webnovel

Kabar Mengejutkan

Empat hari berlalu sejak Raissa pulang ke rumah orangtuanya. Perhatian dan kasih sayang orangtuanya membuat pemulihan Raissa berjalan lancar, Papahnya bahkan rela cuti untuk menemani anaknya di rumah. Setiap hari ada saja yang diceritakan Raissa. Sebagai orangtua tentu saja Papah Mamah khawatir akan keselamatan anaknya. Tetapi Raissa meyakinkan Papah dan Mamah kalau Asih akan segera ditangkap begitu juga dengan si topi biru yang menghantui tempat Raissa bekerja. "Tapi ini sudah empat hari Sa, kemana si Asih ya? apa sudah ditangkap?" tanya Mamah. "Buronan si topi biru itu juga masih menghilang, bagaimana kerja para polisi ini ya? Masak menangkap satu orang saja susah sekali." kata Papah sambil mengerutkan kening. "Sabar atuh Pah, polisi juga bukannya tidak berusaha. Mungkin buronannya aja yang licin." kata Raissa lalu melanjutkan menengok ke Mamah, "Mas Aditya juga sedang mengusahakan mencari Asih. Lagipula lain kali kalau Raissa melihat Asih, Raissa akan balik badan dan kabur secepatnya dari Asih. Pukulannya kuat juga." kata Raissa sambil meringis. " Kamu juga jangan keseringan ambil shift malam Sa, lihat hasilnya,..sekali dipukul Asih kamu sudah tidak berkutik, atau apakah kamu sedang kesulitan keuangan Sa? Memangnya besar sekali bonus uang dari jaga malam?" selidik Papah. "Haaa..mana bisa Raissa kesulitan keuangan, pacarnya Raissa kan orang kaya Pah!" kata Mamah. "Ih.. Mamah! biarpun Mas Aditya orang paling kaya di bumi, tapi Raissa gak akan mau minta uang sama Mas Aditya. Gengsi dong! Raissa bisa kerja sendiri kok! Kan Papah Mamah yang mengajari Raissa supaya mandiri? Dan tidak Pah, Raissa tidak kekurangan atau kesulitan uang, Menyewa rumah susun bertiga dengan Asya dan Peni itu menghemat pengeluaran bulanan Raissa. Apalagi Asya jago masak, Raissa jarang makan di luar hehehe.." kata Raissa yang dibalas anggukan Papah. Sedangkan Mamah masih terlihat belum puas. "Tapi kan sebentar lagi Asya menikah Sa, nanti kamu hanya tinggal berdua dengan Peni."

"Tidak apa-apa Mah, bayar sewa berdua dengan Peni saja tetap tidak berdampak terlalu banyak pada pengeluaran bulanan Raissa. Bhagaskara Medika sangat royal buat karyawan-karyawan setianya. Sering membuat acara bulanan, karyawan terbaik bulan ini, dapat hadiah uang tunai, belum lagi bonus-bonus lain, uang lemburan, dan uang jaga malam. Raissa tetap jaga malam tetapi jumlahnya mau dikurangi soalnya tidak baik juga buat kesehatan Raissa." Raissa menjelaskan. "Ya sudah, kamu aturlah, kamu kan sudah dewasa, harus bisa mengatur keuangan sendiri. Latihan kalau berumah tangga nanti. Jangan besar pasak daripada tiang ya nak! Jaga kesehatan, kesehatan itu tidak berharga kalau kita sedang sehat, tapi begitu sakit, baru terasa mahalnya!" Mamah mewanti-wanti, Raissa mengangguk. "Dan kalau suatu hari nanti kamu kesusahan, bilang sama Papah, Papah pasti akan tolong kamu sebisa papah nak!" kata Papah. Raissa terharu, "Aduh, siapa sih pagi-pagi masak sambel, hidung gatal mata berair inihh.." kata Raissa sambil berusaha agar air matanya tidak tumpah. Papah Mamah hanya tersenyum lalu menengok satu sama lain, "Kalau kita peluk, pasti mewek anak ini Mah!"kata Papah. "Iya ya Pah, yuk kita peluk aja sama-sama!" kata Mamah dan mereka berdua bergerak maju, sedangkan Raissa buru-buru mundur. "Mamah Papah, Raissa bukan anak kecil lagi!" teriaknya berusaha menghindari kedua orangtuanya. "Iya tapi kamu tetap satu-satunya anak kami seberapa tuapun kamu nanti! ayo sini!" kata Papah. "Udah nyerah aja Sa, sini!" kata Mamah sambil mengejar Raissa mengitari ruang tamu. Papah yang bergerak dari sisi lain menangkap Raissa dan merangkulnya dengan lengannya yang besar dan kuat lalu Mamah juga turut merangkul Raissa dari sisi lain. Raissa merasa sangat nyaman dan aman dalam dekapan orangtuanya. Dan air matanya pun tumpah. Raissa sangat berterimakasih pada orangtuanya yang selalu siap sedia untuknya.

