webnovel

Rayen Aghalenta

Perjodohan yang tidak diduga mengharuskan dua insan yang tidak saling mencintai harus membentuk sebuah rumah tangga. Apa yang akan terjadi jika seorang lelaki berpenyakitan mental harus menikahi seorang gadis yang berpenyakitan mental juga? Rayen Aghalenta, nama yang saat ini terkenal tiga tahun berturut-turut di Sma lintang biru. Berkat ketampanannya, Rayen menjadi idaman para gadis di sekolah. Bukan hanya itu, sifatnya yang dingin membuatnya sangat terkesan di mata para gadis. Namun, siapa sangka pemilik wajah sempurna ini adalah seorang DARK TRIAD, kepribadian yang begitu berbahaya. Rayen yang seharusnya dijauhi malah didekari karena ketampanannya. Lalu, apa yang terjadi jika Rayen menikah dengan seorang gadis Immature Personality Disorder alias Childish? Dan bagaimana pula Clea menghadapi Rayen yang menyimpan penyakit jiwanya? Penasaran? Baca ceritanya di RAYEN AGHALENTA. Jangan lupa tetap support ya ....

Widhi_7581 · Urbain
Pas assez d’évaluations
4 Chs

Laksanakan perjodohan

Puluhan berkas bertumpuk di atas mejanya. Sejenak ia menghembuskan nafas panjang. Entahlah, rasanya berat sekali mengerjakan berkas-berkas ini.

Walau berkas ini adalah bukti bahwa perusahaannya semakin pesat saja. Neraca keuangan di perusahaan juga semakin menaik. Seharusnya, Garma bahagia mendengar berita itu dari sekretaris pribadinya. Namun, Garma malah membiaskan wajah tidak bersemangat.

Oh ayolah, bagaimana ia bisa tenang dan bersemangat saat kabar Rayen belum ia dengar sekalipun?

Garma tahu kalau Rayen pasti menginap di rumah kedua temannya itu, jika bukan ditempat Anze, maka ditempat Gerald, tapi tetap saja ia tidak bisa tenang sebelum mendengar kabar dari putranya itu.

Apakah baik atau ...?

Dari pagi perasaan Garma tidak enak. Pikirannya terus melayang-layang tentang Rayen. Entahlah hatinya merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Tak mau berlama-lama dengan pemikiran buruknya. Akhirnya, Garma memutuskan mengambil sebuah berkas, lalu membukanya. Baru saja pria paruh baya itu ingin membaca lembaran pertama, tapi deringan handphone membuatnya langsung berpindah haluan.

Nama Gerald tertera di layar handphonenya membuat sang empu mengulas senyum tipis. Pasti Gerald menghubunginya karena ingin memberitahukan keadaan Rayen. Segera Garma mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Gerald," sapa Garma duluan.

'Hallo, Om.' Gerald menyapa balik dengan sopan di seberang sana.

"Kamu menelfon Om karena ingin memberitahukan keadaan Rayen bukan?" tanya Garma tanpa basa-basi.

Di sana Gerald terdengar terkekeh. 'Iya, Om tahu aja deh.'

"Tentu saja. Om sudah hafal tingkah kamu dasar cepu! Kamu pasti mengingkar janjimu, 'kan kepada Rayen?"

Lagi, Gerald terkekeh. 'Oh, ayolah Om. Om juga pasti suka, 'kan dengan sikapku ini? Sebagai teman yang baik, aku tidak bisa membiarkan Rayen seperti itu kepadamu. Dia anak yang nakal.'

Spontan Garma mengangguk. "Benar, Rayen memang anak yang nakal. Baiklah, sekarang apa informasi yang ingin kamu berikan kepadaku?"

'Aku akan memberitahukan Om, tapi sebelum itu Om harus berjanji tidak marah-marah sama aku dan tetap tenang.'

Garma mengerutkan keningnya bingung. "Memangnya Rayen kenapa? Dia baik-baik aja, 'kan?"

