“Leen, ada vice presdir mau ketemu.”
Aileen mendelik kesal ke arah Vania yang baru masuk ke ruangannya dan berdiri tidak jauh dari pintu. “Masih idup dia?”
“Karena belum kamu bunuh, ya … dia masih berkeliaran dengan bebas.”
“Ck!” Aileen berdecak kesal. Kalau bukan karena egonya untuk memberi pelajaran kepada Bara, ia tidak akan membiarkan Bara menginjakkan kaki di gedung milik papanya sejak detik ketika dia tahu kalau Bara telah main serong.
“Gimana? Mau ketemu nggak? Atau … biarin aja dia masuk ke sini. Kita siksa dia berdua. Rasanya gatel juga mau nyiksa dia.”
“Nggak mau ah. Bilang aja aku lagi super sibuk, bisa makan orang kalo diganggu.”
“Ok.” Vania pasrah dengan keinginan Aileen, lagipula memang tugasnya sebagai sekretaris untuk mengkondisikan apa yang Aileen minta. Namun belum sempat Vania keluar dari ruangan Aileen, pintu ruangan Aileen terbuka dan terlihat sosok Bara di baliknya.
“Leen, kita perlu bicara.”
“Apa departemen legal punya sesuatu yang harus dilaporkan atau dimintakan arahan ke vice presdir?”
“Leen, please.” Bara sudah masuk ke dalam ruangan Aileen meskipun Aileen masih memasang wajah ingin membunuhnya. Kesempatan untuk menjadi menantu keluarga Candra nggak akan datang untuk kedua kalinya, kecuali ia mau mendekati adik bungsu Aileen yang terkenal player. Lagipula, ia sebenarnya mencintai Aileen, sayangnya hatinya goyah oleh tubuh molek Erika.
“How?” Vania mengatakannya hanya dengan gerak bibir tanpa suara.
Aileen memberi kode kepada Vania untuk keluar. Ia masih mampu kalau hanya untuk menangani seorang Bara.
Bara menunggu Vania keluar dan menutup pintu sebelum ia mendekat ke kursi kerja Aileen—yang sekarang belum jelas statusnya, masih kekasih atau mantan kekasih.
“Leen.” Bara menyandarkan diri di meja kerja Aileen karena Aileen enggan untuk berdiri dari kursinya. “Maafin aku. Aku janji nggak akan terulang lagi. Aku khilaf. Dia selalu godain aku selama di kantor. Dan aku laki-laki normal, Leen.”
“Laki-laki normal harusnya bisa make otaknya. Apalagi selevel vice presdir di Candra Group. Kalo baru digoda modelan Erika bisa berpaling—” Aileen tertawa sebelum menyelesaikan kalimatnya. “Kamu bisa bayangin nggak, skandal apa yang akan terjadi nanti kalau kamu bener-bener jadi menantu di keluarga Candra? Kamu pikir perempuan akan menjauh setelah kamu punya jabatan sebagai vice presdir sekaligus titel menantu keluarga Candra? Nggak, Bar! Cewek-cewek makin gatel.”
Jantung Bara berdebar kencang. Aileen tidak semeledak-ledak seperti saat memergokinya tengah bersama Erika. Tapi dinginnya cara bicara Aileen membuat Bara kebingungan mengambil sikap untuk meluluhkan kembali hati Aileen.
“Kamu tau alasanku melampiaskan hasratku ke Erika, bukannya ke kamu?”
Aileen tidak mengangguk ataupun menggeleng, hanya menatap dingin pada Bara—laki-laki yang mewarnai hidupnya beberapa tahun belakangan ini.
“Karena aku nggak mau ngerusak kamu—”
“Jadi kamu ngerusak cewek lain?” Aileen menggeleng-gelengkan kepala. Ia jadi ingat beberapa hari sebelumnya sempat melihat sebuah post saat sedang scrolling media sosialnya. Sebuah foto dipajang salah satu akun, dengan caption “Terharu karena pacar menjaga diriku sampai kami halal dan lebih memilih melampiaskan hasratnya ke orang lain.”