Menikmati rasa aman dalam dekapan orangtuanya Raissa terlambat menyadari kalau teleponnya berdering dari tadi. "Sepertinya ada telepon.." kata Raissa sambil melepaskan pelukan orangtuanya. "Udah berhenti tuh, coba lihat siapa tau Yayangnya kamu Sa." kata Mamah. Raissa meraih ponselnya. "Wah iya, Mas Aditya, sudah 3 kali menelepon ternyata, tapi aku tak dengar!" seru Raissa. "Ya sudah, cepat telpon kembali, mungkin ada yang penting, ini masih jam kerja, tidak mungkin menelepon hanya karena kangen." kata Papah. Raissa buru-buru menekan tombol telepon kembali. Tak berapa lama kemudian Aditya menjawab. "Raissa, maaf menganggu istirahatmu, aku sedang bersama Briptu Agus disini." kata Aditya sekaligus kode untuk Raissa bahwa pembicaraan mereka didengar si Briptu melalui pengeras suara. Raissa bingung tetapi turut memakai mode pengeras suara agar orangtuanya ikut mendengar. "Oh iya pak, maaf tadi teleponnya tidak terdengar, ada yang bisa saya bantu pak?" tanya Raissa. Orangtua Raissa ikut mendengarkan percakapan mereka walaupun jelas terlihat merekapun bingung dengan sikap Raissa yang tiba-tiba formal dengan Aditya. Raissa belum menceritakan pada orangtuanya bahwa hubungan mereka sebenarnya dirahasiakan. "Halo Dek Raissa, ini Bang Agus niihh, apa kabar dek? Abang dengar kamu sedang sakit ya dek? kenapa tidak bilang Abang?" tiba-tiba suara Briptu Agus menggelegar di pengeras suara ponsel Raissa. Papah Mamah memandang Raissa bingung, "siapa itu neng? kamu punya dua pacar?" tanya Mamah dengan bingung yang tentu saja terdengar pada pengeras suara di ponsel Aditya. "Punya dua pacar? loh dek? bukannya kamu belum punya pacar?" tanya Briptu Agus polos. "Eh..ehmm.. duh Mah Pah, nanti saja Raissa jelaskan ya? janji Raissa pasti jelasin!" kata Raissa cepat. "Saya juga mau dijelaskan statusmu dek, sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum dek, jangan mempermainkan Abang!" kata Briptu Agus tegas. "Siapa yang mempermainkan dirimu Briptu sinting.. ngapain sih bahas beginian disini!!!" umpat Raissa dalam hati. "Ehmm, bisa kita bahas kehidupan percintaan Raissa lain waktu? saya rasa ini bukan tempat dan waktunya. Briptu Agus, bolehkah bicara langsung pada intinya, mengapa kita harus bicara dengan Raissa secepatnya?" terdengar suara tegas Aditya menginterupsi Briptu Agus. Semua terdiam, lalu Briptu Agus angkat bicara, kali ini dengan nada suara yang lebih formal. "Ya, begini saudari Raissa, Satpol PP telah menerima laporan penyerangan atas saudari Raissa empat hari lalu, dan semenjak itu menyisir daerah ini untuk mencari Asih. Pagi ini, Asih sudah ditemukan, sayang kondisinya sudah tidak bernyawa. Mayat korban ditemukan dengan kondisi tanpa busana dan menderita trauma fisik maupun seksual, korban meninggal akibat luka tusukan pada beberapa bagian tubuh. Dan menurut dokter forensik kami, korban meninggal sekitar 6 hari lalu. Berarti hal ini membuat saudari Raissa adalah orang terakhir yang melihat korban dalam keadaan hidup!" jelas Briptu Agus.

