webnovel

Nemalamuk

"Dia akan membunuhmu. Dia adalah ular. Mereka terlahir melalui tangan-tangan yang telah ditentukan oleh Sang Bartanda. Sang Bartanda adalah yang tertinggi dari ilahi manapun. Bagaimana bisa kamu meyakini bahwa kamu lah yang membunuh mereka kedua orang tuamu ? Kamu tau bahwa orangtuamu adalah ciptaan dari Sang Bartanda yang hatinya hanya diberikan kepadamu, mereka hanya ditugaskan menjagamu. Kamu harus memahami bagaimana Bartanda menciptakanmu dari unsur pilihannya. Sayangnya Nemalamuk(Malaikat Alam) tidak menyukai kehadiranmu," semua ucapan Galang seperti kembali terulang jelas. Aku seperti merasa tertipu atau bahkan ini adalah jebakan.

"Nemalamuk, Nemalamuk.." ucapku dalam hati, aku seperti mengingat ini dalam mimpi-mimpiku yang datang tapi mungkin bukan mimpi.

"Nemalamuk, nemalalan malamuk." Aku kembali mengucapkan dalam hati. Aku memilih berbaringan di kursi-kursi. Ketika aku sedang menaruh kepalaku, aku mengingat kejadian yang terulang, seketika aku menyebutkan kalimat terakhir yang dikatakan oleh Galang, "inna, nokomosik". Kalimat itu dari gerakan tangannya juga, selain kata "menjemputku". Lalu, aku menutup mataku. mengatakannya sekali lagi kalimat itu. Ruangan seolah-olah menjadi kosong, aku menghirup udara yang sangat lega. Aku mendengar suara nada-nada indah, seperti ornag memainkan sebuah kalimba. Aku tersenyum, mungkin aku sedang kelelahan ini saatnya aku untuk berimajinasi hal yang padang.

Musik-musik tadi beralunan halus dan ditambah dengan nada-nada yang unik disertai suara ketukan tifa yang khas.

Aku melihat Galang berdiri dihadapanku. Galang tidak sendirian, dia berdiri dengan beberapa orang disampingnya, dan lagi ada kadal besar dan panjang. Aroma cokelat manis tidak lagi tipis ku hirup, ini semakin pekat, aroma laut tercium dekat. Aku memandang dengan keheranan, pandanganku memperhatikan rambut Galang yang unik warnanya, sembari aku menyakinkan diriku aku sepertinya sudah berpindah tempat.

"Selamat datang, Aita Anung. Gasik nokomi, nokomisik." Galang menyebutkannya dan aku seperti terbangun dari mimpi yang panjang.

Seekor Komodo datang mengelilingiku. Seperti memberi berkat selamat datang. Galang mendekatiku. "Terimakasih Aita kamu sudah menyebut kembali kalimat terakhir yang aku sebutkan kepadamu." Ucapnya dan memelukku.

Dalam pelukannya,"Galang, apakah ini nyata ?". "Ini nyata Aita, kamu terjebak sudah lima tahun lamanya."balas Galang. Aku hanya terdiam, rasanya aku tidak merasakan gempa dalam tidurku. Ini seperti sebuah imajinasi tapi terasa nyata dan tidak hampa. Aku terlihat linglung memperhatikan sekitarku.

Aku disambut dengan meriah, tapi aku tau setiap wajah dan bunga yang mekar tidak selalu menyimpan kebahagiaan. Semua menatapku tersenyum, hati mereka terasa di dadaku penuh dengan isak tangis seperti ribuan tahun lamanya. Kadal besarpun terisak dalam hati, mereka berharap pertemuan semua ini seperti sudah sangat lama. Namun, karena pikiranku yang belum menyatu dengan waktu aku memilih untuk diam. Aku masih menelaah yang terjadi.

Aku diantar oleh Galang dan seekor Komodo yang menyambutku tadi, dan aku ditempatkan di sebuah rumah kecil. Tumbuhan eksotis mengelilingi bangunan ini, terlihat beberapa batu karang besar berada di depan kamarku, membatasi dan menghalangi ombak datang secara langsung menghantam rumah panggung ini. Aku tidak bisa kembali memejamkan mata. Aku hanya berjalan mengelilingi rumah kecil, hanya satu kasur di lantai atas, di bawahnya tertata meja makan dan ada beberapa biji kopi yang kulihat di dalam toples. Ada beberapa tali merah bergantungan di jendela dan pintu, aku penasaran. Kusentuh, baunya seperti vanilli, kayu cemara dan abu dupa, seperti sebuah jimat. Lamunanku terpecahkan oleh kedatangan seseorang.

"Aita Anung, aku Sara. Boleh kah aku masuk ke dalam ?." suara perempuan yang halus, suara ini seperti menenangkanku.

Aku tidak menjawab, tapi aku membukakan pintu untuknya. Aku membiarkan dia masuk dan duduk di kursi dengan sendirinya. Aku memperhatikannya, kulit putihnya terlihat indah dengan rambut pendeknya. Terlihat jelas tattoo di pundaknya. Seperti menggendong Komodo.

