Ruangan bernuansa putih itu masih gelap saat Regina bangun dari tidurnya. Tidak, tidak ada bunyi alarm nyaring yang membangunkannya dengan terpaksa. Dia bangun sendiri, seolah ada alarm di dalam dirinya yang membuatnya dengan mudah terjaga padahal baru beberapa jam lalu memejamkan mata. Napas panjangnya berembus, berusaha mengenyahkan sisa-sisa kantuk yang menggodanya untuk kembali memejamkan mata dan bergelung di alam tidurnya yang tanpa mimpi.
Regina turun dari ranjang King Size, berjalan menuju kamar mandi yang memang sudah satu paket dengan kamarnya. Aktivitasnya sama seperti pagi-pagi lainnya. Seperti sudah ada program yang dimasukkan ke dalam tubuhnya sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan sebentar lagi, dia akan membuat rutinitas baru setelah menikah dengan Adhi.
Menikah, hal yang tidak bisa Regina hindari apapun yang terjadi. Hal yang memang sudah diatur sedemikian rumah dan dirinya tinggal menjalankannya. Praktis, sebenarnya. Regina tidak perlu berusaha untuk memulai hubungan atau semacamnya dengan pria sembarang. Dia hanya perlu diam dan menunggu pria itu datang. Dan semua akan berjalan seperti seharusnya. Sesuai panduan yang berlaku.
Tapi …. kenapa Regina merasa tidak yakin sekarang? Seolah pilihan ayahnya benar-benar buruk? Luar biasa buruk malahan.
***
Wanita itu baru saja memasuki ruangannya saat ketukan terdengar pelan dan pintu dibuka dari luar. Adik lelakinya itu entah angin apa sepagi ini sudah muncul dengan senyum tengilnya.
"Hai, Kak. Selamat pagi," sapanya dengan senyum menjengkelkan.
"Ada perlu apa?" tanya Regina tanpa basa-basi.
"Memangnya kalau aku ke sini itu selalu harus ada perlu? Enggak, 'kan? Aku hanya mau menikmati sisa-sisa waktumu masih beraktivitas di kantor." Pria itu menoleh dengan cengiran yang menurut Regina sangat menjengkelkan.
"Seneng kamu? Akhirnya nggak ada yang mencerewetimu soal kinerjamu di kantor lagi." Mengangguk riang, Darwin jelas tidak mau repot-repot menyangkal kalimat kakak perempuannya itu.
Saatnya Regina melempar bom untuk meluluh lantakkan kesenangan adik lelakinya yang belum melambung terlalu tinggi itu. "Sayangnya, Win, kamu harus hapus bayangan indahmu itu sekarang juga." Regina tersenyum miring dengan dagu ditopang.
Tidak perlu menunggu kalimat tanya meluncur dari bibir Darwin, Regina langsung menambahkan keterangan yang tidak Darwin duga-duga.
"Aku tetap bekerja. Aku sudah mengobrol dengan Adhi dan kami sepakat setelah menikah aku tetap diperbolehkan untuk bekerja."
"What?!"
Tersenyum puas, Regina jelas sangat terhibur melihat ekspresi adiknya itu. Ada rasa geli melihat bagaimana polosnya Darwin dengan mata melebar seperti mau keluar.
"Bagaimana bisa? Bukankah harusnya kamu fokus mendampingi suami dan melahirkan calon-calon pewaris perusahaan?" tanya Darwin masih belum terima dengan pemberitahuan yang sangat mengejutkan itu. Karena biasanya, di keluarganya, mau setinggi apa posisi seorang wanita saat masih lajang, begitu menikah maka semua kesenangan, tanggung jawab, dan kebebasan bekerja harus dilepaskan mau tidak mau. Dan karena Regina anggota keluarga Atmadja, Regina jelas harus tunduk pada aturan itu.
"Selama aku belum punya anak, aku bebas bekerja."
"Jadi kalau kalian punya anak, kamu akan otomatis berhenti?"
Regina mengangguk. Walau dalam hatinya, dia akan berusaha sebisa mungkin menunda kehamilan atau bahkan menunda untuk disentuh oleh Adhi. Tapi Regina jelas tidak akan membagi pikirannya itu ke orang lain bahkan Darwin sekalipun. Karena dia tau, Darwin tidak akan membenarkan tindakan salahnya meskipun mereka saudara. Karena niat buruk Regina memang salah.
'Tapi … apa itu sepenuhnya buruk?' batin Regina bertanya-tanya.