Aileen sampai melongo tidak percaya karena ada wanita berpikiran seperti itu, dan kini ia menemui makhluk—yang sialnya sudah dikencaninya selama tiga tahun—memiliki pandangan yang sama piciknya (kalau tidak bisa dibilang tolol).
“Ya memang terdengar mengada-ada, tapi aku nggak akan berani bertindak lebih ke kamu karena aku menghargai kamu Leen. Aku janji, aku sumpah nggak akan ngelakuin hal itu lagi. Aku cuma khilaf.”
“Selingkuh itu pilihan, Bar.” Aileen sempat terdiam sesaat, bukan karena ia kebingungan menjawab, ia hanya kesal pada dirinya yang malah teringat Gama dan mengutip ucapan Gama. “Dan selingkuh itu, sepemahamanku bukan sebuah cara untuk menunjukkan kalau kamu menghargai aku.” Aileen berdiri, menepuk ringan pundak Bara. “Belajar lagi kalau mau bersilat lidah sama aku ya.”
Bara tergagap. Sejak awal, Aileen memang terkenal pandai untuk mencari celah di setiap ucapan orang lain. Andai saja Aileen tidak terjun ke perusahaan itu, mungkin ia sudah menjadi pengacara andal.
“Aku nggak akan nyerah begitu aja, Leen. Kamu akan lihat seberapa besar aku berjuang untuk dapetin kamu lagi.”
“Nggak usah repot-repot, Bar. Take it easy. Seneng-seneng aja sana sama Erika. Mumpung sekarang kamu free, nggak ada ikatan lagi sama aku.”
“Leen. Aku nggak bilang kalo kita udah putus ya.”
“Aku yang bilang. Cewek gila mana yang ngelihat pacarnya bercumbu sama cewek lain, dan masih bisa menerima cowoknya? Aku nggak sebodoh dan sebucin itu, Bar!”
“Tapi masih ada kesempatan untuk aku kan, kalau aku bener-bener berubah?”
“Nope. Harusnya kamu cukup bersyukur karena aku belum laporin semuanya ke Papa.”
Aileen melangkah menuju pintu dan membukanya. “Aku nggak mau bikin kegaduhan dengan manggil security untuk ngusir kamu. Silakan keluar, Pak Vice Presdir.”
Bara terpaksa keluar karena tahu kalau Aileen bukan orang yang suka main-main dengan ucapannya. Setelah Bara keluar, Vania langsung merangsek masuk, penasaran dengan alasan Aileen belum menceritakan kelakuan Bara kepada orang tuanya.
“Udah, Leen, gitu aja?”
“Hah? Apanya?”
“Kapan dia dipecat sih?”
Aileen menghela napas, perlahan bersandar pada punggung kursi. “Pengen banget sebenernya, Van, cerita ke Papa apa yang udah dia lakukan. Tapi … ya … let’s say aku mesti bersabar sebentar. Kamu tau sejarahku sama Bara gimana kan?”
Vania hanya bisa menghela napas kasar atas keputusan Aileen. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain menatap Aileen kesal sambil membatin, ‘Aileen dan egonya’.
Aileen mengerti arti tatapan Vania, tapi ia juga tahu kalau ia punya caranya sendiri untuk memberi pelajaran kepada Bara dan selingkuhannya.
Melaporkan kelakuan Bara kepada papanya tidak akan mengubah banyak hal, justru pandangan negatif orang lain kepada dirinya bisa saja semakin menggila. Ditambah lagi ia tidak memiliki bukti tentang kelakuan Bara. Jangan sampai dia dituduh hanya ingin menjatuhkan Bara karena ingin menduduki jabatan vice presdir.
Pandangan negatif kepada dirinya itu, sudah Aileen dapatkan sejak pertama kali masuk ke perusahaan sebagai karyawan baru, tanpa jabatan apa pun, dan tidak ada orang yang tahu kalau ia adalah anak dari orang nomor satu di Candra Group. Bara yang dua tahun masuk lebih dulu dari Aileen memegang peranan besar dalam membantunya beradaptasi.