"Kamu menyukai tattoku ?"tanyanya tanpa menatapku.

"Iya." Jawabku singkat.

"Aita Anung. Aita ratusan tahun yang lalu adalah temanku. Dia seorang perempuan yang berbeda ras denganku. Setiap cerita yang dia sampaikan melalui lautan, adalah kepedihannya menahan rasa sakit untuk bertahan demi Bartanda. Lalu, dia di bunuh dengan di iris payudaranya. Tidak diijinkan meninggal di tanah. Dipanggang dengan menderita." Ucap Sara, lalu Sara memandangku, melanjutkan ceritanya.

"Tidak ada yang tau, aku datang mengambil sebagian tulang dari dadanya. Itulah kepedihan dari mempertahankan Bartanda. Dia mencintai Bartanda tanpa pernah melihat beliau. Malam tepat aku mengarungi lautan kembali ke Baili, Bartanda menemuiku, meminta tulang dari dada Aita. Lalu Bartanda mengatakan padaku, akan ada waktu di mana Aita kembali menjadi manusia." Sara memegang kedua tanganku yang aku letakkan di atas meja. Memandangku dengan seksama. Matanya yang berwarna hitam penuh bertemu dengan mataku. Angin datang berhembus di antara kami. Aku mengingat memori di mana aku pernah bertemu dengan Sara di masa lalu. Lautan yang indah dan penuh dengan senyuman Sara.

"Aita," ucapnya.

"Sara, aku Anung." Aku melepaskan genggaman tangannya. Aku merasa sakit yang luar biasa di dadaku. Tapi, aku memilih diam. "Aku akan beristirahat." Sara meninggalkanku di rumah itu sendirian. Sebelum berdiri, Sara mengatakan bahwa karena Bartanda sudah menghilang semenjak aku lahir. Sekarang orang-orang hidup tanpa Bartanda. Setiap bulan penuh, manusia satu persatu hilang dari dunia. Mereka ditelan oleh Malaikat Alam yang disebut nemalamuk, makhluk penjaga lembah hitam yang diciptakan oleh Bartanda. Namun, makhluk itu membenci Bartanda yang bersimpati pada Aita.

Malam itu seperti malam yang panjang. Suara demburan ombak yang pecah di karang dan tetesan air dari pohon-pohon yang rimbun membawaku segera terlelap.

Keesokan harinya,

"Hallo Aita. Bagaimana kabarmu ?," tanya Galang yang menyodorkan segelas kopi.

Aku duduk dan bersandar pada bantal kepala yang kutumpuk dan mengambil kopi yang diberikan.

"Kopi dari Ende ?," tanyaku.

"Tentu, terbaik di area tenggara. Apa yang kamu rasakan ?"

"Tentu saja aku patah hati. Kalau kamu tidak segera datang, aku akan mati." Ucapku dengan menyeduh kopi.

"Hahahaha. Cinta kalian adalah palsu." Ucapnya tegas.

"Tidak Galang, kamu tidak mengerti."

"Apa yang tidak aku pahami Aita ?"

"Apakah pertemuan kita adalah sebuah kesengajaan ?" tanyaku dengan mengerutkan wajah.

"Pintar. Iya semua adalah kesengajaan."

"Kalau kamu menyadari, aku selalu berusaha bertemu denganmu di kamar hotel itu." Galang menyeduh kopi miliknya dan terlihat luwes.

"Kenapa membantuku ?"

"Karena sudah semestinya."

"Apakah itu takdir ?"

"Tidak, kita bukan takdir. Ketika kamu masih menjadi Aita, kamu menolongku."

"Aku tidak mengingatnya."

"Tidak apa-apa. Kamu terlalu lama berada di dunia ciptaan Nemalamuk. Aku tidak bisa menolongmu secara langsung. Rekayasa milik Bara sangat kuat. Tidak ada yang bisa menghancurkan portalnya, hanya bisa secara semu masuk ke dalamnya. Aku pun butuh banyak bantuan dari masyarakat di sini untuk mengembalikan energiku."

"Terimakasih Galang."

"Jangan berterimakasih Aita, ini sudah tanggung jawabku membalas kebaikanmu di masa lalu. Sekarang kamu harus memulihkan tenaga dan pikiranmu. Pasir putih adalah obat penyembuhan terbaik di Baili. Kami menyebutnya dengan baimsou. Sihir milik Bara adalah keturunan dari nemalamuk, itu bukan sihir terkuat di bumi. Tapi, adalah terkuat yang dimilikinya."

"Adakah kemampun yang aku miliki ?"

Galang tersenyum, dan mengatakan bahwa aku akan menemukannya bersama Sara.

Petualangan sesungguhnya akan datang.

Mereka ditelan oleh Malaikat Alam yang disebut nemalamuk, makhluk penjaga lembah hitam yang diciptakan oleh Bartanda.

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

gendhisirengcreators' thoughts