webnovel

Ditinggal

#POV Indra

 

Kugenggam erat tangan mulus, halus, dan putih milik Siska, janda cantik, kaya raya, dan bahenol yang kucintai di belakang istriku. Tubuhnya benar-benar terawat sekali. Aku dibuat mabuk kepayang oleh kecantikannya.

 

Memang Yania lebih cantik jika dibandingkan Siska, tetapi entah kenapa hatiku terpaut oleh janda ini. Dia benar-benar menggoda.

 

Teringat pertama kali kami bertemu yaitu dua tahun lalu, aku yang mengerjakan proyek pembuatan puluhan ruko miliknya di daerah Tangerang. Saat itu kami berbincang-bincang biasa ala rekan bisnis.

 

Mungkin karena terlalu sering berkomunikasi, baik itu tatap muka atau pun melalui handphone, makanya aku jadi kepincut. Herannya, dia tak menolakku, meski dia tahu aku sudah beristri dan beranak tiga kala itu.

 

"Dek, Abang pulang dulu, ya." Aku berdiri di depan pintu rumah Siska sambil mengelus-elus punggung tangannya.

 

"Iya, Bang. Pasti istrimu udah kangen banget sama kamu, tiga hari enggak pulang." Siska bertutur sangat lembut. Gerakan bibirnya selalu membuatku terhanyut, lamban.

 

Jika dibandingkan dengan Yania, tentulah berbeda. Perempuan yang kunikahi lebih kurang 10 tahun lalu itu, kalau berbicara seperti gerakan jarum mesin jahit yang lincah. Namun, aku sangat mencintai Yania.

 

"Nanti Abang ke sini lagi, kan?" tanya Siska dengan nada dan ekspresi manja.

 

"Iya," jawabku sambil menggamit ujung hidung minimalisnya. "Ya, udah, Abang berangkat dulu, keburu larut," kataku sambil menilik arloji di pergelangan tangan.

 

Siska tinggal di daerah Bandung seorang diri saja. Anaknya berusia 15 tahun, saat ini sedang berada di rumah bapak kandungnya. Dua minggu sekali anak itu tinggal bergantian di dua rumah yang berbeda. Saat Siska sendirian, akulah yang menemaninya.

 

"Ada sesuatu untukmu di bawah bantal." Aku mengingatkan setelah mengecup lembut pucuk kepalanya.

 

Harum rambutnya sangat menenangkan saat menyentuh rongga penghiduku. Senang sekali rasanya setiap aku mengecup rambut lembut itu.

 

"Ya, udah, Abang berangkat, gih! Aku udah enggak sabar pengen liat hadiahnya." Dia mendorong tubuhku pelan.

 

Aku pun menurut, segera kutenteng tasku yang sedari tadi menunggu dan menjadi saksi bisu setiap pertemuanku dengan Siska selama dua tahunan ini.

 

Demi terus memandangi Siska, aku berjalan mundur untuk sampai ke mobil. Rasanya berat sekali kalau harus meninggalkannya, ingin kubawa dia bersamaku.

 

Memang aku dan Siska belum pernah melakukan hal yang sampai jauh, seperti berhubungan suami-istri. Kami hanya saling bertemu, tidur bersama sambil berpegangan tangan.

 

Aku berniat ingin segera menikahi Siska, tetapi aku belum punya keberanian untuk mengatakannya pada Yania. Aku khawatir dia akan terluka jika tahu, meski sekarang aku sudah melukainya tanpa dia sadari.

 

***

 

Pukul sembilan malam. Kupacu mobil mini busku menuju Cikarang via tol. Jalanan lumayan lengang. Sepertinya aku bisa cepat sampai. Aku rindu pada Yania dan anak-anakku.

 

Aku menggeleng sembari tertawa lucu. Aku menertawai diriku sendiri. Kenapa aku bisa segila ini? Mencintai istri, tetapi menginginkan yang lain pula.

 

Ponselku berdering, segera kuklik tombol yang ada di handsfree earphone. Suara manja anak-anak terdengar berebutan di seberang sana.

 

"Hei, udah dulu! Mama mau ngomong sama Papa." Seketika tak terdengar lagi suara pasukanku.

 

Meski Yania tak marah atau membentak, tetapi anak-anak begitu menurut jika dinasihati olehnya. Namun, kalau denganku, anak-anak jauh berbeda. Agak cuek, meski ingin dekat. Mungkin karena aku jarang pulang belakangan ini. Ya, aku sibuk dengan pekerjaan dan juga Siska.

 

"Kenapa, Sayang?" tanyaku dengan nada selembut mungkin.