Sampai akhirnya Bara dan Aileen sama-sama masuk bursa promosi. Setiap kali selalu begitu, mereka bersaing dan berteman akrab di saat yang bersamaan.
Namun kasak-kusuk mulai terdengar. Tiba-tiba saja beredar kabar tentang Aileen yang merupakan anak dari Narendra Rafardhan Candra—Presiden Direktur/Direktur Utama sekaligus pemegang saham terbesar di Candra Group.
Kemampuan Aileen kerap kali dipandang sebelah mata.
Termasuk saat ia bersaing dengan Bara memperebutkan kursi vice presdir.
Konon kata orang-orang, Bara lebih berkompeten daripada Aileen. Laki-laki lebih pantas duduk di kursi itu karena kerja keras yang harus dilakukan sebagai vice presdir. Dan macam-macam ucapan buruk yang diam-diam ditujukan untuk Aileen.
Saking kesalnya mendengar kasak-kusuk itu, Aileen meminta kepada papanya, agar dirinya ditempatkan sebagai direktur legal alih-alih sebagai vice presdir, dengan alasan bahwa ia masih butuh waktu untuk belajar sekalian napak tilas pekerjaan papanya dulu.
Naren awalnya tidak setuju karena berdasarkan hasil fit and proper test dari pada profesional dan dewan komisaris, skor Aileen jauh di atas Bara. Tapi Aileen berkali-kali merayu papanya dan pada akhirnya Naren menyerah, menjadikan Bara sebagai vice presdir sekaligus tangan kanannya.
Kasak-kusuk pun mereda. Aileen memang bekerja di bidang yang ia senangi, jadi sebenarnya sama sekali tidak masalah menyerahkan posisi vice presdir kepada Bara. Ia juga percaya pada kemampuan Bara. Apalagi saat itu Bara kelihatan tertarik dan mulai gencar mendekatinya.
Sejak itulah hubungan asmara antara vice presdir dan direktur legal di Candra Group terjalin, secara rahasia dan tanpa ada seorang pun yang tahu, kecuali sekretaris masing-masing yang mengemban tanggung jawab untuk mengurus jadwal keduanya.
Aileen menghapus bayang-bayang itu. Sudah saatnya ia merebut jabatan yang harusnya menjadi miliknya.
***
“Kak, pacar kamu suka makanan apa? Biar besok dimasakin kesukaannya.”
“Uhuk! Uhuk!” Aileen tersedak makanan yang baru saja ditelannya karena pertanyaan sang Mama.
Lidahnya masih kelu untuk mengatakan kalau ia tidak jadi membawa pasangan yang akan dikenalkannya kepada mereka.
“Halah, belum juga lulus screening test dari Papa. Suruh makan apa yang ada aja. Keenakan pake ditanyain mau makan apa.” Naren menyela istrinya yang menanti jawaban dari anak sulung mereka.
“Besok … hmm … hmm—”
“Mau ngomong apa sih, Kak?” Rhea menegur halus anaknya karena ia tahu Aileen sedang menutupi sesuatu.
“Besok … nggak jadi, Ma, Pa.”
“Kalian berantem?” tanya Rhea lagi.
“Hmm … nanti ya, Ma, kapan-kapan aku bakal cerita, tapi nggak sekarang ya, Ma.”
Aileen menoleh saat mendengar tawa dari papanya.
“Baguslah. Papa nggak keburu-buru pengen dapet mantu kok. Berarti besok Papa bisa kencan sama Mama kan, Kak?”
Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Ia bingung apakah papanya overprotective sampai tidak ingin ia segera membawa pasangan, atau … papanya tidak ingin jadwal ‘kencannya’ terganggu.
“Paaa. Anakmu lagi ada masalah loh.”
Aileen menggeleng. “Nggak kok, Ma. Nggak ada masalah. Nanti kalo aku beneran siap, aku pasti bawa pulang pasanganku. Pokoknya kalau sampe aku bawa pasangan, Mama sama Papa boleh langsung tanya, mau nikah kapan.”
“Enak aja! Dia mesti ngadepin Papa dulu!”