webnovel

Bab 4 Kejutan

Seusai melakukan Check out dari hotel, ku baca chat dari Selma yang menawarkan diri untuk mengantarku, namun aku tidak ingin ia kebingungan mencari kendaraan. Ada telepon masuk dari Lida, ia mengatakan bahwa ia sudah selesai mengajar dan akan menuju hotel untuk menemuiku lagi. Aku mengatakan pada Lida aku sudah bersiap menuju pelabuhan menuju kampung halaman, Lida mengatakan ia akan mengantarkan ku ke pelabuhan. Lida datang dan aku yang memboncengnya, kami langsung menuju pelabuhan, karna mendung Lida tidak bisa menemaniku di dalam pelabuhan. Setelah membeli tiket masuklah aku ke ruang tunggu, akhirnya aku bisa melihat pemandangan yang sudah 10 tahun tidak pernah ku lihat. Disana aku melihat ada banyak ibu-ibu paruh baya yang menjual makanan tradisional daerah kami seperti Go-gos, Kue ketan dan kue sagu yang tidak ku ingat namanya, ingin sekali aku membeli Go-gos namun karna aku terlalu focus dan takut ketinggalan kapal, aku urungkan niatku untuk membelinya.

Hal yang lucu adalah bahwa sanya selama 10 tahun aku sangat jarang menggunakan bahasa daerah dikarenakan aku tidak memiliki kenalan yang sedaerah denganku, membuatku sangat kaku menggunakan bahasa daerah. Prinsip yang aku terapkan adalah aku tidak akan melupakan tradisi dan bahasaku selama apapun dan sejauh manapun aku pergi. Ku beranikan diri untuk menuju kapal dan bertanya menggunakan bahasa daerah " Jam sehae kapala kumalano we Raha? " yang artinya jam berapa kapal akan pergi ke pulauku, seorang yang terlihat seperti ABK menjawab nanti kapalnya cakan berangkat pada pukul 13.30 Wita, "hamaie kapala so kumalano we Raha" tanyaku lagi yang artinya manakah kapal yang akan menuju ke pulauku dan pak ABK itu menunjuk ke sebuah kapal yang ternyata ada di depanku.

Terlihat seorang pedagang asongan wanita yang sepertinya sudah menungguku, benar saja ia menawarkan diri untuk mengantarku ke kursi yang sesuai dengan nomor yang tertera pada karcis kapal " inidia kursinya bu" ujar bu pedangan asongan, lalu aku membeli air mineral dingin dan sebungkus roti. Tradisi di tempat kami adalah pedagang asongan akan membantu penumpang kapal menemukan kursinya dan sebagai imbalannya penumpang harus membeli dagangan mereka, karna ini tradisi dan juga ada barang yang kami beli sehingga tidak ada yang keberatan dengan hal itu.

Saat itu aku duduk tepat di depan televisi, yang aku menonton film india yang diputar berjudul Mohabathein, duduklah seorang wanita seusiaku, ia tersenyum didalam maskernya, ia dengan sangat ramah bertanya padaku ke desa mana yang aku tuju dan aku juga balik bertanya kepadanya, ingin ku tawarkan roti padanya namun saat itu sedang pandemic sehingga aku harus membatasi kontak dengan oranglain. Setelah film Mohabathein itu tamat, aku melanjutkan menonton film selanjutnya, karna tidak ada pilihan lain, sebab sinyal selular sudah menghilang. Film yang diputar adalah Paari yang bergenre horor, kami berdua sama-sama terkejut dan mulai dari situ kami menonton film bersama layaknya seorang yang saling kenal.

Di tengah-tengah film, seorang pria gagah berseragam biru mendekat kearah kami, aku mulai cemas apakah aku melakukan kesalahan, namun ternyata pria itu adalah kenalan wanita yang nonton bersamaku. Setelah mereka saling bercakap, pria itu berkata "bila kau butuh sesuatu atau ingin mengganti tempat duduk kamu bisa mencariku atau mengatakan pada staf lain bila kau mencariku" sungguh itu gerak-gerik seorang pria mencari mangsa, ia sangat sopan dan aku iri pada kondisi itu. Tentu saja aku masih berharap bisa bertemu secara tidak sengaja dengan Ija di perjalanan menuju pulau bahkan aku masih memikirkan itu setelah 10 tahun berlalu.