Raissa tercekat, seketika teringat mimpinya. "A..apa?! Bagaimana mungkin? saya bahkan tidak melawan Asih, dia.. dia..pergi begitu saja ketika saya menunjuk ke arah pepohonan kalau suaminya menunggu disana." kata Raissa mulai merasa pusing dan mual. Papah langsung mengambil alih begitu melihat Raissa memucat. "Maaf, saya adalah Ayah Raissa, apakah anak saya menjadi tersangka? karena sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini sekarang." ujar Papah. "Oh tidak pak, Saudari Raissa bukan tersangka, karena tersangkanya susah jelas, disamping korban terdapat sebilah pisau yang penuh dengan sidik jari buronan kami yang mungkin masyarakat kenal dengan julukan si topi biru." kata Briptu Agus. "Lantas, kalau pelakunya sudah jelas, mengapa anda menginterogasi anak saya?" tanya Papah. "Karena anak bapak adalah saksi Pak, maka kami harus secepatnya mewawancarai anak bapak, apakah anak bapak bisa kembali hari ini ke Jakarta?" tanya Briptu Agus. "Begini Briptu, saat ini Raissa sedang dalam pemulihan, apakah wawancara bisa dilakukan dari Bandung melalui online?" tanya Aditya. "Kami harus menginterogasi dengan tatap muka, kalau saudari Raissa tidak dapat kembali kemari, kami akan berkunjung ke tempat saudari Raissa berisitirahat saat ini. Apakah memungkinkan pak?" tanya Briptu Agus. "Boleh saja." kata Papah. "Baik kalau begitu sore ini saya akan kesana. Mohon bantuan untuk alamat saudari Raissa Pak Aditya?" kata Briptu Agus. "Tidak usah, saya akan mengantar anda kesana." kata Aditya sambil dibalas tatapan heran Briptu Agus. "Baiklah kalau begitu tidak ada lagi yang saya dapat bahas disini. Saya akan ke TKP untuk pengaturan selanjutnya, setelah itu saya akan siap berangkat bersama rekan saya. Permisi!" kata Briptu Agus lalu segera keluar dari ruangan. Raissa terdiam, bingung mau berkata-kata. "Sepertinya penggemarmu itu berharap lebih darimu. Apa kita beritahu saja tentang kita, polisi harusnya bisa menjaga rahasia kan?" ucap Aditya. "Mas sudah sendirian?" tanya Raissa. "Aku bersama Bu Ade, tapi beliau sudah tahu kondisi kita." kata Aditya sambil tersenyum pada Bu Ade. "Bagaimana kondisimu Raissa? jangan stress dengan kabar pagi ini ya? fokus pemulihan saja."kata Bu Ade. "Eh..pagi Bu Ade, sudah jauh lebih baik Bu, terimakasih." kata Raissa. "Sa, memangnya hubungan kalian dirahasiakan? terus apa hubungannya dengan polisi tadi?" tanya Mamah bingung, Papah juga langsung mengangguk dan memasang tampang akan menyimak penjelasan Raissa ataupun Aditya. "Om, Tante, Maaf, memang permintaan Aditya untuk merahasiakan hubungan dengan Raissa, Bukan karena rasa malu tetapi lebih untuk keamanan dan kenyamanan Raissa. Hal ini tidak akan berlangsung selamanya."kata Aditya. "Iya Mah Pah, nanti Raissa akan ceritakan latar belakang keluarga Mas Aditya supaya Mamah dan Papah bisa lebih paham. Boleh ya mas?" tanya Raissa. "Tentu saja, dan kalau Om dan Tante punya pertanyaan, saya akan dengan senang hati menjawab." kata Aditya. "Baiklah, om tunggu penjelasanmu nanti sore nak Aditya." kata Papah tegas. Raissa melotot pada Papahnya. "Papah apa-apaan sih?" bisik Raissa. "Baik Om. Kalau begitu saya pamit dulu Om, Tante, Raissa, sampai jumpa nanti sore." kata Aditya lalu menutup telepon.

