webnovel

Bab 11 Wasiat

Perjalanan ku kali ini bukan hanya kak AIDA yang memantau perjalananku, namun Ija juga selalu menanyakan keberadaan ku.  Aku sedang transit di bandara Hasanuddin, ku kirim pesan pada kak AIDA dan juga Ija, ku isi Baterai ponselku sembari meminum coklat hangat dan menyantap sebungkus roti. Rupanya toko ini akan menjadi tempat langganan saat aku transit. Tak lama ponsel ku di getarkan oleh panggilan video dari Ija, ini menjadi panggilan video pertama kami, sebab selama berada di kampung kualitas jaringan tidak mendukung untuk melakukannya. Masker yang sedari tadi sudah menempel membuat ku tidak merasa canggung saat bercakap dengannya. Dalam panggilan itu terlihat Ija sedang berada di sebuah kantin di mejanya terlihat ada dua buah buku tebal dan tas laptop di sisi kirinya. Percakapan itu terhenti karena kedatangan seseorang yang mengantarkan semangkuk Bakso kepada Ija.

"kamu belum makan yah?" tanyaku.

"iya e, sedari pagi sampai siang ini sa belum makan, jadi sekarang sekalian sarapan dan makan siang" jawabnya sembari tersenyum.

"kita makan dulu kalau begitu, nanti baru telpon lagi" tawarku.

"tidak apa-apa, kita telponan dulu saja, sa lagi istirahat ini, pesawatnya kita berangkat jam 12.30 WITA to?" tanyanya.

"iya masih satu jam lagi, buku apa itu yang kita bawa" tanyaku.

"oh ini buku untuk referensi Proposal ku" jawabnya.

perbincangan kami harus terhenti sebab sudah ada pemberitahuan bahwa pesawat sudah bersiap berangkat, selalu saja waktu menjadi terasa singkat saat kami bersama.

Di dalam pesawat yang sudah hendak lepas landas itu, aku kembali teringat akan suatu hal yang mempu mengalahkan ketegangan ku saat pesawat sendang berusaha lepas landas. Waktu itu aku kembali teringat malam sebelum aku kembali ke pulau Jawa, malam itu aku dan ibu berbincang serius. Aku mengatakan pada ibu bahwa aku kembali ke kampung pada 120 peringatan kematian ayah sembari menjemput Dewi untuk membuat Protesa mata, sehingga aku akan melewatkan peringatan kematian Ayah yang ke 40 dan ke 50 hari. Aku juga menjanjikan pada Ibu bila biaya peringatan kematian akan aku tanggung sepenuhnya, nanum ibu mengatakan aku cukup membiayai yang ke 120 saja, sebab masih ada dana dari uang kedukaan. Aku juga menjanjikan bila pembenahan makam ayah juga akan ku tanggung, semua itu ku lakukan agar aku tidak menjadi kesal apabila Bowo hanya mengobral janji palsu untuk membantu. Aku semakin yakin mengingat, agar Ayah tenang di alam sana dan senang melihat anak-anaknya saling bahu-membahu, setidaknya Bowo sudah sangat berpartisipasi dalam peringatan kematian Ayah.

Aku terus memikirkan persiapan apa saja yang harus aku lakukan untuk pulang kampung. Kedua bosku yang sangat baik dan pengertian membuatku tidak terlalu terbebani, akan tetapi aku tetap berlaku profesional dan bertanggung jawab dengan bekerja lebih giat dan menyelesaikan semua tugasku sebelum aku pulang kampung.

Lagi-lagi uang yang menjadi pokok pikiranku saat ini, aku sudah bekerja selama 7 tahun dan selama itu pula aku mengatur keuanganku sedemikian rupa untuk pengeluaran, saving dan dana darurat. Akan tetapi dalam sana darurat itu, aku sama sekali tidak terpikirkan untuk menyisihkan sebagian uang untuk dana kematian, alhasil keuanganku porak-poranda. Selama ini pendidikan kedua adikku adalah prioritas utama ku, namun kini the worse case lebih dulu terjadi dan di luar pertimbangan.

Ayahku memang sudah lansia, akan tetapi aku berpikir beliau akan hidup lebih lama lagi, setidaknya sampai kedua adikku menyandang gelar sarjana. Hal yang mampu aku petik adalah ini akan menjadi ladang pahala untukku dan menjadi usaha terakhirku untuk Ayah, selain mendoakan almarhum disetiap Sujud.

seminggu telah berlalu aku semakin frustasi, bagaimana tidak, sulang dari kampung aku harus membayar hutang tiket pada kak Tini dan hutang pada kak AIDA yang hampir saja ku tolak, aku menerimanya sebab mobile banking ku sedang bermasalah, setiban di Jawa ku bayar lunas semua hutang itu. Aku memiliki trauma yang begitu mendalam tentang hutang piutang, sebab karenanya hubungan kedua orangtuaku berakhir. Aku lebih memilih makan seadanya daripada harus berhutang. Namun sisa saldoku membiatku ketar-ketir, dana pendidikan sudah mulai terkikis, uang gajian yang hanya lewat di tangan. Ku cari solusi dengan mengambil pekerjaan tambahan di kantor dan meminta ceperannya dibayarkan dalam Minggu ini. ku tanyakan pada Dewi perkiraan bulan berapa ia akan libur sekolah.

"sekitar bulan Juni mbak" jawab Dewi.

Akhirnya aku putuskan untuk berangkat pada tanggal 14 Juni, setelah itu ku tanyakan pada ibu perayaan Kematian ayah yang ternyata jatuh pada tanggal 27 Juni, aku berpikiran untuk mengajak Dewi untuk pergi terlebih dahulu dan aku akan kembali mengantarkannya sembari mengurus peringatan kematian Almarhum Ayah. Saat itu aku bertanya pada diri ku, mengapa disaat aku sudah bekerja mati-matian pun, uang yang ku hasilkan belum juga cukup, sedangkan aku selalu tidak memiliki waktu untuk keluarga bahkan di saat terakhir mereka sekalipun.

Muncul rasa bersalah pada diriku, ibu yang sibuk berdagang membuatku khawatir tentang siapa yang akan mendidik dan menuntun kedua adikku di jalan yang baik, namun di sisi lain kami juga butuh biaya, semua itu bergejolak didalam diriku. saat itu aku terpikir untuk mengikuti tes G to G ke Jepang. Bekerja di luar negri adalah mimpiku, mimpi yang sempat ku kubur karena hutang Budi pada seseorang, namun kini aku berpikir bahwa ini akan menjadi solusi terbaik untuk persoalan yang sedang ku hadapi. Mulailah aku bersiap untuk mengikuti tes bahasa agar mendapatkan sertifikat, ternyata walaupun aku sangat menyukai bahasa Jepang dan dan sedikit bisa bercakap hal itu saja tidak cukup. Aku merasa aku hanya membuang tenaga ku saja sebab tidak ada kamajuan dari hasil belajarku.