nada lembut, bahkan ia tersenyum sembari menatap ke arahku.

Samar terlihat kesedihan diwajahnya,namun ia masih bisa bersikap tenang pada ketegangan ini.

"Saya..Arshen,murid didik Bibi Mirabell." Jawabku dengan khawatir.

Kedua alisnya terangkat keheranan,dan membuka sedikit mulutnya selama beberapa saat.

Tampaknya ia tak menduga kalimat itu akan keluar dari mulutku,seolah menjadi murid Bibi ialah sesuatu yang diluar perkiraannya.

Lalu ia kembali ke ekspresi semula.

"Maaf ya Nak Arshen,kau harus melihat sesuatu yang tidak sepantasnya keluarga lakukan." Wanita itu tersenyum tipis.

"A-ah, tidak apa,maaf telah menciptakan suasana yang menganggu."

"Terimakasih,ini memang tiba-tiba.Tapi bisakah aku berbicara berdua saja dengan Mirabell?

"T-tentu..."

Entah kenapa aku merasa sedikit gugup dan kebingungan.Bercampur kekhawatiran terhadap kondisi Bibi.

Tetapi begitu mendengar permintaan ibunya,Bibi kembali mengangkat wajahnya sekali lagi dan menatap mataku dengan rona mata sayu.

Ia sepertinya mengalami pertarungan hebat dalam dirinya.

"Tak apa Arshen,kau pergilah ke kamar di lantai atas ujung kanan.Disitu terdapat ruangan kosong yang dipakai untuk tamu."

Serunya sambil melihatku begitu pasrah.

"Apa Bibi tidak apa?"

"Tidak apa,ini memang sesuatu yang harus aku hadapi.Jadi jangan khawatir."

Ia masih bisa tersenyum,walaupun sedikit menyakitkan.

"Baiklah,aku akan menurutimu."

Lekas aku menuju ruangan awal dimana aku masuk ke rumah ini.

Sebelum akhirnya beralih ke lantai dua,aku berhenti sejenak di kusen pintu.Menoleh kebelakang untuk memahami ekspresi yang tergambar di wajah Bibi.

Melihatnya seperti itu tentu membuatku sedih,apalagi dirinya adalah sosok yang kuanggap layaknya ibuku sendiri.

Namun mau diubah bagaimana pun,aku tak bisa menolak fakta bahwa aku hanyalah orang luar yang cuma numpang di hidup mereka.

Itu menyebalkan,dan membuatku kesal karena tak punya pilihan lain.

Emosi manusia adalah sesuatu yang sulit kupahami,mungkin juga diluar jangkauanku.

Tapi bukan berarti aku diam saja setelah melihat itu.Karena aku memiliki sebuah prinsip dalam hidupku...

...

..

"Pasti akan kulakukan..."