webnovel

Bab 6 Hampa

Tidak ada kabar pasti mengapa Ija tidak masuk kelas, ibu Diana menjadi cemas karna tidak kabar apapun dari Ija. Yuli yang merupakan tetangga Ija akhirnya menceritakan situasi yang dialami oleh Ija, yang ternyata Ija menjadi kuli di ibu kota. Mendengar kabar itu membuatku sangat sedih, sebab Ija kemungkinan besar tidak akan melanjutkan pendidikannya. Aku menyadari perasaanku setelah ia sudah tidak bersekolah lagi, yang lebih menyakitkan adalah aku baru sadar setelah ia yang bertanya langsung padaku.

Aku masih berharap Ija akan kembali bersekolah, sehingga aku tetap belajar sampai satu bulanpun berlalu, belajar kinipun sudah menjadi kebiasaan. Setiap kali berangkat sekolah aku akan selalu melihat ke arah rumah Ija, namun selama sebulan tidak pernah terlihat batang hidungnya. Sampai pada suatu hari ayahku tidak dapat menjemputku dari sekolah, akhirnya aku berjalan kaki bersama dengan Ifa. Setelah berpisah dengan Ifa aku terus berjalan sendirian. Aku melihat sosok yang ku cari selama ini, aku bertemu Ija lagi setelah sebulan lamanya.

Ija yang melihatku langsung menyapaku, seolah semua baik-baik saja "bagaimana kelas kita, masih di gedung lama?" tanyanya sambil menghampiriku "masih, Kemana saja kita selama ini?" tanyaku, Ija langsung ikut berjalan di sampingku "ko mau pergi kemana?" tanyaku, "sa temani kamu jalan lah" jawabnya. Kamipun berjalan bersama, ku ulangi lagi pertanyaanku dan dari situ ia menceritakan semuanya, Ija mengatakan Neneknya sakit dan persediaan uang habis, sehingga ia pergi menemui Ayahnya dan sembari bekerja menjadi kuli pasar untuk menambah pemasukkan, sebab ia masih mempunyai adik perempuan yang duduk di sekolah dasar. "ko tidak rindu deng saya?" tanyanya padaku, "ibu Diana yang rindu ko" jawabku. "Sa kira ko rindu sama sa, emm… waktu itu benar kah kita tidak ada perasaan sedikitpun sama saya?" ujarnya. Aku terdiam ini bukanlah pertama kali ada pria yang bertanya seperti itu padaku, hanya saja aku tidak berani berpikir bila Ija menyukaiku, aku takut ia hanya bergurau padaku sehingga ku jawab "tidak".

Di perbatasan desa kamipun berpisah, ia hanya berdiri disamping gapura saat aku menoleh, setelah itu aku sudah tidak punya nyali untuk kembali menoleh ke aranya, pikiranku juga menjadi kacau. Aku menyesali jawabanku padanya, aku berpikir apakah harusnya aku bilang kalau aku sangat merindukannya, namun aku tidak percaya diri. Ayah datang menjemput, setelah menaiki motor, ku lihat Ija masih berdiri di samping gapura. Satu tahun berlalu, aku masih terbayang-bayang tentang Ija. Pada kenaikan kelas 3, aku masuk dalam ranking 9 besar, sungguh itu adalah hal yang tidak terduga bagiku yang biasanya hanya masuk dalam peringkat 20 besar. Hal itu semakin mengingatkanku pada Ija sebab berkat dia, aku mulai ingin mengubah diri kearah yang lebih baik. Kelulusan sekolahpun tiba dan aku masuk pada urutan 3 besar, sungguh perubahan yang luar biasa dalam hidupku, hanya saja aku tidak pernah bertemu dengan Ija lagi.

Kami kembali bertemu setelah 11 tahun lamanya, kapal malam itu menjadi tempat pertemuan tak terduga kami, aku cukup kaget ia masih mengingatku apalagi fisikku yang sudah berubah, berat badanku yang bertambah 10 kg dan aku juga menggunakan masker namun Ija bisa mengenaliku. Ketika kami duduk bersama "mana mungkin sa mo lupakan kita, teman ku di SMP" ucapnya, "kita satu kelas tidak sampai satu semester juga dan" jawabku, "buktinya sa tidak bisa lupa sama kita" ucapnya menegaskan.

Sewaktu kami belum lama berbincang, pemilik bed di samping ku datang membuat Ija kembali ke Bednya. Akupun yang sudah terlalu lelahpun tertidur, aku sangat senang bisa bertemu dengannya setelah sekian lama, apalagi perasaanku masih sama dan bahkan semakin jelas bila aku sangat menyukainya. Saat terbangun badanku terasa sakit semua, aku memutuskan keluar dari ruangan menunju luar dan berdiri di pinggir kapal. Rupanya Ija sudah lebih dulu berada disana, ia yang menyadari kedatanganku malah menghampiriku "belum tidur?, tidak bisa tidur kah?" tanyanya, "iya sakit badanku" jawabku. Kami terdiam seperti tidak tau apa yang akan kami bicarakan lagi, padahal ada banyak hal yang ingin ku tanyakan, bagaimana kabarnya selama ini.