Setelah klimaks film kapal kami sampai di dermaga, keluarlah aku dari kapal sebelum melangkah menjauhi dermaga, aku terhenti sejenak sambil ku pandangi sudut ke sudut pelabuhan. Aku masih tidak percaya, salah satu pertanyaanku terjawab sudah "ini adalah saatnya aku pulang", pertanyaan yang membuatku sedih dan mengguncang diri, sebelum ini aku berpikir aku baru akan pulang 20 tahun lagi. Seusai mengucap syukur aku melangkah pergi, di depan gerbang dermaga sudah banyak tukang ojek yang bersiap menawarkan jasanya. Namun aku memilih terus berjalan, aku sangat lapar dan aku ingin makan di rumah makan yang biasanya aku dan ayahku datangi. Aku berjalan sejauh 1,5 km, langkahku semakin cepat karna aku didorong rasa lapar yang teramat sangat. Rasa takjubku belum hilang, benar-benar ku nikmati pemandangan senja itu. Warung makan itu masih buka, aku memesan memesan bakso Tenes dan es teh yang ternyata digratiskan dalam rangka jumat berkah "ini masih menjadi bakso terenak yang pernah aku makan".

Aku membeli terang bulan dan martabak untuk menambah oleh-oleh, lalu ku tunggu tukang ojek yang sedari tadi berlalu-lalang. Namun aku harus menunggu sampai adzan magrib usai, syukurlah ada tukang ojek yang menawariku untuk mengantar ke rumah. "Nanti bayar 20 ribu ya mbak" bukankah itu terlali murah "nanti tambahkan saja uang bensinnya mbak" setelah menemukan persetujuan, berangkatlah kami aku bertingkah seolah aku mengetahui jalan menuju rumah, sehingga aku tidak bertanya apapun, saat pak ojek menanyakan darimana aku dan kapan terakhir kemari, ku jawab aku dari pulau jawa dan aku terakhir pulang 3 tahun yang lalu. Hal itu ku lalukan agar aku tidak terlihat bingung dan tidak ingin hal buruk terjadi dalam perjalananku. Waktu magrib yang sangat gelap membuatku ke sulitan mencari gang rumah, walaupun sedikit terlewat akhirnya aku menemukan gang rumahku, ku bayar 50 ribu karna itu adalah harga yang lebih pantas ditambah lagi waktu itu sudah gelap. Pak ojek itu sangat senang walaupun sedikit bingung dan berlalu pergi.

Belum sempat aku membuka pintu gerbang rumah, adik keduaku bernama Bowo datang menghampiriku membukakan pintu gerbang, ayaku juga keluar untuk melihat siapa yang datang "itu kamu Nduk?" dengan tergesa-gesah ayahku mencoba mengaitkan kaki pada sandal, aku yang lebih dulu menghampiri ayahku tak lagi memaksakan diri untuk memakai sandal, ayah langsung memelukku "kenapa ayah sekarang kurus sekali ?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Ayahku mengatakan beliau menjaga diit agar mengontrol tekanan darah tetap stabil, aku jadi teringat sewaktu kecil ketika ayahku memboncengku kedua tanganku tidak saling bertemu, saking gemuknya beliau waktu itu. Di belakang ayah sudah berdiri kedua adikku yang sudah beranjak remaja mereka adalah Dimas dan Dewi, terakhir kali kami bertemu Dimas berusia 6 tahun dan Dewi 8 tahun, kini tinggi mereka sepadan denganku.

Sepatu ku tanggalkan bersama dengan jaket yang ku pakai, beliau sama sekali belum memakan oleh-oleh yang aku bawa, ayahku masih antusias menanyaiku bagaimana aku bisa pulang, aku ingin mengatakan yang sebenarnya namun ku tahan "aku mengikuti tes CPNS, tapi gagal Pah" kataku. Beliau tentu bingung karna sepengetahuan ayah, aku bisa mengikuti tes di daerah tempat kerjaku. "dimana mama?" aku mencari keberadaan ibu, Bowo mengatakan ibu ada di rumah, tentu bukan hal yang mengejutkan untukku, selama 10 tahun aku pergi, ayah dan ibu sudah berpisah tak heran itu terjadi sebab sedari kecil mereka berdua sering cekcok besar.