'Berjanji dulu, Om.'

Garma menghembuskan nafas pasrah. "Baiklah. Om berjanji."

'Begini Om, tadi pagi Rayen kecelakaan, tapi Om gausah khawatir. Dia baik-baik aja kok Om. Kepalanya mendapatkan 10 jahitan dan lainnya hanya luka ringan,' tutur Gerald.

"Apa? 10 jahitan? Bagaimana bisa? Sekarang Rayen dirawat di rumah sakit mana?"

'Rumah sakit XX, Om.'

"Baiklah, Om segera ke sana."

'Tunggu Om!'

Garma kembali mendekatkan benda pipih itu di telinganya kala mendengarkan teriakan Gerald di seberang sana.

"Ya?"

'Om, apa benar Rayen akan dijodohkan?'

"Darimana kamu mendengarnya?"

'Dari Rayen sendiri, Om. Namun, masalahnya Rayen sepertinya tidak suka dengan perjodohan ini, tapi saya pribadi akan mendukung Om melakukan perjodohan ini. Sampai kapan Rayen akan jomblo di umurnya segini? Terus, siapa yang akan mau mendekatinya jika sikap Rayen Begitu dingin dan kasar.'

'Perjodohan ini baik untuknya.'

"Om juga berpikir begitu, tapi tahu sendiri anak itu sungguh keras kepala. Saya akan mengeraskan kepada Rayen. Serahkan kepada Om saja."

'Iya, Om. Kalau butuh bantuan, pintu saya terbuka lebar untuk anda.'

"Bisa aja kamu. Yaudah, Om matikan dulu karena Om ingin menemui anak nakal itu."

'Iya, Om.'

Panggilan pun dimatilan sepihak oleh Garma, lantas pria paruh baya itu beranjak dari kursi kebesarannya, lalu mengambil kunci mobil pada gantungan yang sudah tersedia di ruangannya. Nasib orang kaya memang begitu, karena mobil terlalu banyak.

Garma terburu-buru menuruni anak tangga, sampai panggilan seorang nenek tua yang menyandang status pembantu di rumah besar itu tak dihiraukannya. Sang nenek yang kerap dipanggil bibi itu oleh Garma mengerutkan keningnya melihat tuannya nampak terburu-buru.

"Kasian, Tuan. Pasti ini semua karena ulah Rayen," gumam sang nenek sambil geleng-geleng kepala, lalu beranjak dari sana untuk melakukan pekerjaannya yang sempat tertunda.

•••

"Anjir! Sakit, goblok!" pekik Gerald ketika Anze melayangkan sebuah tinju di bahunya.

"Pantas buat lo! Ngapain lo kasih tahu Om Garma tentang Rayen yang kecelakaan? Lo gila, hah?!" bentak Anze menggebu-gebu.

Gerald sedikit mengelus punggungnya yang ditinju oleh Anze. Sakit? Jangan ditanya. Beruntung Gerald masih bisa menahannya kalau tidak Gerald sudah melakukan yang sebaliknya, seperti yang dilakukan Anze kepadanya.

Untung teman!

"Lo santai aja, bro! Om Garma adalah Ayahnya Rayen dan tentu saja dia pantas mendengar keadaan putranya itu."

Bola mata hazel itu berputar malas. "Terserah! Tapi gue gak mau ya kalo lo memasukkan gue ke dalam masalah ini. Siap-siap lo nerima hadiah dari Rayen."

"Ck! Gue gak takut! Palingan gue kabur aja dari dia. Beres, 'kan? Lagipula Rayen orangnya tidak terlalu jahat. Gue itu temannya, dia gak mungkin bunuh gue hanya gara-gara itu." Gerald berdecak kesal.

Anze manggut-manggut saja dengan senyum licik yang tidak ia perlihatkan. Sepertinya, Gerald belum mengetahui Rayen sepenuhnya.

