webnovel

Menemukan Sesuatu

Aku biasa memeriksa isi saku suamiku setiap kali akan kubenamkan ke dalam mesin cuci yang berisi air detergen. Beberapa kertas kutemukan di dalam saku celananya.

 

Mataku terbelalak ketika melihat dua lembar surat pembelian perhiasan. Tentu bukan untukku, aku hanya mengenakan cincin kawin dan anting pemberian ibuku.

 

Kulirik tas Bang Indra yang kemarin malam dia bawa tugas keluar kota. Ada sesuatu yang bergetar, langsung kubongkar isinya dan sebuah ponsel lain yang tak pernah kulihat sebelumnya selama ini.

 

Panggilan masuk dari My hunny bala-bala. Kugeser tombol hijaunya.

 

"Pagi, Sayangku! Terima kasih, ya! Kalung dan cincin yang kamu tinggalkan di bawah bantal, indah banget. Emmuuaah!" Perempuan bala-bala kadut di seberang sana berucap dengan suara yang mendayu-dayu manja dan menggoda.

 

Naik pitam aku mendengarnya, langsung saja kuputuskan sambungan teleponnya tanpa banyak bicara. Aku menenggak liurku berkali-kali.

 

Kugenggam ponsel neraka itu dan kulangkahkan kakiku cepat ke dalam kamar untuk menemui Si pawang bala kadut. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun dan tak bisa kuredam lagi.

 

Kutendang pintu kamar sekuat tenagaku. Bang Indra terenyak dari tidurnya. Ponsel itu berdering lagi, kusodorkan benda itu ke wajah Bang Indra setelah kulihat siapa yang menelepon.

 

"Siapa Bala-bala kadut ini? Hah?" Tak bisa kutahan lagi nyeri di hatiku, sampai jeritannya terlampiaskan melalui lisanku.

 

Bang Indra menyipitkan matanya lalu memandangku dengan gugup.

Kulihat dadanya naik turun, dia seperti terkena serangan jantung mendadak dengan bulir keringat yang mengucur di dahinya.

 

"Ayo, jawab! Siapa Bala-bala kadut ini?" senggakku.

 

Aku sedang lelah dengan urusan rumah yang tak kunjung selesai, ditambah anak bungsuku terus rewel, mungkin sedang masa-masa tantrumnya.

 

Pagi-pagi sekali aku bangun dengan niat untuk memulai hari tanpa emosi atau sakit kepala karena apa pun. Belum selesai kusebutkan niatku secara utuh, emosi yang mengendap di kepalaku sejak kemarin malah disulut api.

 

Jakun Bang Indra terlihat jelas naik turun. Sesekali dia menjilat bibirnya sendiri. "Kamu ngagetin aku aja, Yan," katanya, manik matanya mondar-mandir ke kanan dan ke kiri.

 

"Oh, sedang mimpi indah dililit Bala Kadut, ya," ledekku dengan senyum yang kupaksakan.

 

"Bala kadut apa, sih? Mimpi indah apa? Aku 'kan, baru pulang dinas, Yan. Jam dua dini hari baru bisa mejamin mata ini. Jelas aja aku kaget." Bang Indra mengusap wajahnya dengan kasar.

 

"Kamu jangan main api di belakangku, Bang!" tekanku. "Di rumah ini udah banyak bara api berantakan yang belum bisa kusingkirkan," terangku.

 

Ya, pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga dengan empat anak sungguh membuatku kerepotan. Aku seolah dikelilingi api-api yang berkobar setiap harinya setiap kali keempat anakku berulah.

 

Usia mereka masih terbilang kecil, orang menyebut anakku adalah anak susun paku. Yang pertama lelaki, usianya sepuluh tahun. Kami memberinya nama Abi, saat ini dia sedang sibuk sekolah Daring dan itu membuatku pusing.

 

Anak keduaku perempuan, kami memberinya nama, Syafa. Usianya delapan tahun, dan juga sedang menjalani pendidikan Daring semenjak masa pandemi ini.

 

Anak ketigaku bernama, Bian. Usianya lima tahun. Sekarang sudah menempuh pendidikan anak usia dini dan itu juga Daring.

 

Anak bungsuku berusia dua tahun, namanya Satria. Belakangan ini dia terus menangis. Mungkin saja karena aku terlalu sibuk mendampingi ketiga kakaknya sekolah. Jadi, dia protes.