Bowo mengajakku ke rumah mama yang tepat berada disamping rumah ayah, ia ingin mengejutkan ibu dengan mengatakan ada seorang perempuan yang ingin bertemu dengannya. Aku hanya diam saja mengikuti inisiatif Bowo, rupanya ibuku baru selesai salat isya, terdengar nadanya yang tidak ramah, mengisyaratkan kehadiaran tamu yang tidak di inginkan. Rumah ibu yang berbentuk panggung dan penerangan lampu yang tidak memadai membuat wajahku tidak terlihat jelas, aku sudah tidak sabar lagi untuk memanggil "mama? Ini saya ma" kataku, "siapa? Itu kamu nakku? timbal ibuku, "iya ma ini saya Lilis ma" sambil ku naiki tangga rumah. Ibuku masih tidak percaya, saat sudah memasuki rumah barulah ibuku menangis sejadi-jadinya sambil memelukku. Berbeda dengan ayah, beliau tidak focus mengapa aku bisa pulang, beliau hanya menanyakan mengapa tidak mengabari.

Kepada ibu aku juga mengatakan hal yang sama, alasan mengapa aku bisa pulang, sambil ku berikan brownies sebagai oleh-oleh, ibuku melarang kami untuk memakan kue itu, beliau mengambil piring dan menyisihkan beberapa potong kue ke atas piring setelah mendoakan untuk para leluhur dan kakek-nenek yang sudah berpulang, dasar piring dicukit menggunakan pisau setelah itu baru kue boleh kami makan, dan itu sudah menjadi tradisi di daerah kami.

Sambil menemani ibu dan kedua adikku menyantap kue, dimana Bowo sudah kembali ke rumah ayah, ku tanyakan pada ibu mengapa tadi terlihat seperti marah sekali mendengar ada tamu perempuan. Ibuku menjelaskan beliau takut Bowo membawa pacarnya ke rumah, ibuku takut Bowo sudah berbuat yang tidak-tidak pada pacarnya dan mengharuskan Bowo bertanggung jawab, ditambah lagi ukuran tubuhku yang sudah semakin besar membuat beliau tidak mengenaliku sehingga membuat ibu semakin curiga. Hal itu membuat kami tertawa terbahak-bahak, Dewi mengatakan " tawa mba Lilis dan mama sama", "mba Lilis kan anak mama, makanya mirip ketawanya" ibuku menimpali, membuat tawa kami semakin terbahak-bahak.

Aku memahami mengapa ibuku memiliki trauma tentang tamu perempuan, sebab Bowo sudah pernah berumah tangga namun gagal, ditambah lagi pekerjaan Bowo yang tidak menetap, ibu takut kegagalan dalam membina rumah tangga akan terulang kembali, ditambah dana untuk pernikahan tidaklah murah. Dalam sela perbincangan aku berpikir dulu aku tinggal dan tidur di rumah ayah, waktu bersama ibu sangatlah kurang. Aku berinisiatif izin untuk tidur di rumah ibu agar ibu senang, ibu menyambut dengan sangat senang. Aku kembali ke rumah ayah untuk mandi dan izin bila akan tidur di rumah ibu, syukurnya ayah mengizinkan. Walaupun alergi kapuk namun tetap ku paksakan tidur seranjang dengan ibu, alergi ini aku ketahui setelah aku berada di pulau jawa. Sebelum tidur, ibu mengajakku bercerita tantang Dewi, dia adalah adik perempuan satu-satunya sedangkan Dimas adalah anak bontot.

Dewi adalah anak yang diberi keistimewaan oleh Tuhan, sebab ia lahir dengan mata kanannya yang tidak dapat melihat. Waktu kelahiran Dewi adalah masa terkelam keluarga kami, ayah dan ibu selalu bertengkar karena masalah ekonomi, sampai ibuku mencoba untuk mengugurkan kandungan, namu Tuhan tetap menginginkan Dewi hidup. Tentu saja itu bukanlah kesalahan Dewi, justru Dewi lah yang menjadi korban dari itu semua. Ibu ingin membuatkan protesa mata untuk Dewi, agar ia lebih percaya diri dan tidak mudah marah, aku benar-benar memahami kondisi Dewi, apalagi ia sudah beranjak dewasa. Ibu sudah menyiapkan uang 10 juta, hanya saja beliau bingung siapa yang akan mengantar Dewi ke jawa tempat dimana Protesa mata akan dibuat. Aku memutuskan akan menjemput Dewi ketika libur sekolah tiba, dan akan mengantarkannya pulang kembali ke rumah.