"Terserah!"

Gerald sontak berbalik melihat tubuh Anze yang sibuk menata pakaiannya di dalam lemari milik Gerald. Dahi lelaki itu mengerut, lalu detik kemudian Gerald mendengus kesal. "Lo kayak cewek aja, Nze. Terserah- terserah mulu!"

"Iya, makanya jangan deket-deket sama gue. Gue lagi pms dan pasti lo tahu gimana cewek kalo lagi pms."

Sejenak, Gerald terdiam dengan wajah tegang dan bingung. "Anjay, lo titisan cowok hamil di Nano-Nano itu, 'kan? Apa jangan-jangan lo hamil juga, secarakan lo pms kayak cewek?"

Terlihat wajah Anze menahan geram. Tarik nafas, lalu hembuskan. Tarik lagi, hembuskan. Anze memejamkan matanya sebelum lelaki itu berbalik membuatnya bisa menatap Gerald sepenuhnya.

Anze mengangkat kepalan tangannya sebelah dan itu sudah cukup memberitahukan Gerald apa yang akan terjadi setelahnya.

"Lo mau mati, hah? Mau gue undang joget peti sekalian, biar mayat lo dijoget-jogetin sebelum dibuang?"

"Anjrit! Nze! Ampun, gue bercanda, cok!"

Jadilah keduanya saling kejar-kejaran. Beruntung kamar apartemen milik Gerald lumayan besar sehingga tidak membuat mereka tersandung dan bebas kejar-kejaran. Gerald lari terbirit-birit seperti tikus dan Anze dengan semangat 45 mengejar Gerald seperti kucing. Ia sungguh geram terhadap Gerald. Tiap lelaki itu ngomong selalu saja mengudang tensinya menaik.

"Anze! Sorry!" Bisa-bisanya Gerald berhenti berlari dan memohon kepada Anze disaat-saat genting ini. Bukan apa-apa, jika Gerald di suruh memilih membuang koleksi ceweknya, maka ia akan melakukan itu daripada harus merasakan pukulan maut dari Anze.

Gerald sepertinya menyesal karena berteman kepada dua lelaki yang kejamnya bukan main.

"Gak! Lo harus mati malam ini."

"Anze!"

"Ape lu?!"

"Aaaaa!! Anze jangan!"

°•••°

Bagi Rayen, suasana seperti saat ini adalah yang paling membahagiakan di dalam hidupnya. Malam ini, Rayen benar-benar merasakan apa yang namanya hidup tanpa beban, hidup tanpa kebisingan.

Dengan santainya, lelaki itu turun dari atas brankar sambil mengangkat tiang infus bersamanya. Rayen mengambil tas ransel hitam yang berada di atas sofa. Sekilas ia terkekeh pelan mengingat Gerald dan Anzelah yang mengurus perlengkapannya ketika dirawat di rumah sakit.

Rayen sungguh menyanyangi kedua temannya itu, meski mereka terkadang menyebalkan. Yah, hanya itu saja sih yang Rayen tidak suka dari mereka. Usai mengingat itu, Rayen mengambil bungkusan rokok dari dalam ransel tersebut.

Matanya berbinar melihat itu. Langsung saja Rayen menarik sebatang rokok dari bungkusannya. Sepertinya ia harus berterimakasih kepada kedua temannya itu. Mereka sangat mengenal dirinya. Walaupun terpaksa ia harus menyuruh keduanya untuk segera pulang. Kalian tahu sendirilah alasannya.

"Koreknya aja gak lupa," gumam Rayen mengambil pemantik dari dalam ransel itu juga. Rayen meletakkan kembali ransel itu pada tempatnya, kemudian mendudukkan bokongnya di atas sofa dan tak lupa membakar sebatang rokok tersebut.

Rasanya, dunia Rayen seolah melayang bahagia mengisap rokok dan menghembuskan asap. Rayen paling suka momen ketika menghembuskan asap rokok ke udara. Baginya itu seperti pemandangan aurora borealisme.

