webnovel

Tak Semudah Ucapan

Pada akhirnya aku pun harus tetap menghadapi kenyataan. Meski rasanya begitu berat untuk bersikap biasa saja, namun aku harus tetap berusaha untuk terlihat tak ada masalah. Aku juga berusaha untuk mendengarkan semua nasihat yang diberikan oleh Nesy padaku agar aku tidak terlalu terbawa perasaan dan kembali mengingat tujuan utamaku datang ke London dan British Network.

"Sedang melamun, ya?" Ketika aku sedang memikirkan cara untuk bisa terlihat baik-baik saja dan biasa saja tiba-tiba Antony telah berada di hadapanku. Dia duduk tepat di sofa yang ada di seberangku. Saat itu kami sedang berada di lobi utama kantor British Network. Rencananya aku akan ikut dia melakukan meeting di salah satu hotel ternama di pusat kota London.

Aku sebenarnya bingung dengan posisiku sebagai mahasiswi magang di British Network ini karena aku tidak memiliki tugas khusus yang spesifik, tidak seperti Nesy yang secara spesifik ditempatkan di bagian berita daring dengan deskripsi pekerjaan yang jelasm tugasku benar-benar tidak jelas sama sekali. Terkadang aku hanya di studio mengamati saat Antony sedang melakukan siaran, lalu setelah dirinya siaran, aku diminta memberikan penilaian. Lalu, sesekali liputan di luar bersama dengan Antony dan membantunya di lapangan untuk mencari narasumber yang relefan, aku cukup menyukai pada bagian ini karena aku bisa melihat secara langsung proses liputan dan juga terlibat pula di dalamnya.

Bagian yang paling tidak aku mengerti adalah saat aku juga harus ikut Antony dalam rapat kerjasama dengan pihak iklan. Dalam hal ini, aku benar-benar tidak mengeri apa gunaku dalam rapat. Antony juga tidak memberikan kejelasan mengenai apa yang perlu aku lakukan saat rapat itu terjadi.

Pagi-pagi sekali sebelum aku berangkat ke kantor British Network, dia meneleponku dan mengatakan agar aku memakai kemeja dan celana berbahan kain karena aku harus ikut dia menghadiri rapat penting. Lalu, saat aku bertanya apa yang aku lakukan di dalam rapat itu, dia mengatakan agar aku tidak perlu terlalu memikirkan mengenai pekerjaan atau tugasku saat rapat, aku hanya perlu mengikuti saja arahan dari dirinya.

Dengan terpaksa aku pun hanya bisa menuruti apa yang dia katakan. Tidak mungkin saja saat itu untukku melakukan penolakan. Akhirnya, kini aku pun duduk diam menunggu kedatangannya di lobi British Network karena dia menyuruhku untuk tidak perlu naik ke ruangannya dan cukup menunggu dirinya di lobi.

"Kenapa diam? Benar ya kamu sedang melamun?" Setelah pertanyaannya sebelumnya tidak mendapatkan jawaban dariku, dia pun kembali mengajukan pertanyaan padaku.

Dengan kikuk aku pun mengumbar senyuman di bibir. "Tidak, saya tidak melamun. Saya hanya sedang berpikir," kilahku.

"Apa yang sedang kamu pikirkan memangnya?" Dia kembali bertanya padaku sembari terus menatapku dengan diiringi senyuman manis di bibirnya. Sebuah senyuman yang bisa menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya. Senyuman yang membuat perasaanku kembali tak karuan. Rasanya jika begini mustahil untuk diriku mengabaikan perasaan yang tersimpan di dalam hatiku.

"Kenapa diam lagi?" Antony kembali menegur diriku yang lagi-lagi membisu dan tidak juga memberikan jawaban atas apa yang dia tanyakan.

"Saya ... em ... saya hanya sedang berpikir apa yang harus saya lakukan di rapat yang akan kita hadiri ini. Saya sejujurnya lebih senang ikut liputan di lapangan." Aku akhirnya memberanikan diriku untuk mengatakan apa yang sebenarnya aku inginkan.