 

"Abang di mana? Enggak pulang lagi?" cecarnya sangat manja. Ada rengekan seperti anak kecil yang mencari ibunya.

 

"Pulang. Ini lagi di jalan, kok. Kenapa? Kamu dan anak-anak mau nitip apa?" tanyaku.

 

Aku memang selalu membawakan apa yang mereka pesan setiap kali aku pulang dari mana saja dan itu selalu membuat mereka senang.

 

"Beneran pulang?" Dia seperti tak percaya.

 

"Iya, Sayang!" tandasku.

 

"Ya, udah, hati-hati! Aku nitip kamu aja. Karena aku udah kangen banget. Anak-anak mau burger, kentang goreng, dan bubble drink," jelasnya.

 

"Oke, siap. Ditunggu, ya, Bu!" candaku. Yania tertawa di balik telepon itu.

 

***

 

Pukul sebelas lebih aku tiba di rumah. Kudengar anak-anak berteriak. Dari suaranya seperti sedang berlari ke arah luar.

 

"Papa pulang!" Bian melonjak-lonjak di belakang pintu teralis. Kedua kakaknya menyusul di belakang, nyaris menabrak adiknya.

 

"Assalamu'alaikum!" ucapku sambil menunggu pintu dibuka.

 

"Bentar, Pa! Mama lagi nyari kunci, tadi dimainin Satria," celetuk Syafa. Ketiga pasang mata itu sudah menatap lekat pada barang bawaanku di sebelah kanan.

 

Yania muncul dengan senyum manis yang menawan hatiku sejak sepuluh tahun hingga saat ini.

 

"Masuk, Bang!" suruhnya setelah mencium punggung tanganku.

 

Kusodorkan kantong berisi makanan pada anak-anak dan mereka langsung menuju ruang TV untuk menikmatinya.

 

"Untukku mana?" tagih Yania sambil mengulurkan telapak tangannya.

 

Kuserahkan tasku. Dia mengerucutkan bibirnya sampai menutupi lubang hidung.

 

"Nih!" Kusodorkan lagi kantong berisi makanan kesukaannya, bakso ceker mercon. Yania girang sekali menerima itu.

 

"Makasih, Bang. Air hangat untuk mandi udah siap, baju juga udah siap, dan air minum udah ada di meja makan," ujar Yania.

 

Aku merangkulnya. Kami berjalan bersama ke dapur melintasi ruang TV. Anak-anak terlihat menikmati makanan dengan senyap.

 

***

 

Suasana rumah sungguh lengang. Pukul setengah satu dini hari. Anak-anak sudah tidur. Yania menungguku di ruang TV.

 

"Belum tidur, Yang?" tanyaku. Sambil menggosok-gosong hidungku yang terasa gatal.

 

"Aku mau cerita sama Abang. Enggak cape 'kan?"

 

Aku menggeleng sambil duduk di sampingnya. Meski sebenarnya rasa kantuk dan lelah melanda, tetapi aku selalu menyempatkan telingaku sebentar untuk mendengar keluh kesahnya. Dia pun mulai bercerita.

 

"Aku udah mulai stres ngadepin sekolah Daring tiga anak, Bang. Ditambah Satria terus nangis dari kemarin. Ngamuk, kejer, enggak mau berhenti ... emosi tingkat tinggi." Yania menghela napas kasar.

 

Dia lelah! Itulah yang kutangkap.

 

"Jadi, sekarang masih emosi?" tanyaku. Dia mengangguk.

 

"Emosi banget, syukurnya aku masih bisa nahan-nahan, walau sampe sakit kepalaku, Bang." Yania menjatuhkan kepalanya di lenganku yang kuletakkan di atas sandaran sofa.

 

"Sabar, ya, Sayang! Maafin aku karena sibuk banget di luar." Hanya itu yang bisa kukatakan.

 

Kulihat jam dinding, tanpa terasa sudah jam dua. Lama juga Yania bercerita. Karena rasa kantukku tak bisa lagi kutahan, akhirnya aku mengajaknya tidur. Sayangnya, ketika aku baru saja ingin memejamkan mata, Satria menangis.

 

"Tidurlah, Bang! Biar kubawa Satria ke kamar Syafa." Yania mengangkat Satria sambil terus menepuk-nepuk lembut punggung bayi kecil kami.

 

"Makasih, Sayang!" Kukerlingkan mata, dan langsung mendekap guling.

 

Ini bukan kali pertama Yania membawa Satria pindah ke kamar lain, lalu dia ketiduran di sana dan membiarkanku terlelap sendirian di sini. Argh! Mendadak aku rindu dengan Siska.