Saat sedang asyik-asyiknya menikmati seputung rokok yang dibakar, decingan pintu terbuka mengalihkan pandangan was-wasnya ke arah sana. Dan betapa terkejutnya lelaki itu ketika melihat Garma--Ayahnya berdiri di ambang pintu.

Reflek Rayen mematikan rokoknya dengan menginjaknya, meski begitu berat.

Namun terlambat, mata elang Garma sempat menangkap insiden tersebut. Garma bersidekap dada sambil memandang Rayen yang nampak gelegapan.

"Enak?"

"Hah?"

"Enak rokoknya?"

Rayen mendengus kesal. Kenapa Ayahnya bisa tahu dia ada di sini? Pasti, ini semua ulah Anze dan Gerald. 'Kalian!' geram Rayen dalam hati.

"Kenapa diam?" tanya Garma memecah lamunan Rayen.

"Ayah ngapaian ke sini?" Rayen mengubah topik pembiacaraan dengan acuh.

Garma, lelaki itu melangkah masuk dan tak lupa menutup pintu kembali. Kini, pria paruh baya itu berdiri tepat di hadapan Rayen. "Bagaimana keadaanmu?"

Rayen mengalihkan perhatiannya dari sang Ayah. "Tidak masalah." Beginilah Rayen, ia begitu dingin ketika berbicara kepada Garma.

"10 jahitan? Apa tidak sakit?"

"Aku anak Ayah, anak dari mantan seorang mafia. Jadi, luka seperti itu hanya hal kecil."

"Hal kecil katamu?" Garma menghembuskan nafasnya mencoba untuk tidak emosi. "Rayen, Ayah khawatir kepadamu, sayang."

"Baiklah, Ayah ke sini bukan untuk bertengkar, tapi hanya ingin melihat dirimu." Garma berniat menyentuh kepala Rayen yang diperban. Ia bisa melihat karena posisi Rayen saat ini membelakanginya, tapi kepala Rayen yang tiba-tiba menoleh mengurungkan niatnya.

"Pasti sangat sakit."

"Ya, sakit! Tapi tidak sesakit ketika Ayah mencoba menjodohkanku. Ini semua karena Ayah! Membuatku tidak bisa berkosentrasi karena terus memikirkan hal itu."

"Rayen ...."

"Berapa kali aku bilang kalau aku tidak suka perjodohan! Aku benci sama Ayah!"

"Ay---."

"Mending Ayah pergi dari sini."

"Tapi Rayen---."

"Ayah!"

Sudah cukup! Emosi yang berusaha dipendam oleh Garma tidak bisa bertahan lagi.

"Kamu berani sekali membentak Ayahmu! Rayen, Ayah akui ini semua adalah salah Ayah. Salah karena terlalu memanjakan anak sepertimu. Bahkan, ketika kamu meminta hal, dari kecil sampai besar Ayah selalu mengabulkannya, tapi kenapa ketika Ayah meminta kepadamu satu hal, kamu tidak bisa mengabulkannya."

"Rayen, di dalam kehidupan seorang mafia, janji adalah hal sakral yang harus ditepati meski berat dan Ayah tidak bisa mengingkar janji Ayah kepada teman Ayah sendiri. Jangan buat Ayah merasa bersalah dengan janji itu. Jika kamu anak Ayah laksanakan perjodohan ini."

"Ayah pergi," pamit Garma kemudian.

Dengan langkah gontai pria paruh baya tersebut melenggang pergi dan menghilang dari pandangan Rayen yang terdiam membeku di tempat. Begitu berat bagi Garma sebenarnya meninggalkan Rayen sendirian di sini, tapi ucapan Rayen terlalu menyayat hatinya.

"Semoga kamu mengerti jika Ayah melakukan ini tanpa alasan," gumam Garma di sela-sela perjalanannya.