Antony semakin melebarkan senyum di bibirnya, semakin saja jantungku berdetak tak karuan. Aku berusaha dengan keras menjaga kewarasanku. Dengan sisa-sisa akal sehatku yang masih berada di alam sadar, aku yakinkan diriku untuk tidak terbuai dengan apa yang aku lihat di hadapanku. "Ah begitu rupanya, jadi kamu tidak senang ya saya ajak rapat bersama?"

Mendengar apa yang dia katakan itu membuatku merasa tak enak seketika. Aku menggigit bibir bagian bawahku, rasa gugup mulai melanda diriku yang benar-benar rapuh di hadapan CEO British Network ini.

"Bu-bu-kan begitu maksud saya. Em ... hanya saja saya tidak pikir tugas saya sebagai mahasiswi magang di stasiun berita ini akan lebih banyak berhubungan urusan peliputan dan penulisan berita." Aku dengan tergagap berusaha untuk mencari alasan yang logis. Antony lagi-lagi mengumbar senyum yang menawan hati.

"Ah begitu rupanya. Tapi, bukankah ini juga menarik, ikut rapat dengan saya hari ini juga akan menambah pengetahuan dan pengalaman kamu mengenai bagaimana sebuah perusahaan melakukan kesepakan iklan dengan stasiun televisi. Hal seperti ini mungkin tidak akan bisa kamu dapatkan jika tidak magang di sini. Selain itu, tidak semua juga mahasiswi yang magang di sini mendapatkan kesempatan seperti kamu ini. Bisa dibilang ini adalah kesempatan yang cukup langkah." Penjelasan yang Antony berikan padaku cukup membuatku merasa terhibur dan juga merasa beruntung. Aku benar-benar merutuki diriku sendiri yang begitu sangat mudah untuk dibujuk dengan kata-kata manis seperti itu.

Setelah mendengar apa yang dia katakan, aku pun tidak tahu harus bagaimana menanggapi dirinya. Aku akhirnya memilih hanya diam dan mengumbar senyum canggung. Tidak mungkin bagiku untuk berdebat dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah sang CEO, sang penguasa, dan dia juga yang telah memberikanku kesempatan untuk magang di stasiun beritanya itu. Jika bukan karena kemurahan hatinya, mungkin saja aku dan Nesy masih kelimpungan untuk mencari tempat magang.

"Saya tahu kamu pasti gugup dan takut berbuat salah karena saya bilang ini adalah rapat yang penting, bukan? Tapi, tenang saja, kamu tidak perlu terlalu khawatir. Saya tidak akan meminta kamu untuk melakukan sesuatu yang sulit. Kamu cukup berada di dekat saya dan mengamati jalannya rapat pagi ini." Aku hanya bisa memberikan anggukan kecil tanpa suara dengan ekspresi yang pastilah terlihat sangat tegang.

"Melalui rapat ini, kamu akan tahu bagaimana sebuah kesepakatan dalam kerjasama dilakukan dan apa saja yang perlu diperhatikan. Saya yakin suatu saat pengalaman seperti ini pasti akan sangat berguna untukmu." Antony kembali berusaha untuk membesarkan hatiku dan membuatku untuk tidak merasa kesal dengan tugas yang diberikannya padaku. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk kecil dan berusaha untuk mengumbar senyum palsu di bibirku.

"Kalau begitu ayo berangkat. Kita tidak boleh terlambat." Antony berdiri dari sofa yang dia duduki, di tangannya dia membawa setumpuk berkas, aku menawarkan diri untuk membawa berkas-berkas yang ada di tangannya itu, namun dia menolak dan mengatakan bahwa dia mampu untuk membawa berkas-berkas tersebut. Aku pun akhirnya memutuskan diam saja dan tidak lagi menawarkan bantuan pada dirinya.

Kami pergi ke hotel tempat rapat diadakan dengan mengendarai mobil Antony, dalam perjalanan menuju hotel tersebut, Antony mengatakan bahwa sekertarisnya telah lebih dulu berada di hotel untuk menyiapkan tempat rapat. Aku yang selalu saja mengalami lidah kaku saat bersama dengannya hanya bisa tersenyum dan mengangguk kecil. Lalu, sisa perjalanan pun banyak aku lewati dengan diam dan memperhatikan jalanan London, sedangkan Antony beberapa kali terlibat pembicaraan melalui ponselnya. Dia tampak sangat sibuk pagi itu.