Setelah mematikan ponsel, Raissa melihat kedua orangtuanya menatap tajam padanya. "Haduuhh Mah, Pah, masalahnya agak sulit untuk dijelaskan, Mamah tau kan Asya tunangan dengan sepupu Mas Aditya? dr. Alex? akibat dari pertunangan mereka, dr. Alex dicoret dari silsilah keluarga mereka, dan tidak berhak mendapatkan warisan keluarga. Kalau Mas Aditya langsung berbuat hal yang sama dengan dr. Alex, kemungkinan hasilnya akan sama! Mas Aditya bukannya tidak rela kehilangan warisan, hanya saja dia punya rencana agar Raissa bisa diterima dalam keluarga tanpa harus ada yang dicoret-coret dari keluarga." jelas Raissa. Papah tampak berpikir dalam. "Segitunya keluarga mereka? kalau maksud keamanan dan kenyamanan tadi gimana Sa? apakah keselamatanmu terancam?" tanya Mamah khawatir. "Setidaknya menurut Mas Aditya begitu Mah, Raissa tidak terlalu mengenal keluarga Mas Aditya, yang baru Raissa kenal dekat hanya dr. Alex." kata Raissa sambil mengangkat bahu. "Baiklah, kita simpan dulu masalah keluarga nak Aditya. Mengenai Asih yang terbunuh oleh buronan si topi biru, apakah saat itu kamu melihat sesuatu Sa?" tanya Papah. Raissa kembali mengingat-ingat kejadian malam ia diserang Asih. Dan yang terbayang adalah pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan oleh Asih. Raissa bergidik sambil memeluk dirinya. "Sudahlah Pah, kasian Raissa, masih trauma!" kata Mamah ikut memeluk Raissa. Papah hanya menghela nafas lalu menggenggam tangan Raissa, "Baiklah, tapi coba ingat-ingat, supaya tidak sia-sia polisi itu datang kemari. Istirahatlah dahulu sekarang ya?" kata Papah. Raissa mau tak mau mengangguk walau enggan lalu beranjak menuju kamar tidurnya. Setelah Raissa menutup pintu kamarnya, Mamah langsung memarahi Papah. "Papah teh kumaha sih! Raissa kan lagi sakit! butuh istirahat! kenapa setuju polisi kesini?" kata mamah sambil mencubit pinggang Papah. "Adduhh mamah ini kenapa harus pakai nyubit sih!" kata Papah sambil meringis kesakitan. "Habis Papah ngeselin sih!" kata Mamah. "Mamah lihat mukanya Raissa? anak itu langsung pucat, dia tahu sesuatu!" kata Papah. "Ya itu kan karena trauma dipukulin Pah!" kata Mamah. "Raissa? Trauma? anak itu tangguh Mah!! Kalau hanya dipukulin segitu, biasanya dia hanya tertawa Mah!" kata Papah. Mamah terdiam dan ikut berpikir. "Iya juga ya Pah? Mamah terbawa perasaan, habis Mamah sebenarnya tidak rela Raissa kerja jauh di Jakarta. Mamah kangen setiap hari." kata Mamah sambil duduk dan menyenderkan kepalanya di bahu suaminya. "Anak kita sudah besar Mah, banyak yang mau lagi!! cepat atau lambat kita pasti berpisah dengan anak kita. Sekarang kan zaman sudah serba gampang, kalau kangen ya tinggal kita tengok, atau kita panggil aja kemari." kata Papah sambil menepuk kepala Mamah. Mamah hanya tersenyum saja sambil terus bersandar pada bahu Papah.

Waktu terasa cepat berlalu bagi Raissa yang malah tidak bisa tidur di kamarnya. Tiba-tiba waktu sudah menunjukan pukul 4 sore dan mobil Aditya terdengar memasuki halaman rumah orangtua Raissa. Sayup-sayup ia mendengar Aditya bertegur sapa dengan orangtuanya, lalu Briptu Agus dengan gaya sok kenal dan sok dekatnya. Rasanya Raissa tak ingin keluar kamar. "Sejak kapan kamu jadi pengecut begini Sa?" kata Raissa dalam hati. Raissa menarik nafas dalam, menghembuskan nafas secara perlahan, lalu berdiri dan membuka pintu kamarnya. "Eh kirain tidur Neneng sayang." kata Mamah yang hendak mengetuk pintu kamar Raissa. "Sudah bangun Mah." kata Raissa pelan. "Sa, polisi yang namanya Agus itu ganteng juga loh, gagah.. hihihihi.. tapi Mamah milih Nak Aditya aja ah.. lebih kaya!" kata Mamah genit. "Mamah!! astaga!!" kata Raissa sambil menepuk jidat dan geleng-geleng kepala. Tetapi guyonan Mamah berhasil membuat Raissa lebih tenang. Raissa dan Mamah menuju ruang tamu.

"Dek Raissa, Abang kang..ugghh" ucapan spontan Briptu Agus ketika melihat Raissa terhenti ketika pinggangnya disikut oleh Aditya. "Eh.. Saudari Raissa, bagaimana kabarnya? maaf kami harus segera mewawancarai anda. Oya, sudah kenal dengan Briptu Shinta ya? sudah pernah bertemu kan? Mungkin kalau bicara dengan Briptu Shinta akan lebih nyaman daripada dengan saya saja." kata Briptu Agus. Raissa hanya mengangguk. "Ada apa Sa?" tanya Aditya maju dan menggandeng Raissa. Raissa menatap Aditya. "Mas apapun yang terjadi nanti, maafkan aku ya? temani aku ya?" pinta Raissa dengan muka memelas. "Kamu melihat sesuatu Sa?" tanya Aditya. "Entahlah.. mungkin kita harus mulai dulu wawancaranya." kata Raissa.