 

Suamiku bekerja sebagai kontraktor. Dia sering menginap di tempatnya mengerjakan proyek dengan alasan lelah kalau harus pulang-pergi   kota setiap hari. Jadi, paling lama kami terpisah adalah seminggu. Sekarang ini, dia sedang mengerjakan proyek di Jakarta, kami tinggal di Cikarang.

 

"Tolong katakan dengan jujur, Bang. Siapa ini?" tanyaku dengan sedikit menurunkan nada suaraku. Aku mulai sadar bahwa nadaku terlalu kasar.

 

Kutunjukkan kembali ponsel yang lagi-lagi berdering ke depan matanya yang masih merah.

 

"Itu istrinya Dika, Yan. Hape dan dompetnya enggak sengaja ketinggalan pas kemarin dia ngunjungin aku di tempat proyek. Jadi, ya, kubawa pulang aja. Besok baru kukembalikan," terang Bang Indra.

 

"Yang betul, Bang?" tanyaku lagi. Dia mengangguk.

 

Aku berasal dari Sumatera Utara, tentu cara bicaraku tak bisa selembut Bang Indra yang berasal dari Jawa Barat. Namun, hatiku sangat lembut sebenarnya.

 

"Iya, kapan aku bohong sama kamu, Yan? Selama ini semuanya kukasih sama kamu," kata Bang Indra. Nada suaranya tak lagi bergetar seperti tadi, air mukanya juga sudah tenang.

 

Kupandangi lekat wajah Bang Indra diam-diam. Dia merampas lembut ponsel itu dari tanganku. Helaan napas leganya membuatku curiga.

 

"Kenapa kayak gitu Abang buang napas? Kayak yang lega gitu." Kupandangi dia penuh selidik.

 

"Loh 'kan, enggak salah kalo bersyukur. Kalo tadi hape ini sampe kerendem, bisa gawat. Ini hape orang, kalo ada data-data penting gimana?" Bang Indra mengangkat dagunya.

 

Kemudian, pria bertubuh tegap itu bangkit sambil meletakkan ponsel itu secara sembarang di atas nakas.

 

Kalau itu handphone banyak rahasianya, pasti Bang Indra tak akan meletakannya   begitu saja. Tidak! Aku tak boleh percaya begitu saja. Bisa jadi ini trik agar aku tak menyelidiki lebih jauh setelah dia ketahuan.

 

Bang Indra menarik handuk yang tergantung di balik pintu. "Lain kali, tanya aku baik-baik, Yan. Kalo tadi aku kena serangan jantung, terus mati, gimana?" Bang Indra mencolek ujung daguku.

 

Aku hanya mengerjap tanpa henti setelah kepergiannya dari kamar ini. Setelah kulihat Bang Indra tak lagi tampak, baru aku menyadari kertas dalam genggamanku. Segera kukejar kembali Bang Indra ke arah dapur.

 

Kugedor pintu yang baru saja tertutup. "Buka, Bang!" pintaku memaksa.

 

"Apa lagi, Yan?" tanyanya lesu dengan kepala yang muncul dari celah pintu.

 

Kuserahkan kertas bukti pembelian emas itu pada Bang Indra. Dia meraihnya, kemudian pintu kamar mandi yang berwarna biru langit itu terbuka lebar.

 

Lagi-lagi dia menenggak liur basinya. Dia pandangi lekat kertas itu dan dia serahkan kembali padaku. Aku bingung!

 

"Tolong letakkan di deket hape tadi, ini punya Dika." Bang Indra menyunggingkan senyum yang aneh.

 

"Kamu enggak lagi bohong 'kan, sama aku, Bang?" tanyaku penuh selidik.

 

"Bohong apa, sih? Ini kalo aku emang beli kalung, pasti udah nyangkut dilehermu, Yan." Bang Indra mengusap lembut leher jenjangku.

 

"Kamu jangan macem-macem, Bang!" ancamku.

 

"Aku mandi dulu, Yan. Enggak ada yang lagi macem-macem sama kamu," tandasnya, lalu pintu itu tertutup.

 

Aku menenangkan perasaanku. Segera aku ke kamar dan meletakkan kertas itu di samping ponsel tadi. Sebuah pesan masuk.

 

[Kutunggu, ya, Bang ....] Hanya segitu yang bisa terbaca olehku.

 

Aku mengepalkan kedua tanganku, emosi kembali naik setelah membaca sepotong pesan itu.