Suasana terasa kikuk, kami bukanlah lagi teman sekelas, namun aku ingin akrab dengannya seperti dulu. "mendung sepertinya di" ujar kami berdua kompak bersamaan. Hal itu mengundang tawa yang memecah suasana kikuk diantara kami berdua. "sepertinya tidak pernah sa liat kita di kampung, pernah sa pigi di pesta pernikahan Aman temanku, tapi pas ketemu sama Ifa, katanya kita masih di Jawa" ucapnya. Aku hanya mengangguk "sa pulang sekalian ikut tes CPNS, tapi tidak lulus" ucapku sambil sedikit tertawa. "bisa coba di kesempatan yang lain" timpalnya. Ku tanya padanya, kemana ia akan pergi, ia mengatakan akan kembali ke ibu kota untuk bekerja dan melanjutkan kuliah. Sungguh luar biasa, walaupun saat ini merupakan hal yang lumrah di daerah kami, anak yang memiliki keinginan untuk berkuliah maka akan mengambil part time untuk biaya hidup dan untuk kuliah di dapatkan melalui jalur beasiswa.

Malam sudah semakin larut, mataku tetap terjaga dan diantara kami tidak satupun yang mengisyaratkan untuk kembali ke ruangan. Setelah tawa itu, kami kembali diam sembari memandang ke arah laut lepas di depan kami. "kita sudah menikah ya?" tanyanya mengagetkanku "belum lah, sa masih cari cuan sekarang ini, kalau kita?" jawabku santai dan membalikkan pertanyaan. Anggukkannya untuk menjadi jawaban, aku tidak ingin tejebak masa lalu, aku sudah susah payah melupakannya. "Sudah tengah malam mi, sa masuk duluan nah" ucapku, "iya sudah larutmi ini, masukmi duluan" jawabnya. Berkedokkan rasa kantuk, ku rebahkan diriku pada matras sambil memeluk tas. Aku sedang focus untuk mencari uang, menyekolahkan kedua adikku sampai menyandang gelar sarjana adalah tujuanku selama ini. Aku tidak ingin, masa lalu menghambat usahaku.

Ketika terlarut dalam pikiranku sendiri, aku berniat akan segera pergi setelah kapal bersandar di dermaga. Tepat pada pukul 03.30 Wita kapal bersandar, aku dengan terburu-buru keluar, di dermaga langsung ku pesan ojol untuk mengantarku ke rumah sakit untuk melakukan swab. Setelahnya aku menuju ke kos Selma karna kami berencana hang out pada malam hari. Waktu berlalu begitu cepat keesokan harinya, Selma dan lida mengantarkanku ke bandara menggunakan motor, ada adik Selma yang ikut mengantar, sebab Selma tidak terbiasa menggunakan sepeda motor. Setelah berhasil check-in, kamipun berpisah. Saat di Gate aku kembali tidak percaya bahwa aku sudah pulang dan sekarang sudah harus kembali lagi ke Pulau jawa.

Rute saat aku kembali, tidak bedah jauh dengan aku berangkat, hanya saja sesampainya di bandara Juanda, aku menggunakan Damri untuk menuju terminal Bungur asih, dari bungur asih aku menggunakan Bis patas untuk menuju rumah. Selama di bis patas itu, muncul rasa penyesalan, harusnya aku tidak pergi diam-diam dari kapal, harusnya aku meminta nomer whatsup milik Ija. Saat itu aku berpikir, kami bisa memulai komunikasi melalui FB, akan tetapi hingga aku sampai rumah tidak ada pesan di Fb ku. Hal itu membuatku yakin kalau Ija hanya basa-basi.

Keesokan harinya aku langsung bekerja, badanku terasa sangat lelah, namun aku sudah tidak memiliki sisa cuti dan jam kerja, yang alhasil selama satu bulan tidak ada waktu libur sama sekali, hingga di suatu waktu tante Dia menjawab pesanku dengan sinis "kenapa tidak ke rumah?" isi pesannya kepadaku. Sungguh mungkin karena aku yang sudah terlalu lelah, pesan itu membuatku benar-benar frustasi, tidak ada yang menanyakan bagaimana kondisiku, aku merasa semua selalu menuntutku untuk memenuhi kewajibanku pada mereka, setelah segala kebaikan yang mereka berikan padaku.

Untung saja aku dan ayah sudah bertemu, sehingga kesalapahaman diantara kami berdua sirna. Ayah kembali meminta uang padaku dan aku mentransfer uang sebanyak yang aku bisa tanpa rasa mengganjal sedikitpun lagi. Hanya saja, karena pekerjaan yang menumpuk dan banyaknya tekanan sana sini, badanku yang mulai lelah terjatuh saat keluar kamar mandi. Puncaknya adalah saat aku berangkat dinas pagi, berbeda dari biasanya aku berangkat lebih pagi. Saat akan menyebrangi jalan untuk memasukki kantor, yang dimana pak satpam membantu menyebrang, lewatlah aku tiba-tiba ada sepeda motor yang menerobos lewat sehingga menabrak motorku.