Tapi dilahirkan di keluarga yang tidak saling mencintai, bukankah itu sama saja menyiksa? Terlahir tapi tidak diharapkan, dan bagaimana kalau nanti Regina dan Adhinatha tidak memiliki pernikahan yang panjang umur? Bukankah dengan menunda kehamilan adalah keputusan terbaik?
Regina mengangguk yakin. Tekadnya sudah bulat, dan dia rasa apa yang dilakukan soal menunda kehamilan itu sudah paling tepat.
"Kak? Kenapa geleng-geleng kepala terus? Jadi kalau kamu punya anak, berhenti kerja apa enggak?" Rupanya Regina terlalu larut dengan pikirannya sampai-sampai melupakan Darwin dan pertanyaannya yang belum dia jawab sama sekali.
"Enggak. Kalau aku punya anak, aku akan focus sama anakku."
"Beneran?" Regina mengangguk dengan senyum meyakinkan membuat Darwin memicingkan matanya berusaha mencari kebenaran.
"Kamu nggak merencakan perjanjian aneh-aneh dengan Adhinatha, 'kan, Kak?"
Regina mendelik tidak suka mendengar nada penuh selidik itu. Dia tidak suka didesak, dia tidak suka dipojokkan seolah dirinya pantas dihakimi.
"Ini perjanjian antara kami berdua, Darwin. Kamu nggak perlu tahu-menahu."
Darwin menatap kakaknya dengan pandangan terkejut. Nampak tidak percaya dengan kalimat yang Regina katakan.
"Aku ini adikmu, Kak? Kamu mau main sembunyi-sembunyian sama aku?" Pria itu benar-benar terlihat kesal.
"Jangan aneh-aneh, Regina Shima Atmadja. Jangan memainkan scenario novel-novel romansa receh yang biasa kamu baca. Ini dunia nyata, nggak semua hal bisa berjalan sesuai dengan apa yang kepalamu rancang."
"Dan aku nggak butuh nasihatmu soal itu, Darwin. Pergilah, aku banyak pekerjaan."
Usiran itu langsung dituruti Darwin. Pria usia dua puluh lima tahunan itu langsung berdiri tanpa diusir untuk kedua kalinya. Berjalan dengan langkah cepat, Darwin sudah berada di ambang pintu dalam hitungan detik. Langkahnya langsung berhenti bertepatan dengan pintu yang bergerak masuk karena dibuka oleh Dimas.
"Oh, maaf. Saya kira Bu Regina sedang tidak ada tamu."
Biasanya pria itu akan membalas kalimat itu dengan senyum lebar cerianya. Tapi karena perdebatan dengan sang kakak, pria itu hanya tersenyum tipis seraya berlalu melewati Dimas yang menatapnya dengan tatapan bingung.
"Pak Darwin terlihat kesal," ujar Dimas membuat Regina yang menerima berkas dari tangan sekretarisnya itu mendongak sekilas.
"Kami berdebat kecil tadi," terang Regina tanpa berniat menutupi dari Dimas apa yang terjadi antara dirinya dengan adiknya.
"Perkara apa kali ini?"
Regina biasanya akan menjelaskan dengan gamblang apa yang Dimas tanyakan. Tapi kali ini cukup sampai informasi sekilas tadi. Regina tidak akan membaginya dengan Dimas atau siapa pun.
"Dimas, bukankah masih ada banyak berkas yang perlu kamu urus?" Kalimat singkat itu jelas Dimas ketahui artinya. Dia diusir halus oleh bosnya. Regina tidak mau lagi membahas apapun dan Dimas harus tau diri untuk pergi.
Pamit, pria itu akhirnya meninggalkan Regina sendirian.
Wanita itu memutar kursinya, menatap pada dinding kaca yang menampilkan pemandangan Gedung-gedung bertingkat.
Dia juga kebingungan dengan dirinya sendiri, dengan apa yang dia mau, dan dengan apa yang sudah dia sepakati.
Dering yang terdengar hanya beberapa detik saja itu langsung membuat Regina yang tengah melamun pada kaca di depannya sontak menoleh.
Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal.
+6281xxxxxxxxx: Ini aku. Adhi.
Regina sudah hendak membalasnya tapi kemudian pesan baru muncul setelahnya.
+6281xxxxxxxxx: Jangan lupa nanti malam, jam delapan, aku jemput.
Halo, maaf nggak sesuai rencana jadwal updatenyaa. Semoga masih ada yg nungguin. See you