Aku datang waktu kedua adikku libur sekolah, sehingga Dewilah yang memasak untuk kami, sedangkan ibu memasak sendiri. Seperti biasa ayah sudah menanak nasi dan pergi ke pasar, sepulangnya dari pasar belanjaan diserahkan pada Dewi dan ia mulai memasak di dapur menggunakan tungku. Memasak di tungku adalah hal biasa di desa kami, namun tidak dengan keluarga kami, waktu aku masih di rumah aku atau ayah selalu menggunakan kompor minyak untuk memasak, sungguh hal itu membuat hatiku mulai merasa bersalah karna tidak lulus ujian. Setelah semua masakan matang kami bertiga makan bersama sedangkan Bowo dan Dimas masih member makan Kambing dan sapi milik Bowo.

Waktu liburku sisa 8 hari lagi, aku tidak ingin kemana-mana, aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersama ayah dan ibu, setelah 3 hari aku di rumah dan seyalu Dewi yang membereskan rumah dan memasak, pada hari itu Dewi harus ke sekolah untuk melakukan pendaftaran ulang. Ayahku mengatakan "biar ayah saja yang memasak, ayah mau ke pasar dulu", aku hanya mengiyakan saja sembari mencuci piring. Sepulangnya dari pasar, ayah lalu pergi lagi entah kemana, ku putuskan untuk memasak oseng sawi dan kecambah, menggoreng ikan dan tempe. Dewi dan Dimas pulang, yang ternyata ayah keluar menjemput mereka. Kami makan bersama dan setelah makan aku dan ayah duduk bersama "Alhamdulilah Ayah dapat rejeki lagi nduk, kamu pulang dan ayah dapat orderan setelah hampir setahun tidak ada orderan" ujar ayah "tapi karena sudah terlalu lama tidak ada orderan, susah sekali mencari orang yang mau mengerjakan orderan" ucap ayah sambil menghisap puntung rokok. Kami menceritakan banyak hal, tepatnya aku menanyakan kabar teman-temanku yang ada di kampung.

Pada hari ke-4 saat aku, ibu dan kedua adikku sedang berkumpul, ibu minta kami untuk berfoto bersama, ibuku sangat menyukai menggunakan facebook sebagai hiburannya kala istirahat. Hal itu diketahui oleh ayahku, beliau juga ingin berfoto denganku dan akhirnya pada malam sehabis isya aku dan ayah berbincang tentang banyak hal, aku menceritakan alasan mengapa aku jarang menelpon yang langsung dipahami oleh ayahku. Ayahku juga bercerita hal yang paling beliau ingat adalah "dulu waktu Papa sekolah dulu, sepulang sekolah dalam kondisi lapar dan membuka tudung saji yang kosong, malah di marahi oleh Nenekmu dan kepala papa di pukul dengan panumbuk" ujar ayah dengan aksen jawanya yang begitu khas. Ayah juga mengutarakan rasa kasihan pada Dewi yang mulai minder, lalu ku ceritakan rencanaku pada beliau, ayah terlihat lega.

Keesokan harinya ayah sudah mendapatkan pekerja untuk mengerjakan orderan, sehingga ayah cukup sibuk sehingga kami tidak memiliki kesempatan untuk berfoto bersama, hari itu adalah hari terakhirku di rumah karena besok aku harus ke provinsi untuk melakukan swab dan bertemu sahabatku sebelum lusa kembali ke pulau jawa. Setelah isya aku sudah siap untuk berangkat ke pelabuhan, sebelum berangkat aku dan ayah berfoto bersama, tidak banyak hanya 2 foto saja, saat berpamitan dengan ayah ibu aku berjanji akan datang saat libur sekolah untuk menjemput Dewi.