Saat aku menyebrang waktu berlalu sangat lambat bak Slow motion, sebelum itu aku merasa benar-benar akan tertabrak hanya saja, aku sudah tidak bisa mengendalikan kecepatan motor. Motor yang menerobos itu menabrak ban depan dengan kecepatan tinggi, aku pun terjatuh menyamping sehingga badan motor menimpa kakiku yang sebelah kiri, saat itu ku rasakan mata kakiku menyapu aspal jalan, saat itu ku coba untuk menahan motor namun tetap tidak bisa. Kepalaku juga ikut terbentur aspal, untung saja aku menggunakan helm. "aku sudah capek sekali" ucapku dalam hati, aku tidak kehilangan kesadaran hanya saja aku sudah lelah untuk bangkit, aku tidak perduli lagi bagaimana orang-orang akan mengangkat badanku, ke pejamkan mataku dan aku diantar ke rumah sakit terdekat.

Mulai kurasakan tebal pada mata kaki kiri, rupanya ada babras sekitar 10 cm disana. Badanku terasa berat sekali, leherku terasa kaku dan kepalaku juga terasa berat. Ku paksakan bangun, karna aku merasa tidak ada luka serius yang aku alami ditambah lagi, aku tidak ingin merepoti Tini teman kantorku, dan orang rumah menjadi repot. Setelah lukaku di perban, aku pulang dengan mengendarai motor sendirian dan aku lupa kalau hari itu adalah waktuku bekerja di kantor X, setelah meminum obat dan mandi berangkatlah lagi aku bekerja. Di kantor X, mobilitasku sangat tinggi. Sakit yang kurasakan pada kaki kiriku membuatku berjalan sedikit terpincang-pincang, namun ketika bos kami datang, ku usahakan sebisa mungkin untuk berjalan seperti biasa. Akupun tidak menceritakan kabar ini pada Tante Dia, aku sangat takut dimarahi di tambah lagi motor yang aku gunakan adalah milik tante, yang lecet akibat tabrakan itu.

Aku bekerja lembur waktu itu sampai pukul 10.00 Wib, untung saja di kantor utamaku aku mendapatkan isdok selama 3 hari. Sepulangnya dari tempat kerja, lampu rumah padam aku terbawa suasana hari ini yang begitu kacau balau. Mengetahui padamnya lampu, membuatku menangis sekencang-kencangnya, semua pikiran yang tidak-tidak memenuhi pikiranku, pikiran kalau tidak ada satupun orang yang perduli padaku, aku yang sudah di buang dari keluargaku dan aku yang hanya menjadi mesin pencari uang. Semua bercampur menjadi satu, aku juga berpikir bila aku menghilang selama tiga hari tidak aka nada yang menyadari, lalu muncul pikiranku untuk mengakhiri semuanya.

Ku ambil jarum infuse dan ku pasangkan ke tangan kananku, lalu ku biarkan darah venaku mengalir, sudah ku siapkan box bekas biscuit sebagai wadah darahku. Setelah box itu penuh dengan darahku, ku lepaskan jarum infuse dari tanganku, box ku bungkus plastic dan membuangnya ke tempat sampah. Setelah itu aku seperti tercekik, seperti ada yang menarik jiwaku keluar dengan paksa, membuatku tidak bisa berkata-kata, nafasku seperti tertahan, aku hanya mampu berteriak namun seolah tak bervolume. Berdiri salah, dudukpun salah, inginku berlari waktu itu aku merasa seperti ini rasanya bila akan meninggal. Aku memaksakan diri untuk berdiri lalu aku bergerak bak ayam yang disembelih aku hanya berputar-putar sampai tubuhku membentur anak tangga, hilanglah kesadaranku waktu itu.

Kosong itu yang ku rasakan, hanya ada gelap dalam pikiranku. Kurasakan nyeri dan perih pada kaki kiriku dan membuatku terbangun, aku melihat langit-langit rumah namun terlihat sangat asing "apakah aku sudah tiada?" pikirku. Saat aku mendudukkan diriku, baru kusadari kalau aku sedari semalam entah tertidur atau pingsan dibawah tangga. Badanku terasa sangat kaku, sekarang baru ku rasakan efek setelah tabrakan kemarin. Kembali berbaring lalu bergerak menyeret badanku keluar dari bawah anak tangga. Sangat ku sesali ulahku malam tadi, bukannya mati, yang ada aku malah semakin menambah masalah. Namun, ada pelajaran besar yang aku dapat dari kejadian itu, aku berjanji tidak akan mencoba melakukan hal bodoh lagi dan berjanji pada Tuhan untuk terus bertahan sampai takdir yang menjemput.