“Pa, Ma!” Aileen sampai harus menyadarkan kedua orang tuanya yang membisu setelah ia mengatakan bahwa Gama adalah calon suami yang dipilihnya.
Jelas Naren dan Rhea hanya bisa terdiam sambil mencerna apa yang baru saja didengarnya. Memang Aileen dan Gama selalu satu sekolah, kecuali setelah kuliah. Namun setahu mereka, hubungan Aileen dan Gama merenggang sejak Aileen merasa kalau Gama adalah saingan terberatnya untuk meraih prestasi.
Lantas bagaimana mungkin anak sulung mereka bisa menjalin hubungan dengan tetangga sebelah rumah? Sejak kapan mereka berhubungan? Kapan mereka meluangkan waktu untuk bertemu? Banyak pertanyaan yang membuat Naren dan Rhea setengah tidak percaya dengan pernyataan anak sulung mereka itu.
“Kenapa kamu masih pake piyama gitu kalo mau ngenalin calon suami kamu, Kak?”
Aileen seketika menunduk dan mengamati pakaian tidur yang masih dikenakannya. Niatnya semula hanyalah untuk mengusir Bara dari rumah, siapa sangka ia malah menjebloskan diri sendiri ke dalam umpan yang sejak minggu lalu dilempar Gama.
“Ganti baju dulu sana, Kak!” Kalau boleh jujur, Naren masih bingung setengah mati dengan kejadian siang itu. Tapi ia berusaha mengontrol diri. Sebagai seorang ayah, ia harus bersiap untuk menginterogasi Aileen dan calonnya yang tidak lain adalah tetangga sebelah rumah.
Sementara Aileen masih enggan meninggalkan mereka karena khawatir Bara akan bicara macam-macam kepada kedua orang tuanya.
Gama mengusap pelan punggung tangan Aileen sambil tersenyum (berusaha) meyakinkan. Detik itu, Aileen baru sadar kalau mungkin ia mengambil langkah yang salah … atau justru ini langkah yang tepat?
***
Masih dengan bathrobe yang dikenakannya, Aileen mondar-mandir di dalam kamar, merasa tidak siap untuk turun dan menemui orang tuanya.
Tapi semakin lama ia berada di dalam kamar, semakin lama pula ia terjebak di dalam ketidaktahuan. Tidak tahu apa yang disampaikan Gama kepada orang tuanya. Tidak tahu tingkah Bara tanpa kehadirannya. Tidak tahu bagaimana reaksi orang tuanya yang saat ini tengah menghadapi Gama seorang diri.
Buru-buru Aileen menata pikirannya, lantas berganti pakaian di dalam walk in closet.
Orang tuanya sedang duduk mengelilingi meja makan bersama Gama dan Bara saat Aileen tiba di ruang makan.
“Duduk, Kak!” perintah Naren saat melihat anak sulungnya salah tingkah di dari ambang pintu.
Menurut, Aileen mengambil posisi duduk di samping Gama meskipun kursi di samping Bara juga kosong. “Ervin sama Yara nggak ikut makan siang, Ma?” tanya Aileen mencoba mencairkan ketegangan yang jelas terasa.
“Sejak kapan Ervin ada di rumah kalo weekend. Pasti cari mangsa dia. Yara juga lagi keluar.”
Aileen hanya mengangguk-angguk walau sebenarnya tahu jawaban yang akan ia dapatkan dari sang Mama. Ervin—adik laki-laki satu-satunya yang ia miliki tidak mungkin ada di rumah setiap weekend. Aktualisasi diri a.k.a. kencan adalah jadwal rutin adiknya itu. Sementara Yara—adik bungsunya—tidak jauh beda dengan Ervin. Bedanya, Yara benar-benar menggunakan hati ketika dekat dengan seseorang, hanya saja kisah cintanya memang tidak pernah berlangsung lama. Keduanya mungkin memang mewarisi DNA player sang papa.
Atau mungkin … keluarganya memang sial dalam urusan asmara? Nyatanya, ia yang bukan seorang player dan selalu serius dalam menjalin hubungan, malah berakhir dihianati.
“Kak, makan dulu,” tegur Rhea yang mendapati anaknya melamun. Rhea paham, mungkin Aileen memang setegang itu. Ini pertama kalinya Aileen membawa teman laki-laki untuk diperkenalkan kepada mereka—meskipun sebenarnya mereka sudah kenal.
Aileen segera mengambil makanan demi menutupi kegelisahannya hanya karena papanya sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Apa Bara mengatakan sesuatu selama ia mandi? Atau … papanya tidak suka dengan Gama?
Di tengah kegelisahan Aileen itulah, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya.
Gama: Tenang aja, dia nggak ngomong apa-apa ke papamu, dari tadi cuma ngomongin kerjaan
Aileen melirik Gama sekilas lalu menghela napas lega. Masalah Bara aman. Dan Aileen baru sadar, harusnya ia tidak perlu khawatir orang tuanya tidak suka dengan Gama. Hal yang bagus kalau benar-benar terjadi, karena itu adalah satu-satunya cara untuk membatalkan apa yang tadi ia ucapkan di depan kedua orang tuanya.
Bara sebenarnya sudah kehilangan selera makan siang. Hanya demi menuruti ajakan atasannya, maka ia bertahan di sana. Selain itu, Bara masih memikirkan langkah apa yang akan dilakukannya karena ia benar-benar tidak mengerti dengan pergerakan Aileen. Kenapa Aileen belum mengadu kepada papanya? Kenapa Aileen tiba-tiba mempunyai seorang calon suami selain dirinya?
“Permisi, Mas Gama. Di depan ada pembantunya Mas Gama.”
Gama mengusap tengkuknya dengan salah tingkah. “Om, Tante, sebentar saya keluar nemuin Bibi dulu,” pamit Gama pada orang tua Aileen.
“Bentar ya, Sayang.” Gama tidak lupa untuk berpamitan kepada Aileen sambil mengusap puncak kepala wanita yang duduk di sampingnya itu.
“Uhuk! Uhuk!” Aileen terbatuk hebat mendapat perlakuan seperti itu dari seorang Gama, yang tidak pernah ia pikirkan akan bisa mengusap puncak kepalanya dengan santai seperti apa yang baru saja Gama lakukan.
Gama mendorong gelas air minum miliknya ke hadapan Aileen sebelum ia beranjak dari ruang makan.
“Norak ah, Kak. Orang cuma ditinggal keluar sebentar,” ledek Rhea.
“Ma!” Aileen mendengkus kesal karena ucapan mamanya. Tapi yang membuatnya semakin kesal adalah ledekan dari sang papa setelahnya.
“Mukamu udah kayak kepiting rebus, Kak. Segitunya kesengsem sama tetangga sendiri.”
“Aku baru keselek, Pa. Ya wajar kalo mukaku merah.”
Bara yang melihat kejadian itu akhirnya memberanikan diri untuk buka suara. “Sejak kapan punya hubungan sama laki-laki tadi, Leen?”
“It’s a long story, Bro.” Gama yang telah kembali sambil menenteng dua buah kotak dengan logo salah satu bakery terkenal, yang akhirnya menjawab pertanyaan dari Bara tersebut. “Coba tanya ke Om Naren, siapa satu-satunya orang yang berani melarikan anak sulung Om Naren?” Gama kemudian menepuk dadanya dengan bangga.
Suara decakan jelas terdengar dari Naren karena kesombongan Gama tersebut. Namun ia juga tidak bisa membantah karena peristiwa itu memang benar-benar terjadi.
“Tante, ini buat cemilan. Tadi aku lupa bawa pas berangkat ke sini. Maklum grogi, Tan.”
Rhea menatap kotak kue yang baru saja diletakkan Gama di sudut meja makan. “Makasih loh, Gam. Pake repot-repot.”
“Nggak repot kok, Tante. Kan buat calon mertua.”
“Uhuk! Uhuk!” Kembali Aileen tersedak. Kali ini karena nasi yang baru ditelannya tidak bisa mulus meluncur di tenggorokannya akibat ucapan Gama yang memanggil kedua orang tuanya sebagai calon mertua. ‘Sialan!’
“Kakak kenapa sih dari tadi keselek melulu? Grogi banget mau minta izin ke Papa? Iya, Kak?” Rhea mengerling jahil kepada anaknya.
“Kenapa aku yang grogi? Gama lah yang mestinya grogi. Kan dia yang bakal disidang Papa,” kilah Aileen.
“Bara, maaf ya, kayaknya hari ini saya mesti berperan penuh jadi orang tua. Jadi urusan perusahaan bisa kita omongin lagi di hari kerja.” Setelah mengatakan hal itu, Naren menghadap ke arah Aileen dan Gama yang duduk bersebelahan. “Nggak gitu konsepnya, Kak. Yang mau nikah kalian berdua, kenapa yang Papa sidang cuma Gama. Ya kamu juga ikut lah. Abis ini ke ruang kerja Papa.” Naren yang memang sudah menghabiskan makan siangnya terburu berdiri dan meninggalkan Aileen yang sedang membuka mulutnya tanpa mengeluarkan balasan.